Yasmina Salsabilla atau yang akrab dengan sapaan Billa ini mengalami ketertinggalan dari teman-temannya yang sudah lebih dulu lulus kuliah disebabkan keterbatasan ekonomi dan membuatnya mengambil kuliah sambil bekerja. Akhirnya Billa dibantu oleh pamannya yang merupakan adik kandung dari almarhum ayahnya.
Dikarenakan mempunyai hutang budi, sang paman pun berniat menjodohkan Billa dengan anak salah satu temannya. Dan tanpa sepengetahuan sang paman, ternyata Billa sudah lebih dulu dilamar oleh Aiman Al Faruq yang tak lain adalah dosen pembimbingnya. Bukan tanpa alasan dosen yang terkenal dingin bak es kutub itu ingin menikahi Billa. Namun karena ia tidak mau mempunyai hubungan dengan sepupunya yang ternyata menaruh hati padanya. Aiman pun memutuskan untuk menikahi Billa agar sepupunya tidak mengganggunya lagi.
Bagaimana kisahnya, apakah Billa menerima lamaran dosennya ataukah menerima perjodohan dari pamannya?
Cerita ini 100% fiksi. Skip bila tidak suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisy Faya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aruna
Kini Billa sudah berada di dalam mobil Aiman yang terus berjalan entah kemana tujuannya. Billa masih setia dengan tangisnya, sebenarnya lelah untuk terus-terusan menangis seperti ini, tapi air matanya benar-benar tidak bisa ditahan, mereka memaksa keluar dengan lancarnya.
Billa belum berniat berbicara untuk menjelaskan semuanya pada Aiman, begitupun Aiman yang seolah tidak ingin bertanya apa penyebab tangis dari gadis yang beberapa waktu kebelakang ini selalu mengisi pikirannya. Ia membiarkan gadis itu menumpahkan segala kesedihannya tanpa ada niat untuk mengganggu. Kini Aiman tetap fokus ke jalanan di depannya yang terlihat sedikit macet, tatapannya dingin ke arah depan, rahangnya mengeras mendengar isakan pilu dari gadis di sebelahnya.
Hati Aiman sakit mengetahui gadis pujaannya sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, sebenarnya ia sangatlah penasaran dengan penyebab gadis itu menangis dengan hebatnya didepan umum, namun ia mengurungkan niat untuk bertanya. Tangannya terulur memberikan tisu ke arah Billa, dan langsung diterima oleh Billa yang memang membutuhkan itu.
Kini mobil berwarna hitam itu sudah terparkir di depan cafe tempat mereka konsultasi skripsi tempo hari. Aiman belum berniat turun dari mobilnya, dan menunggu Billa selesai dengan tangisnya, baru ia akan mengajak gadis itu untuk memasuki cafe, dan menenangkan diri disana. Pandangan Aiman masih tetap tertuju ke depan, tanpa berniat melihat ke arah Billa.
Ingin ia membawa Billa ke dalam dekapannya untuk menenangkan gadis itu, namun ia sadar jika ia tidak boleh melakukan itu, Billa bukanlah mahram baginya. Walaupun terlihat dingin dan seolah tidak berperikemanusiaan, Aiman tetaplah pria yang masih mengingat perintah agamanya. Bahkan tadi saja ketika ia menarik tangan Billa, ia memegang bagian tangan Billa yang tertutupi lengan baju.
Tangis Billa mulai mereda, detak jantungnya tidak sekacau tadi dan nafasnya sudah mulai teratur. Kini gadis itu pun ikut terdiam dan menatap lurus kedepan. Ia malu telah menangis dengan begitu hebatnya di depan Aiman.
“Bapak dari tadi ngeliat muka saya pas nangis gak?” Tanyanya dengan suara serak.
“ Tidak.” Ucap Aiman singkat tanpa menoleh.
“Syukurlah.” Suara Billa terdengar lega, membuat Aiman penasaran.
“Kenapa memangnya?”
“Muka saya jelek pak kalo nangis, 11 12 sama anak monyet di Ragunan.” Billa mengatakan itu tanpa ekspresi, dan Aiman langsung menoleh ke arahnya. Tidak menyangka jika Billa akan mengeluarkan kata-kata seperti itu dalam kondisi seperti saat ini.
“Cepat hapus air mata kamu, setelah itu ikut saya masuk ke Cafe.” Aiman langsung turun dari mobilnya setelah berbicara ke arah Billa tanpa menunggu jawaban dari gadis yang saat ini sedang membersihkan hidungnya yang penuh dengan cairan. Billa hanya menatap polos ke arah Aiman yang kini sudah memasuki Cafe.
