Kisah kali ini bergenre fantasy lokal, Ini bukan Milky way 4, ini adalah perjalan seorang Resi yang mereka sebut sebagai Maha Guru di cerita Milky Way
ini awal mula sebuah kisah Milky Way. Perjalanan Seorang Resi bernama Mpu Bharada untuk menemukan tanah impian. sebuah tempat dimana dia bisa mendirikan sebuah kebahagiaan dan kedamaian.
Seharusnya ini menjadi flashback tiap episode Milky Way. tetapi karena cerita Milky Way akan berkembang ke arah dataran legenda yang mereka sebut sebagai negara tersembunyi, dan juga Milky Way 4 nanti menceritakan tentang kelahiran kembali Mpu Bharada di era modern, maka saya putuskan untuk membawa kisah perjalanan sang Resi dalam bentuk cerita utuh.
note : cerita ini adalah awal mula. jadi tidak perlu baca Milky Way seri Vallena dulu
untuk nama tokoh, mungkin tidak terdengar asing, sebab saya mengambil nama tokoh tokoh terkenal, mitos mitos dalam sejarah jawa kuno beserta ilmu ilmu kanuragan pada masa lampau
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lovely, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kematian Pangeran Suradwipa
Raka berlutut di pinggiran arena yang kini telah rata dengan tanah, memeluk tubuh Tari yang sudah dingin dan memucat. Mata Raka penuh dengan air mata yang mengalir tanpa henti, jatuh ke wajah Tari yang kini tak lagi bernyawa. Darah yang masih segar mengotori pakaian dan tangan Raka, tetapi ia tidak peduli. Hatinya dipenuhi rasa kehilangan yang mendalam, seolah-olah seluruh dunia runtuh di sekitarnya.
“Tari... maafkan aku...” bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku telah gagal... Aku tidak bisa melindungi mu...”
Tangisannya berubah menjadi teriakan yang menggema di seluruh alun-alun. Getaran dari suaranya terasa hingga ke hati para penonton yang masih berdiri jauh dari arena. Para pendekar, prajurit, dan penduduk yang menyaksikan dari kejauhan hanya bisa memandang tanpa kata.
Mpu Bharada, yang berdiri di luar arena dengan wajah penuh kebijaksanaan, memandang Raka dengan tatapan sedih.
“Anak muda,” gumamnya pelan, “kesedihan adalah beban yang harus kau pikul, tetapi jangan biarkan itu merusak dirimu.”
Di sisi lain arena, Pangeran Suradwipa yang penuh ketakutan mulai mundur perlahan. Wajahnya yang biasanya penuh arogansi kini berubah pucat pasi. Tubuhnya gemetar melihat Raka yang merangkul tubuh Tari dengan darah dan air mata bercampur di sekujur wajahnya.
“Prajurit! Lindungi aku!” teriaknya panik, tetapi tidak ada seorang pun yang berani mendekat. Bahkan para prajurit kerajaan yang biasanya gagah kini hanya berdiri terpaku, takut mendekati Raka yang auranya berubah menjadi mencekam.
Pangeran itu berusaha melarikan diri, melangkah perlahan-lahan menjauh dari arena. Namun, sebelum ia berhasil, sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Ia menoleh, dan matanya bertemu dengan tatapan Raka.
Tatapan itu bukan hanya penuh dengan amarah, tetapi juga kesedihan yang mendalam. Tatapan itu seperti pisau yang menusuk jiwa, membuat sang pangeran kehilangan kata-kata.
“Lepaskan aku!” teriaknya dengan suara yang bergetar, tetapi Raka tidak bergeming.
Tubuh Raka mulai memanas. Dari pori-porinya, muncul asap tipis yang segera berubah menjadi kobaran Api Brajamusti. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Api itu tidak lagi hanya berwarna jingga terang seperti biasanya, tetapi kini diselimuti warna kehitaman, mencerminkan hatinya yang dipenuhi kesedihan dan kegelapan.
“Kau... membunuhnya...” gumam Raka dengan suara rendah, tetapi penuh dengan amarah. “Kau mengambilnya dariku...”
Pangeran Suradwipa berusaha meronta, tetapi genggaman tangan Raka terlalu kuat.
“Aku... Aku tidak bermaksud...” suaranya semakin melemah, tetapi sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Raka mengangkat tangannya yang menyala dengan api hitam jingga.
“Kau tidak pantas hidup!” teriak Raka.
Dengan satu pukulan yang dipenuhi energi Brajamusti, tubuh sang pangeran hancur seketika. Ledakan api yang dihasilkan dari pukulan itu memancarkan kilauan cahaya yang menyilaukan, tetapi dampaknya membuat tubuh sang pangeran hancur berkeping-keping, berserakan di tanah arena yang telah porak-poranda.
