NovelToon NovelToon
Pernikahan Di Atas Skandal

Pernikahan Di Atas Skandal

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Lari Saat Hamil / Selingkuh / Cinta Terlarang / Pelakor
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Edelweis Namira

Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KECEWA

Malam itu, Barra sedang memeriksa undangan yang tadi diberikan Dika untuknya. Acara ulang tahun pernikahan salah satu klien besarnya, seorang pengusaha terkenal yang banyak memberinya proyek besar, akan digelar besok malam. Dika mengatakan bahwa undangan itu juga untuk pasangan Barra.

Barra langsung teringat pada Btari. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah istrinya di atas kertas, dan membawa Btari adalah keputusan paling logis untuk menjaga citra. Tapi ia tahu, Btari bukan tipe yang suka datang ke pesta.

Ketika Barra menyampaikan undangan itu kepada Btari di ruang tengah, reaksi gadis itu sudah bisa ia duga.

“Pesta? Aku? Bar, kamu tahu kan aku nggak nyaman di tempat seperti itu. Lagipula, aku nggak kenal siapa-siapa di sana,” kata Btari sambil melipat tangannya di dada.

Barra menghela napas, berusaha tetap tenang. “Bi, ini penting. Klien ini yang memberiku proyek besar tahun lalu. Kalau aku nggak datang, apalagi nggak membawa pasangan, itu bisa dianggap nggak menghormati mereka.”

Btari mengerutkan kening, lalu melirik Barra. “Kamu tahu aku nggak suka pesta, kan? Aku nggak cocok sama suasana glamor seperti itu.”

“Tapi kamu nggak harus jadi orang lain,” balas Barra dengan nada lebih lembut. “Kamu cukup jadi diri kamu sendiri. Senyaman kamu aja.”

Btari terdiam, mempertimbangkan ucapan Barra. Sebenarnya, ia mengerti posisi Barra. Klien besar seperti itu jelas penting untuk karier seorang arsitek. Namun, ia tetap merasa tidak yakin.

“Bagaimana kalau aku canggung? Aku nggak punya baju pesta,” Btari mencoba mencari alasan lain.

Barra tersenyum tipis, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Masalah baju gampang. Aku bisa carikan. Yang penting kamu mau datang, itu sudah cukup.”

“Kenapa kamu ngotot banget?” Btari bertanya, kini menatap Barra dengan serius.

Barra menatap balik, kali ini dengan sorot mata yang tulus. “Karena aku nggak mau klienku merasa kecewa, dan aku butuh kamu di sana. Kamu istriku, setidaknya di depan mereka. Aku nggak bisa pergi sendirian."

Btari akhirnya menghela napas panjang. Meski masih ragu, ada sesuatu dalam nada suara Barra yang membuatnya tak tega menolak. “Baiklah. Tapi cuma kali ini, ya. Dan jangan salahkan aku kalau aku terlihat kaku di sana.”

Barra tersenyum lega. “Itu urusan nanti. Yang penting kamu mau datang. Terima kasih, Bi.”

Malam itu, Btari mulai bersiap secara mental, sementara Barra memikirkan cara agar Btari merasa nyaman di pesta tersebut. Baginya, kehadiran Btari bukan hanya untuk menjaga citra, tetapi juga perlahan menjadi sesuatu yang lebih berarti dari sekadar kewajiban.

...****************...

Malam yang ditunggu tiba, Btari duduk di depan cermin di kamar, memandangi bayangannya dengan sedikit ragu. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia berdandan seperti ini. Alat-alat makeup yang sudah berdebu di sudut meja perlahan ia keluarkan, mencoba mengingat kembali kebiasaannya yang dulu sempat ia tinggalkan.

Baju yang disiapkan Barra—gaun simpel namun elegan dengan warna krem yang lembut—tergantung rapi di lemari. Hijab yang senada pun sudah siap, dilengkapi dengan bros kecil yang menambah kesan anggun.

"Sekali-sekali, aku harus terlihat seperti istri arsitek terkenal, kan?" gumamnya pelan, mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri.

Setelah sekitar satu jam, Btari berdiri di depan cermin, memeriksa hasilnya. Wajahnya terlihat segar dengan riasan minimalis yang menonjolkan fitur alaminya. Hijabnya tertata rapi, dan gaun itu jatuh dengan sempurna di tubuhnya. Kali ini, ia bukan hanya Btari si fotografer alam dengan gaya kasualnya, melainkan Btari yang menjalani perannya sebagai istri seorang arsitek muda yang sukses.

Ketika ia keluar dari kamar, Barra yang sedang memeriksa ponselnya di ruang tamu langsung terpaku. Matanya membelalak sejenak, dan mulutnya sedikit terbuka, seolah kehilangan kata-kata.

“Kenapa kamu bengong?” tanya Btari sambil menaikkan alis, mencoba menyembunyikan rasa malunya.

