Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.
Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30: Pasar Gaib dan Uangnya
Tempat pertama yang pengin dikunjungi Dea adalah warung Pak Timan. Katanya dia mau minta maaf langsung. Sebelum yakin dengan keputusannya, dia berulang kali bercermin dan bicara sendiri.
"Halo, Pak, aku Dea ... aku mau minta maaf soal kebakaran hari itu. Kalau gitu gimana, Do?"
"Kalau nanti bapaknya bilang, 'Oh, jadi kamu yang bakar warung saya!?' kamu mau jawab apa?"
Dea tampak gelisah, menatap gue sambil menggaruk-garuk kepala.
"Terus aku harus ngomong apa, dong?"
Gue gak bisa jawab, karena sebenarnya gue juga punya kegelisahan yang sama.
"Aku juga lagi bingung kalau nanti beliau tanya kamu ini siapa."
"Bingung kenapa?"
"Gini aja, deh ... gimana kalau kita ke sana, tapi gak usah minta maaf dulu? Kenalan aja gimana?"
"Yaudah, deh. Bentar, aku pakai lipstik dulu."
Di warungnya bersama Pak Nang, yaitu bapak-bapak yang emang hobi nongkrong di sana, Pak Timan lagi asyik ngelihatin layar HP. Dea menyenggol bahu gue sebelum kami menghampiri mereka.
"Pak," sapa gue.
Mereka menatap gue, berpandangan sebentar kemudian tiba-tiba bersorak.
"Do! Video kemarin masih viral, lho! Komen-komen netizen juga makin seru!" kata Pak Timan.
"S-seru gimana, Pak?"
Pak Nang menjabat tangan gue.
"Hebat banget permainan pedang kamu, Do! Belajar di mana?"
Pak Timan menatap Dea sebentar sebelum menatap gue dengan mata berbinar.
"Siapa, Do? Pacar baru, ya?"
"B-bukan ... bukan ... bukan, lah ... t-teman kerja."
"Oh ... teman kerja dulu, baru jadi teman seumur hidup. Iya nggak, Pak?" kata Pak Timan sambil menatap Pak Nang, lalu mereka tertawa bersama.
Gue jadi malu anjir! Tingkah Dea juga jadi aneh. Dia jadi senyum-senyum sambil benerin poninya.
"Mau belanja, ya?" tanya Pak Timan.
Gue gak punya duit, dan Dea kayaknya gak mau beli apa-apa.
"Enggak, Pak ... mampir aja. Mau pergi lagi soalnya."
"Oh, gitu, nanti mampir lagi, ya."
Sebenarnya gue gak tahu mau ke mana, yang penting kabur dulu aja dari dua bapak-bapak ini. Dan ketika gue teringat ada sebuah benda di saku celana gue, barulah gue pengin nyari tahu tentang sesuatu.
"Oh iya, aku dikasih sisir sama cucunya si Bos."
"Serius!? Itu pasti punya spirit penjaga waktu itu! Yang diambil Sulay!"
"Emang iya!? Yaudah, kita balikin aja sekarang."
"Mau balikin ke mana, Do? Spiritnya aja udah gak ada. Kamu lihat sendiri, kan waktu itu? Kekuatannya diambil cucunya si Bos."
"Terus!? Buat apa aku nyimpan sisir ini?"
"Aku tahu sebuah tempat yang suka nyari barang-barang kayak gitu. Mau?"
"Boleh. Yuk."
Dea mengeluarkan segumpal asap merah yang terbang lebih cepat daripada motor gue.
"Ikutin aja. Nanti juga sampai."
Benar aja, 45 menit kemudian kami sampai di sebuah tanah kosong yang cuma ditumbuhi ilalang. Lokasinya masih di pinggiran jalan dan hari masih terang. Kalau aja ke sini malam-malam, pasti suasananya beda lagi.
"Di sini? Emang ada apaan?"
Gumpalan asap merah Dea tadi berputar-putar seperti membentuk portal.
"Ayo, Do."