Para prajurit dan pendekar yang menyaksikan kejadian itu terdiam. Bahkan mereka yang memiliki keberanian luar biasa tidak dapat menyembunyikan keterkejutan mereka. Raka telah membunuh Pangeran Suradwipa, pewaris tahta kerajaan. Suasana yang sebelumnya penuh dengan suara sorak-sorai kini berubah menjadi sunyi mencekam. Tidak ada yang berani bergerak, bahkan untuk menarik napas sekalipun.
Penduduk kota yang menyaksikan dari kejauhan hanya bisa saling berpandangan dengan wajah pucat. Mereka tidak percaya bahwa di hadapan mereka, seorang pemuda yang terlihat kelelahan telah menghancurkan pangeran dengan satu pukulan.
Mpu Bharada, yang berdiri di pinggir arena, hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang tak terelakkan, tetapi hatinya tetap merasa berat melihat muridnya terjebak dalam emosi yang begitu dalam.
“Anak muda,” gumam Mpu Bharada dengan nada penuh kebijaksanaan, “kemarahan adalah pedang bermata dua. Ia bisa melukai musuhmu, tetapi juga bisa menghancurkan dirimu sendiri.”
Salah satu pendekar yang berdiri di dekatnya bertanya dengan suara gemetar.
“Tuan, apakah Anda tidak akan menghentikannya?”
Mpu Bharada menggeleng pelan.
“Ini adalah perjalanan yang harus ia tempuh sendiri. Kita semua memiliki beban yang harus kita pikul, dan beban itu adalah guru terbaik dalam hidup kita.”
Di tengah arena, Raka jatuh berlutut di samping tubuh Tari. Api di tubuhnya perlahan memudar, tetapi hatinya masih membara dengan emosi. Ia menatap tangan yang telah menghancurkan sang pangeran, tetapi perasaan puas tidak pernah datang. Sebaliknya, yang ia rasakan hanyalah kehampaan dan rasa bersalah.
“Aku telah membalasmu, Tari...” gumamnya pelan. “Tetapi mengapa rasanya ini tidak cukup?”
Air mata kembali mengalir di pipinya. Ia menggenggam tangan Tari yang dingin, memeluk tubuhnya yang sudah tak bernyawa. Dalam hatinya, ia merasa gagal, tidak hanya sebagai seorang pejuang, tetapi juga sebagai seseorang yang telah berjanji kepada Jaka untuk melindungi Tari.
“Maafkan aku, Jaka...” bisiknya. “Aku telah gagal memenuhi janjiku...”
Langkah Mpu Bharada yang perlahan terdengar di tengah keheningan. Para prajurit dan pendekar yang melihat kehadirannya hanya bisa menundukkan kepala, tidak berani menatap sosok tua itu. Dengan langkah tenang tetapi penuh wibawa, Mpu Bharada mendekati Raka, berdiri di samping muridnya yang masih berlutut.
Ia menepuk pundak Raka dengan lembut, lalu berkata dengan suara yang tenang tetapi penuh makna.
“Anak muda, hidup adalah perjalanan penuh kehilangan. Tidak ada seorang pun yang bisa menghindarinya. Tetapi dari kehilangan itu, kita belajar untuk menjadi lebih kuat.”
Raka menoleh, menatap gurunya dengan mata yang penuh air mata.
“Guru... Aku tidak bisa melindunginya. Aku tidak bisa memenuhi janjiku...”
Mpu Bharada menghela napas panjang.
“Janji yang kau buat memang penting, tetapi ingatlah, anak muda, bahwa kita adalah manusia. Kita memiliki batasan, dan itu adalah bagian dari takdir kita. Kau telah memberikan segalanya untuk melindunginya, dan itu sudah lebih dari cukup.”
Raka menggenggam tangan Tari lebih erat, tetapi perlahan ia merasa bahwa kata-kata gurunya membawa sedikit ketenangan di hatinya. Meskipun rasa bersalahnya tidak hilang, ia mulai menerima bahwa ada hal-hal yang berada di luar kendalinya.
Di tengah kehancuran alun-alun kota Suradwipa, sosok Raka yang berlutut di samping tubuh Tari menjadi pemandangan yang tidak akan terlupakan oleh siapa pun yang menyaksikannya. Mpu Bharada berdiri di sampingnya, memancarkan aura kebijaksanaan yang membawa sedikit kedamaian di tengah kekacauan.
Para penduduk dan pendekar yang menyaksikan dari kejauhan tidak bisa berkata-kata. Mereka tahu bahwa apa yang terjadi hari ini akan mengubah sejarah Suradwipa selamanya. Tetapi mereka juga tahu bahwa di tengah kehancuran ini, ada pelajaran besar yang harus mereka pahami.
“Hidup adalah perjalanan, anak muda,” kata Mpu Bharada dengan suara pelan tetapi tegas. “Dan perjalanan ini tidak pernah mudah. Tetapi dari setiap kehilangan, kita akan menemukan kekuatan untuk melangkah ke depan.”
tapi untuk penulisan udah lebih bagus. deskripsi lingkungan juga udah meningkat 👍