Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Hasil Penyelidikan
Arlan terdiam sesaat sebelum akhirnya berdehem seraya mengangguk kecil. “Hmm. Aku tidak akan mengambil risiko lagi.” Keputusan akhirnya bulat. “Alika tidak boleh lagi menginap di rumah makannya. Pastikan ada CCTV di sana. Juga, tugaskan dua orang untuk menjaga rumah makan dan rumah Pak Arya. Dan selidiki lebih dalam tentang cctv di rumahku yang terhapus itu serta tes Terry di rumah sakit. Aku harus memastikan mengetahui kebenarannya.”
Anak buahnya mengangguk. “Baik, Tuan.” sahutnya kemudian meninggalkan ruangan itu.
Namun, di antara semua kekacauan ini, ada satu hal yang terus mengganggunya, kehamilan Alika.
Arlan mengusap wajahnya dengan kasar. "Malam itu... meskipun samar, aku masih yakin wanita yang bersamaku adalah Alika. Tapi jika benar Alika mengandung anakku, bagaimana aku harus meminta maaf?"
Arlan tak tahu bagaimana ia akan menghadapi Alika setelah semua ini. "Tapi Alika mengatakan bayi dalam kandungannya adalah anak orang lain. Apa dia membenciku? Karena itukah dia nampak menghindari aku sejak kejadian malam itu?"
Pikirannya makin kacau saat membayangkan kemungkinan itu. Jika anak itu benar-benar miliknya, apakah Alika benar-benar tidak mau menerimanya sebagai ayah dari bayi yang dikandungnya?
Menghela napas berat, Arlan mengepalkan tangan. Sampai saat ini, ia masih belum bisa memastikan benih siapa yang ada dalam rahim Alika. Namun, satu hal yang ia yakini, ia akan melindungi Alika dan anak itu, apa pun yang terjadi.
***
Terry melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah pucat dan tubuh sedikit gemetar. Ancaman Arlan masih terngiang di kepalanya, menghantui setiap langkahnya. Ia baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai manajer networking bisnis, dan lebih buruk lagi, bisnis keluarganya berada di ujung tanduk jika ia berani macam-macam lagi.
Begitu pintu tertutup, suara langkah cepat terdengar dari dalam rumah. Ibunya, Mirna, segera muncul dari ruang tengah dengan ekspresi khawatir.
"Terry! Ke mana saja kau?! Kenapa wajahmu seperti itu?" suara Mirna sedikit meninggi, jelas panik melihat kondisi putrinya yang tampak terguncang.
Terry membuka mulut, tetapi sebelum sempat menjawab, Andra, ayahnya, sudah berdiri dengan tatapan tajam. "Apa lagi yang kau perbuat, Terry? Jangan bilang kau membuat masalah lagi!"
Terry menghela napas panjang dan menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia menunduk, menekan jemarinya ke pelipis. "Aku… aku dipecat, Pa. Arlan menghancurkan aku… bisnis kita juga terancam."
"Apa?!" suara Andra meledak, membuat Mirna semakin panik.
Mirna segera duduk di samping Terry, menggenggam tangannya. "Sayang, apa yang terjadi? Kenapa Arlan sampai melakukan ini padamu?"
Terry menoleh dengan tatapan putus asa. "Karena aku… aku berusaha menculik Alika."
Ruangan mendadak sunyi. Mirna menutup mulutnya dengan tangan gemetar, sementara wajah Andra memerah karena amarah yang tertahan.
"Ceroboh sekali kau ini, Terry!" Andra akhirnya berseru marah. "Apa kau gila?! Kau pikir tindakan bodoh seperti itu tidak akan ada konsekuensinya?!"
"Aku tidak punya pilihan, Pa!" Terry membela diri, suaranya bergetar. "Tante Widi menyuruhku! Aku hanya—"
"Jangan jadikan Widi sebagai alasan!" Andra menegur tajam. "Kau sudah cukup dewasa untuk memahami risikonya! Sejak awal Papa sudah mengingatkanmu untuk berhati-hati, Arlan bukan orang yang mudah dikelabui. Tapi kau terlalu gegabah, terlalu percaya diri. Sekarang lihat akibatnya, kau justru menghancurkan masa depanmu sendiri!"
Mirna masih terlihat syok, tetapi akhirnya ia berkata dengan suara bergetar, "Terry, kau sadar ini bisa menghancurkan keluarga kita? Jika Arlan benar-benar bertindak lebih jauh, kita semua bisa hancur… Bisnis kita, reputasi keluarga…"
"Aku tahu, Ma!" Terry menunduk, jemarinya mencengkeram rambutnya dengan frustrasi. "Arlan mengancam, kalau aku berani macam-macam lagi, dia tidak akan ragu menghancurkan bisnis kita sepenuhnya."
Andra menghela napas panjang, berusaha meredam amarah yang membara. "Mulai sekarang, kau tidak akan bertindak gegabah lagi! Dan satu hal lagi..." Tatapannya menusuk tajam ke arah Terry. "Jangan pernah lagi berurusan dengan Arlan atau Alika. Paham?"