Dea menarik tangan gue masuk ke dalam asap merahnya itu. Langkah kaki gue berikutnya tiba-tiba menginjak jalanan berbatu! Dan ... seketika gue menyadari betapa ramainya tempat ini! Ini kayak semacam pasar malam yang luas, dan banyak banget orang. Anjir aneh banget! Tadi, kan ini cuma tanah kosong!?
"Kita sekarang di alam gaib, Do. Kalau aja kamu masuk sendirian tanpa kontrak kita, kamu pasti udah ditangkap orang-orang itu," kata Dea sambil menunjuk segerombolan orang berpakaian putih dengan topeng-topeng aneh.
"T-tapi ... ini aman, kan?"
Dea menggenggam tangan gue sambil tersenyum.
"Aman, tenang aja."
Padahal tadi masih siang hari dengan cuaca terik, sekarang tiba-tiba sudah malam aja. Kalau dilihat-lihat, hampir gak ada bedanya sama alam manusia. Orang-orangnya, bahasanya, barang-barang yang dijual, semuanya kelihatan normal-normal aja. Hanya segerombolan orang bertopeng dengan pakaian serba putih lah yang kelihatan gak normal.
"Emangnya mereka itu siapa, Dea?"
Dea mendekatkan bibirnya ke telinga gue sambil berbisik.
"Penjaga. Hati-hati, mereka bisa dengan gampang bedain manusia sama makhluk lain. Makanya, kamu jangan jauh-jauh dari aku, dan jangan menarik perhatian siapa-siapa."
Setelah itu, seorang bapak-bapak pedagang yang menjual berbagai benda tajam benar-benar menarik perhatian gue. Banyak orang berkumpul di sana, karena dia memasang tulisan besar yang bikin gue terpancing!
"Dea, aku mau ke sana."
Pedagang itu menantang siapa aja buat matahin sebuah tombak dengan alat apa pun yang ada di sana. Dan yang berhasil, boleh mengambil satu benda di sana secara gratis! Gue dan Dea ikut berdiri di kerumunan, memperhatikan satu demi satu orang yang mencoba. Semuanya gagal.
"Aku mau nyobain boleh nggak?" tanya gue pada Dea.
"Boleh, dong. Aku yakin kamu pasti bisa."
Gue mengangkat tangan, lalu berjalan ke depan.
"Silakan pilih, mau pakai apa?" tanya pedagang itu.
Gue memilih sebilah pedang yang panjangnya kurang setengah dari pedang gue yang lagi disita. Gue mengayun-ayunkannya sebentar. Ringan banget! Kemudian, sebelum mengarahkannya ke tombak yang telentang di sana, gue tanpa sadar menyelimuti pedang itu dengan asap merah. Orang-orang kaget dan mengeluarkan suara-suara heran. Gue menebasnya dari atas ke bawah. Bukannya matahin tombak, justru gue matahin pedang yang gue pakai! Orang-orang bersorak. Ketika gue mau ngambil pedang lainnya, pedagang itu melarang gue.
"Hanya satu percobaan. Maaf."
Gue kembali ke samping Dea.
"Coba aja pakai pedang kamu sendiri. Pasti berhasil, kok," kata Dea.
"Enggak, enggak ... ini bukan soal pedangnya atau orangnya, tapi durasi serangannya."
Gue dan Dea melanjutkan berjalan sampai memasuki sebuah tenda berwarna merah yang di depannya banyak lilin dengan api hijau. Gokil! Di sana, sedang duduk seorang bapak-bapak berkumis lebat, berpakaian hitam dan kepalanya ditutupi blangkon Jawa. Di sela sibuknya yang sedang membasahi sebilah keris, dia menyadari kedatangan kami.
"Dea!? Lama sekali tidak ke sini!" katanya, seakan mengenal Dea.
"Mbah Kusno masih punya uang nggak?" tanya Dea.
Dea menatap gue, mengisyaratkan agar gue memperlihatkan sisir kepadanya.
"Memangnya ada pusaka apa lagi?"