Barra masih diam beberapa detik, lalu tiba-tiba tersenyum lebar. “Aku nggak tahu kamu bisa terlihat... seperti ini.”

“Seperti apa?” tanya Btari, menatapnya dengan pandangan galak, meski pipinya sedikit memerah.

“Cantik banget,” jawab Barra tanpa ragu, nadanya tulus. “Aku sampai lupa kalau ini kamu.”

Btari mendengus kecil sambil menatap Barra tajam. “Nggak usah lebay. Nggak usah liatin aku gitu."

Barra terkekeh, mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. “Oke, oke. Tapi serius, kamu bikin aku terlihat keren malam ini. Klienku pasti bakal terkesan.”

Btari hanya menggeleng, lalu merapikan tas kecil yang ia bawa. “Kalau sudah siap, ayo kita berangkat. Jangan sampai kita telat gara-gara kamu terus melongo.”

Barra tertawa kecil, lalu mengantar Btari ke mobil. Malam itu, meski mereka berdua tahu bahwa pernikahan ini hanyalah formalitas, ada sesuatu yang berbeda di antara mereka—sebuah kesadaran kecil bahwa kebersamaan mereka mulai memiliki arti yang lebih dalam.

Perjalanan berlangsung dengan begitu aman terkendali. Akhirnya mereka tiba di aula mewah yang dipenuhi tamu-tamu berpakaian glamor, Barra tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Ia melirik Btari, khawatir gadis itu akan merasa terintimidasi dengan suasana ini. Namun, kekhawatirannya terbukti tidak perlu. Btari melangkah masuk dengan percaya diri, posturnya tegap, dan wajahnya tenang.

Barra menghela napas lega. Tapi ia masih merasa perlu memastikan kesan pasangan harmonis di depan semua orang.

“Btari," Bisiknya sambil sedikit menunduk ke arahnya, “kamu harus menggandeng lenganku.”

Btari langsung melotot tajam, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan. “Apa? Nggak, ah. Aku bisa jalan sendiri.”

“Ayolah, Bi.” kata Barra lebih serius. “Ini penting. Semua orang di sini harus percaya kita pasangan suami-istri yang bahagia. Anggap saja kita pengantin baru.”

"Dasar tukang drama." Kata Btari ketus.

"Tapi itu penting." Bujuk Barra.

Btari mendengus, lalu menatapnya dengan pandangan penuh protes. Tapi akhirnya, ia mengalah. “Baiklah. Tapi kalau ini terlalu lebay, aku berhenti.”

Barra tersenyum tipis dan mengulurkan lengannya. “Deal.”

Dengan enggan, Btari menggandeng lengannya. Langkah mereka kini selaras, dan beberapa tamu mulai melirik mereka, memberikan senyum ramah. Btari tetap tenang, meski ada sedikit rasa aneh di hatinya. Barra, di sisi lain, merasa lega.

Di tengah percakapan dengan tamu-tamu lain, Barra bertemu dengan Dika dan Ryan, dua sahabat dekatnya. Mereka melambaikan tangan dan segera mendekat.

“Barra! Kirain gak datang. Wah, ini Btari?” tanya Ryan, melirik ke arah Btari dengan senyum lebar.

Barra mengangguk dengan bangga. “Iya, ini Btari.”

Btari memberikan senyum sopan. “Halo, lama nggak bertemu kalian.”

Dika menatap Barra dengan alis terangkat, seperti tidak percaya. “Bisa juga bujuk dia buat datang?"

"Sogokannya gede, Dik." Sahut Barra bercanda. "Oh iya, gue ke Pak Irwan dulu, ya." Kata Barra sambil menggandeng Btari lalu pergi menemui tuan rumah.

Namun, suasana santai itu berubah saat Barra sedang menyapa tuan rumah. Dari sudut matanya, ia melihat dua sosok yang ia kenal baik—Nadea dan suaminya.

Barra langsung membeku. Jantungnya berdegup kencang, dan tangannya yang menggenggam jemari Btari menjadi sedikit tegang. Nadea tampak anggun seperti biasa, berdiri di samping sang suami yang gagah dengan senyum ramahnya. Pasangan itu terlihat sempurna, dan Barra tidak bisa menahan rasa getir di hatinya.

Btari, yang merasakan perubahan pada Barra, mengikuti arah pandangannya. Ketika ia melihat Nadea dan suaminya, ia segera memahami situasinya. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa.

“Barra,” gumam Btari pelan, menarik perhatian lelaki itu.

Barra menoleh, matanya masih dipenuhi emosi yang campur aduk.

“Tenang saja. Aku di sini,” kata Btari dengan nada tenang namun penuh makna.

Perkataan itu membuat Barra kembali fokus. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menata dirinya.

...****************...