Terry menelan ludah, kemudian mengangguk dengan lemah.
Mirna memegang pipi putrinya, matanya berkaca-kaca. "Kita harus mencari jalan keluar dari semua ini, Sayang… Kau sudah kehilangan pekerjaanmu. Jangan sampai kau kehilangan lebih banyak lagi…"
Terry menatap ibunya dengan penuh penyesalan. Ia tidak pernah menyangka bahwa kesalahannya kali ini akan menghancurkan hidupnya seburuk ini.
***
Arlan duduk di kursi kerjanya, jari-jarinya mengetuk permukaan meja dengan irama pelan namun penuh ketegangan. Tatapannya tajam menelusuri layar laptop di depannya, di mana laporan dari anak buahnya terpampang jelas.
“Jadi, hasil tes itu memang dimanipulasi,” gumamnya, matanya menyipit penuh kemarahan yang ia tahan.
Anak buahnya yang berdiri di seberangnya mengangguk. “Ya, Tuan. Terry bekerja sama dengan seorang teknisi lab yang bernama Reza untuk mengubah hasilnya. Sayangnya, kami tidak bisa memulihkan rekaman CCTV yang terhapus.”
Arlan mengepalkan tangannya, rahangnya mengatup erat. “Reza?”
“Kami tidak bertindak padanya sesuai perintah Anda. Tapi semua bukti sudah kami simpan, termasuk bukti manipulasi yang dilakukan Terry.”
Arlan menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. “Bagus. Biarkan saja Reza untuk saat ini. Tapi jika Terry berani bertindak lagi, kita jebloskan dia ke penjara. Aku tidak peduli meskipun itu berarti Mamaku juga akan terseret.”
"Dimengerti, Tuan."
Anak buahnya undur diri, meninggalkan Arlan yang masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Namun, di balik semua ini, ada satu hal yang belum bisa ia dapatkan kepastiannya, kandungan Alika.
Arlan menyandarkan punggungnya, menatap kosong ke langit-langit. "Jika hasil tes itu palsu, lalu bagaimana dengan bayi itu?" gumamnya.
Malam itu masih begitu samar, namun ia yakin Alika ada di sana. Jika benar bayi itu anaknya, bagaimana ia bisa menebus semua kesalahannya? Apakah Alika akan memaafkannya?
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arlan merasa bimbang. Ia bisa mengendalikan bisnis, bahkan mengancam orang seperti Terry. Tapi menghadapi Alika dan bayi itu, ia tidak tahu harus berbuat apa.
***
Alika baru saja selesai menidurkan Adriel ketika ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya. Jantungnya berdegup kencang. Malam-malam begini, siapa?
Dengan hati-hati, ia membuka pintu. Sosok Arlan berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh ketegangan. Mata tajamnya mengunci pandangan Alika, seolah menuntut jawaban yang belum ia dapatkan.
"Kak Arlan? Ada apa?" tanya Alika, berusaha tetap tenang meski hatinya mulai gelisah.
Arlan tidak langsung menjawab. Ia melangkah masuk begitu saja, menutup pintu di belakangnya. "Aku tidak akan bertele-tele, Alika," suaranya datar, tapi ada nada mendesak di dalamnya. "Aku ingin tahu. Bayi itu... benarkah anakku?"
Alika menegang. Ia menelan ludah, mencoba menjaga ekspresi wajahnya agar tetap netral. "Aku sudah bilang, bayi ini bukan anakmu."
Arlan tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan dalam tawa itu. "Kau pikir aku akan percaya begitu saja?" Ia mendekat, membuat Alika mundur hingga punggungnya menempel ke dinding. "Aku tahu Terry memanipulasi hasil tes itu. Kau masih mau berbohong padaku?"
Napas Alika tercekat. Jadi, Arlan sudah tahu?
"Aku tidak berbohong!" jawabnya cepat, meski suaranya sedikit bergetar.
Arlan menatapnya dalam-dalam, mencari kebenaran di balik mata Alika. "Kalau begitu, buktikan," desaknya. "Lakukan tes. Aku yang akan mengawasinya sendiri."
Alika terdiam. Ia bisa merasakan tangan Arlan mengepal di sisinya, seolah menahan sesuatu, amarah, frustrasi, atau mungkin ketakutan.
"Kenapa kau begitu ingin tahu, Kak Arlan?" suara Alika lirih, hampir seperti bisikan.
Arlan terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Karena jika anak itu memang milikku, aku tidak akan tinggal diam."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Adric jg sangat membutuhkan figur seorang ibu dan adric sangat nyaman sm alika....
Widi sangat menentang arlan menikah dgn alika krn keluarga alika berantakan..
keputusan arlan tdk bs diganggu gugat akan tetep menikahi alika....
bagas mendengar nama Arya membeku ada apakah dgn bagas dan Arya...