Gue menunjukkan sisir itu.
"Mau dijual berapa?"
"Tunggu ... tunggu ... m-mohon maaf, Mbah ... sebelumnya saya mau tahu dulu ... ini buat apa, ya?"
Mbah Kusno memegang sisir berwarna perak itu.
"Tidak ada fungsinya. Ini hanya benda kesayangan dari suatu makhluk."
Dia dan Dea kemudian bernegosiasi masalah harga. Gue diam aja sambil ngelihatin sekeliling.
"Oke, deal 100 ribu, ya?" kata Mbah Kusno.
"Deal," kata Dea sambil menjabat tangannya.
Saat meninggalkan tenda, kami melihat orang-orang bertopeng itu sedang menanyai pedagang tombak yang tadi. Wah, gawat! Jangan-jangan mereka nyariin gue!?
"Berarti kita harus cepat-cepat pergi, Dea! Kok malah mau belanja!?"
"Mardo ... uang ini cuma bisa dipakai di sini. Ini banyak, lho! Sayang kalau gak dibelanjain."
Dea menarik tangan gue menuju pedagang baju. Dia langsung masuk-masuk aja, keluar-keluar sudah bawa banyak banget baju dan celana serba hitam! Buset!
"Kenapa banyak banget!? Buat siapa!?"
"Ya, buat kamu, lah. Biar baju kamu gak itu-itu aja."
"Ini kebanyakan, Dea ... lagian emang duitnya cukup?"
Dea ketawa sambil mengangkat uang kembalian.
"Sepasang baju sama celana cuma seribu rupiah. Murah banget, kan?"
"Hah!? Serius!?"
Dea berbisik ke telinga gue.
"Di sini, punya uang 100 ribu aja udah berasa jadi sultan, Do."
Dea berjalan ke sana ke mari, beli macam-macam barang yang gue juga gak tahu itu buat apaan.
"Cowok mana ngerti yang beginian. Udah, kamu belanja aja sana. Nih, habisin uangnya."
Dea menyerahkan uang 50 ribu. Dia sudah kayak sapi yang baru ketemu ladang rumput! Lincah banget! Hampir semua orang jualan dia samperin! Gak kebayang kalau dia begini di dunia manusia. Pasti sudah ditangkap warga karena gak cukup duitnya.
Enggak tahu kenapa, kaki gue mengayun sendiri menuju pedagang aksesoris cewek. Agak lama gue terdiam memandangi sebuah bando merah muda, yang membawa ingatan kembali pada Naya saat pertama kali ketemu dia. Lalu, gue melihat sebuah kacamata seperti yang sering Mery pakai.
"Y-yang ini ... berapa, Bu?"
"10 ribu, Nak. 15 ribu kalau dibungkusin pakai kotak. 20 ribu kalau ditambah pita hati merah muda."
Sialan si Dea! Artinya baju sama celana yang dia beliin emang yang paling murah.
"20 ribu, Bu. Pakai kotak sama pita, ya."
Lagi bungkusin kacamata, ibu pedagangnya nunjukin anting-anting.
"Cuma nambah 10 ribu lagi, saya kasih bonus anting-anting ini, Nak. Mau?"
Iya juga! Kalau Dea tahu gue beliin Mery kacamata, tapi gak beliin dia apa-apa, bisa gawat nantinya.
"B-boleh."
Waktu gue nyerahin uang, ibu pedagang tampak bingung.
"Gak ada kembaliannya, Nak. Mau sekalian kalung ini aja nggak?"
Ibu itu menunjukkan sebuah kalung benang berwana hitam dengan liontin bola mata kecil. Karena emang kelihatannya bagus dan gue suka, jadinya gue beli aja. Cepat banget gue ngabisin duit 50 ribu. Waktu mau pergi ke tempat Dea, seorang cowok datang ke samping gue.
"Berapa kacamata yang ini?" tanyanya.
"200, Nak. Kalau mau pakai kotak jadi 250."
Anjir! Gue kena tipu!