Btari sudah lama menunggu di parkiran, duduk di kursi mobil sambil menatap jam tangannya. Hampir satu jam berlalu sejak Barra pamit ke toilet. Biasanya, Barra tidak lama, tapi entah kenapa malam ini terasa berbeda. Dengan rasa penasaran yang tak bisa ditahan, akhirnya Btari memutuskan untuk mencari Barra.

Langkahnya mantap menuju ke arah taman samping gedung, tempat yang agak sepi, jauh dari keramaian pesta. Namun, sesampainya di sana, Btari terhenti. Pandangannya langsung tertuju pada sosok Barra yang tengah berdiri berhadapan dengan Nadea. Ada kedekatan yang sangat jelas terlihat antara mereka, bahkan mereka tampak sedang berpelukan.

Btari merasa ada sesuatu yang menusuk di dadanya. Kejutan dan rasa kecewa bercampur aduk. Ia tak bisa percaya melihat apa yang terjadi di depan matanya.

Barra akhirnya menyadari keberadaan Btari. Matanya bertemu dengan tatapan tajam Btari. Sepertinya, semuanya sudah terbongkar.

Btari tersenyum sinis. Senyum itu bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang penuh amarah dan kekecewaan. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya berbalik dan melangkah pergi. Langkahnya cepat, berusaha menghindari situasi yang semakin memanas.

Namun, Barra yang tampak panik segera mengejarnya. "Btari, tunggu!"

Btari tidak peduli. Langkahnya tetap mantap, menembus jalan menuju parkiran. Ia merasa dipermainkan. Setelah semua yang telah terjadi, ia masih diperlakukan seperti itu.

Sampai di parkiran, saat ia hendak membuka pintu mobil, sebuah tangan menarik tangannya dengan kuat.

"Btari, dengar dulu," kata Barra, wajahnya penuh penyesalan.

Btari berbalik dengan tatapan penuh amarah. "Dengar apa? Bahwa kamu telah membohongiku? Bisa-bisanya kamu membiarkanku menunggumh dan kamu malah berpelukan dengan kekasihmu. Di tempat umum pula!" suaranya meninggi, hampir tak bisa ia tahan.

Barra menunduk, merasa bersalah. "Bi, aku... aku sangat menyesal. Aku tidak bermaksud... Ini semua salahku."

"Tentu saja salahmu!" bentak Btari. "Kamu menikahiku untuk menutupi hubunganmu dengan kekasihmu itu, tapi kamu malah berpelukan dengan dia di tempat seperti ini. Kalau orang-orang lihat gimana? Kamu nggak menghargai aku disini?"

Barra terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu ia telah melukai Btari. "Aku tahu aku salah. Aku benar-benar menyesal."

Btari menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan amarahnya yang hampir meledak. "Kamu sudah berani menipu aku, dan sekarang aku yang harus menahan semuanya. Aku tidak ingin lagi terjebak dalam permainanmu."

Tangannya mencoba melepaskan diri dari cengkraman Barra. "Kamu bukan hanya menyakitiku, Barra. Kamu juga merusak kepercayaan yang aku coba berikan padamu."

Setelah itu, tanpa menunggu lagi, Btari segera pergi menuju area luar gedung. Ia bahkan tidak mau pulang bersama Barra.

"Bodoh banget sih, Tar. Bisa-bisanya kamu malah kasihan sama orang modelan Barra!" Gerutu gadis itu pada dirinya sendiri.

1
jen
aku suka karakter Btari /Good/
jen
mengecewakan. ngapain mau SM cwo ga punya prinsip
jen
kayak nyata kak ... cm suka bingung sm namanya kak.
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri
Mundri Astuti
semangat kk author, jangan sampai luluh btari, bisa"nya barra ngomong gitu, kelakuannya semaunya sendiri ngga menghargai
Mundri Astuti
nah bagus btari kamu harus punya sikap dan mesti tegas ke barra
Mundri Astuti
si barra bener" ngga punya hati, dah lah btari jangan percaya bualan barra lagi, bodoh banget barra masih ngarep sama pacarnya aja, bener" ini yg namanya cinta itu buta, ... kucing berasa coklat .
Mundri Astuti
barra baru begitu dah cemburu, gimana perasaan betari saat di tlpnan ma kekasihnya, saat dia perhatian dan khawatir sama kekasihnya
Mundri Astuti
si barra kelaguan, biar aja betari dilirik org noh, dah ada yg mo nadangin, blingsatan" dah
Mundri Astuti
cuekin aja btari jangan diangkat, ngga usah diladenin si bara
Arsène Lupin III
Saya terhanyut dalam dunia yang diciptakan oleh penulis.
Oscar François de Jarjayes
Cinta banget sama karakter-karaktermu, thor. Mereka bikin ceritamu semakin hidup! ❤️
Aishi OwO
Bikin happy setiap kali baca. Gak bisa berhenti bacanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!