“Jangan-jangan Pak Aiman mau introgasi gue lagi, duh gimana ini?” Billa bermonolog didalam mobil.
“Nanti gue harus jawab apa kalo ditanya alasan gue nangis sampe segitunya di tempat umum.” Lanjutnya.
“Agggrrhhhh bodo amat ah, penting gue turun sekarang, daripada kena marah nanti karena kelamaan di mobilnya.” Dengan cepat Billa turun dan menutup kembali pintu mobil itu. Seorang penjaga parkir menatap aneh ke arahnya, apa karena matanya yang sedikit bengkak ini pikirnya.
Bergegas ia mencari dimana posisi Aiman duduk. Billa menundukkan wajahnya ketika beberapa orang pengunjung Cafe dan juga waiters yang menatap bingung ke arahnya. Ia menemukan Aiman duduk persis di kursi tempat mereka konsul skripsi beberapa hari yang lalu.
Dengan degup jantung yang sedikit kencang, mengingat jika Aiman akan kepo dengan perihal yang membuatnya menangis, ia mulai mendekat ke arah dimana Aiman duduk dan fokus pada ponsel di tangannya.
Pandangan Aiman beralih dari ponselnya ketika ada seseorang yang duduk di kursi di depannya.
“Kenapa lama seka,,” Kalimat Aiman putus begitu mengetahui jika bukan Billa yang duduk di depannya.
“Kamu nungguin aku mas?” Ucap perempuan dengan tampang yang begitu ayu itu.
“Kenapa kamu kesini?” Bukannya menjawab pertanyaan perempuan itu, Aiman malah melemparkan pertanyaan lain dengan raut muka kurang suka.
“Ya mau jumpai kamu lah, setiap aku ke rumah, kamu pasti selalu gak ada. Jadi tebakanku kalau tidak di kampus ya sudah pasti kamu disini.” Perempuan itu berkata diiringi senyum manisnya.
“Kapan kamu akan berhenti Aruna?” Tanya Aiman yang seolah jengah dengan wanita cantik di depannya ini.
“Berhenti dari apa maksud mas?” Wanita itu tampak sengaja bertanya ke arah Aiman.
“Berhenti berharap jika kita akan bersama, dan juga tolong katakan pada orang tuamu untuk berhenti menjodoh-jodohkan kita berdua. Kita ini sepupu Aruna, saya menganggapmu sebagai adik sejak kecil, dan akan selamanya seperti itu.” Aiman tetap mempertahankan raut datarnya ketika berbicara di depan gadis cantik yang kini tengah mengukir senyum pahit di depannya itu.
“Seharusnya aku segera mundur ketika mendengarmu berulang kali mengucapkan ini mas, tapi entah kenapa hatiku begitu keras untuk memaksaku tetap bertahan dengan harapanku, walaupun aku sadar, kecil kemungkinan rasaku akan terbalas.” sendu sekali raut wajah Aruna ketika mengatakan itu, sudah pasti dengan segala kekuatan yang ia miliki ia sedang menahan bulir bening itu meluncur dari matanya.
“Maaf jika sudah menyakitimu terlalu dalam Aruna, tapi saya terpaksa harus mengatakan ini, saya akan menikah.”
Pupil mata Aruna membesar mendengar ucapan Aiman, dadanya bergemuruh, nafasnya terasa berat, beberapa kali ia menggelengkan kepalanya, menandakan ia ingin menepis dan tidak mempercayai apa yang baru saja diucapkan oleh Aiman. Air mata yang sejak tadi di tahannya kini telah jatuh dengan bebas.
“Mas, kamu serius?” Suaranya seolah tersekat di kerongkongan.
“Iya Aruna, saya serius.”
“Siapa mas, siapa wanita beruntung itu?”
“Maaf Aruna, nanti kamu juga akan tau sendiri, jadi tolong Aruna, jangan menyakiti hatimu lebih dalam lagi karena rasa ini, lupakan rasamu ke saya Aruna.” Aiman terlihat sedikit tidak tega melihat raut wajah wanita di depannya ini, ia menyayangi Aruna, namun rasa sayangnya tetaplah rasa sayang seorang kakak laki-laki terhadap adik perempuannya.
Aiman sengaja tidak memperkenalkan Billa kepada Aruna, mengingat kondisi Billa yang kacau sehabis menangis tadi. Dan Aiman memperhatikan Billa yang duduk membelakanginya saat ini di meja yang berjarak 4 meja dari Aiman. Satu hal yang Aiman pikirkan saat ini, maukah Billa menikah dengannya?