~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengutarakan Keinginan
“Yang masak Nona Jingga nyonya, jawab pelayan dengan hati-hati takut kena marah majikannya karena dengan lancangnya mempersilahkan nona dalam rumah itu untuk memasak.
“Pagi-pagi sekali non Jingga sudah ke dapur untuk memasak”.
“Jingga yang masak? Benarkah?”, kini giliran Papa yang bertanya pada pelayan itu.
“Iya tuan, saya sudah melarangnya untuk tidak turut serta memasak tapi non Jingga tetap memaksa untuk memasak pagi ini”.
“Lihat Ma, menantu kita pandai sekali bukan membuat sarapan nasi pecel kesukaan kamu dan Fajar, aku tidak salah pilih menantu kan Ma”. ucap Papa dengan senyum menyindir Mama.
“Kamu saja mengakui jika sarapan nasi pecel itu begitu enak sekali”, lagi-lagi Papa tersenyum penuh kemenangan.
Sedangkan Mama, tersenyum masam mendengar penuturan suaminya antara kesal dan malu.
“Halah masak begini saja semua juga pasti bisa”, ucapnya dengan kesal kala telah menghabiskan sepiring nasi pecel tersebut.
“Baiklah kalau begitu besok Mama yang masak untuk sarapan kita”, lagi-lagi Papa menambah kekesalan di hati Mama.
Mama Nadin mencoles, dan meninggalkan meja makan.
Sementara itu Jingga, memberanikan diri untuk membuka percakapan dengan suaminya.
“Jadi bagaimana mas apa nasi pecelnya enak?”.
“Biasah saja”, jawabnya dengan datar padahal dalam hati Fajar mengatakan ini enak sekali, baru kali ini makan nasi pecel dengan bumbu seenak ini.
Keluarga Dirgantara, memanglah orang yang kaya raya dengan banyak memiliki perusahan yang tersebar di Surabaya, hanya saja untuk soal makan lidah mereka benar-benar orang Jawa, yang menikmati makan khas desa seperi nasi pecel, panggang ayam, sambel terasi dan juga aneka lalapan. Mereka tidak biasa untuk sarapan roti tawar, pance cake ataupun pizza.
Pagi itu layaknya suami istri pada umunya Jingga mengantarkan Fajar, yang hendak berangkat kerja sampai di depan pintu, tak lupa adegan mencium tangan dan juga kening yang terpampang di depan pak Angga.
Hatinya menghangat kala melihat adegan itu, begitu juga dengan Jingga, meskipun ini hanya sandiwara tapi membuatnya merasa menjadi istri yang sesungguhnya.
Pak Angga dan Fajar, berangkat bersama hanya saja dalam mobil yang berbeda, dua generasi ini enggan untuk tampil bersama dalam apapun kecuali acara tertentu yang memang mengharuskan keduanya untuk datang secara bersamaan.
Sepeninggalan suaminya yang berangkat bekerja, Jingga kembali ke dapur untuk membantu pelayan di sana membersihkan sisa-sisa sarapan. Beberapa kali pera pelayan tersebut melarangnya hanya saja Jingga tetap kekeh untuk membantu mereka.
Tanpa sepengatahuan Jingga, diam-diam bu Nadin mengintip aktivitas yang di lakukan Jingga di dapur.
“Dasar upik abu, jiwa budaknya masih saja meronta-ronta, meski sudah jadi menantu orang kaya”, ucapnya dalam hati kemudian meninggalkan dapar itu.
***
Malam harinya adalah waktu yang ingin Jingga lewati, berharap pagi akan lekas muncul. Berada dalam posisi satu kamar bersama suami yang tak menginginkannya, merupakan sesuatu yang sulit untuk di jalani, ingin rasanya pindah ke kamar yang lain, bukankah di sini banyak sekali kamar hanya saja itu tak mungkin terjadi selama mereka masih dalam rumah yang sama dengan orang tua Fajar.
Menjelang pukul sembilan malam Fajar, baru pulang dari kerja, ia enggan untuk lekas pulang karena akan melihat wajah Jingga yang begitu sangat tak di inginkannya. Sepulang dari kerja Fajar lekas masuk dalam kamarnya dan melewatkan makan malam bersama yang berlangsung lebih dari satu jam yang lalu.
Tanpa perlu meminta ijin dan mengetuk pintu Fajar, dengan santainya melangkah menuju kamarnya, sedangkan Jingga sedang berbaring di atas kasur empuk itu dengan memainkan ponselnya.
Fajar menatap Jingga, dengan dingin kala melihat ia terbaring di atas kasurnya. Menyadari hal itu Jingga lekas berdiri dan merapikan bad cover yang melengkung akibat tertindih oleh tubuhnya.
“Maaf Tuan”, ucapnya lirih lagi-lagi Jingga, menundukkan badannya tak berani menatap wajah sang suami.
Sementara Fajar berlalu melewati Jingga, begitu saja dan menuju kamar mandi. Beberapa langkah kemudian Fajar menghentikan langkahnya.
“Kamu bisa tidur di mana saja, kecuali di situ”, Fajar menunjuk tempat tidurnya memperingatkan Jingga.
“Aku tidak akan bertanggung jawab jika kamu berani tidur di atas situ”.
Fajar mengatakan dengan cukup dingin, sedingin cuaca malam itu yang kebetulan sedang hujan lebat.
Fajar kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.
Sementara Jingga, memilih untuk merebahkan diri di atas sofa yang ada di dalam kamar itu, bagi Jingga sofa dalam kamar Fajar, jauh lebih empuk berkali-kali lipat jika di bandingkan dengan kamar tidurnya di rumah pak Hermawan.
Ia mulai mencoba memejamkan matanya, meringkuk di atas sofa dengan bantal tas ransel yang ia bawa, tak ada selimut yang menutupi tubuhnya.
Empat puluh menit kemudian, Fajar sudah keluar dari kamar mandi, aroma sabun dan sampo yang begitu harum menyeruak hingga di hidung Jingga. Ia yang pura-pura tertidur masih dengan jelas dapat merasakan keharuman dan kesegaran itu.
Sementara Fajar tak mempedulikan keberadaan Jingga, ia menganggap Jingga adalah mahkluk transparan yang tak kasat mata. Dengan santainya ia melenggang mengganti baju dan membuka handuknya.
“Toh wanita itu juga sudah tertidur, apa pedulinya aku”, ucap Fajar dalam hati.
📞Berdering.....
📞Berdering....
Alunan ponsel Fajar, berbunyi membuatnya lekas mempercepat untuk ganti baju dan mengangkat telfonnya.
Mendadak alunan suara Fajar, menjadi lembut dan penuh cinta kala menerima panggilan tersebut.
“Iya sayang, maaf kemarin malam zaki membawaku pulang, bagaimana kegiatan kamu hari ini?”, tanyanya dengan lembut pada seorang wanita di sana.
“Iya sayang, aku pastikan akan lekas membawa upik abu ini keluar dari rumah, tenanglah aku tak akan menyentuhnya, jangankan untuk menyentuhnya melihatnya saja aku sudah jijik”.
“Bagaimana bisa ia mengatakan jijik pada wanita yang halal untuk ia sentuh, sedang mengatakan rindu dan sayang pada wanita yang haram untuk ia sentuh”.
Sungguh hati Jingga, terasa sakit tercabik-cabik kala mendengar penuturan suaminya pada wanita lain. Meskipun mereka menikah bukan atas nama cinta, dan baru saling mengenal tak seharusnya Fajar mengatakan hal itu.
Jingga merubah posisinya, membalikkan tubuhnya agar tak mendengar perbincangan mereka, ingin lekas mengakhiri malam itu.
***
Pagi harinya Jingga bangun terlebih dahulu untuk menjalankan ibadah seperti biasah, di atas sajadah ia kembali menuangkan segala rasa sesak yang ada di hatinya.
“Ya Allah aku percaya akan janjimu, jika wanita baik hanya untuk laki-laki yang baik begitu pula sebaliknya, hamba hanya ingin dikuatkan dan di beri kesabaran yang luas seluas luasnya”, rintih Jingga dalam doanya.
Setelah menjalankan sholat ia lekas ke de dapur menyiapkan sarapan untuk semuanya, kali ini Jingga memasak pecel lele.
“Pagi semuanya ada hal yang ingin Fajar sampaikan”, ucapnya dengan santai kala sampai di depan meja makan.
DEG.
"Apa yang ingin ia katakan?".