Berada di dunia yang mana dipenuhi banyak aura yang menjadi bakat umat manusia, selain itu kekuatan fisik yang didapatkan dari kultivasi melambangkan betapa kuatnya seseorang. Namun, lain hal dengan Aegle, gadis belia yang terasingkan karena tidak dapat melakukan kultivasi seperti kebanyakan orang bahkan aura di dalam dirinya tidak dapat terdeteksi. Walaupun tidak memiliki jiwa kultivasi dan aura, Aegle sangat pandai dalam ilmu alkemi, ia mampu meracik segala macam ramuan yang dapat digunakan untuk pengobatan dan lainnya. Ilmu meraciknya didapatkan dari seorang Kakek tua Misterius yang mengajarkan cara meramu ramuan. Karena suatu kejadian, Sang Kakek hilang secara misterius. Aegle pun melakukan petualang untuk mencari Sang Kakek. Dalam petualang itu, Aegle bertemu makhluk mitologi yang pernah Kakek ceritakan kepadanya. Ia juga bertemu hantu kecil misterius, mereka membantu Aegle dalam mengasah kemampuannya. Bersama mereka berjuang menaklukan tantangan dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chu-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24
Mata aegle terperanja, melihat bongkahan batu es yang besar, namun terlihat didalam bongkahan itu terdapat entitas hidup didalamnya. Suara yang ia dengar samar-samar semakin jelas, ia mendekati bongkahan es itu. Aegle menyentuh bongkahan es itu, memandangi entitas yang ada didalam. Tiba-tiba bongkahan itu bersinar, berkas cahaya putih bersinar seolah melahap seluruh goa.
***Flashback Ke Masa Lalu***
Satu miliar tahun yang lalu, di dunia para dewa yang disebut Ethelion, ada sebuah negeri abadi yang mengapung di atas lautan bintang. Dunia ini sangat indah dan bercahaya, seperti mimpi yang tak ada habisnya. Langitnya bukan biru seperti di dunia kita, tapi ungu gelap dengan sedikit warna emas. Bintang-bintang berkilauan di sana-sini, membuat semuanya terlihat magis. Awan-awan berwarna perak melayang pelan, memantulkan cahaya lembut dari dua matahari yang bersinar di ujung langit.
Di tengah dunia ini ada Menara Eternia, menara besar yang menjulang tinggi sampai menembus langit. Menara itu adalah pusat dari semuanya di Ethelion. Terbuat dari kristal ajaib, menara ini bersinar dengan cahaya yang seperti menyimpan semua rahasia alam semesta. Dewa-dewa sering berkumpul di sini untuk berbicara, membuat rencana tentang masa depan dunia, dan menjaga agar dunia fana dan dunia abadi tetap seimbang.
Di sekitar menara itu, ada kota-kota yang selalu ramai dan tidak pernah sepi. Jalan-jalannya terbuat dari batu permata yang berkilauan, dan bangunan-bangunannya melayang di udara, ditahan oleh sihir kuno. Di pasar, para dewa kecil dan makhluk-makhluk mitos sibuk bertukar barang-barang ajaib, seperti artefak langka, ramuan kehidupan, dan potongan bintang. Jauh di sana, terlihat gunung-gunung yang melayang di langit, dengan air terjun cahaya yang mengalir turun ke jurang tak berdasar.
Di istana yang megah, Dewi Aetheria duduk di kursi bercahaya yang seperti terbuat dari sinar matahari. Di tangannya ada buku besar yang terbuka, tapi wajahnya terlihat bosan. Ruangan itu dipenuhi cahaya lembut dari kristal ajaib yang membuat semuanya terlihat bersinar keemasan.
Aetheria menutup bukunya perlahan, lalu memandang ke luar jendela besar. Dari sana, ia bisa melihat kota-kota indah di bawah langit ungu dengan bintang-bintang yang berkilauan seperti permata. Tapi suasana yang terlalu tenang membuatnya menarik napas panjang.
“Kenapa semuanya terlalu damai?” gumamnya sambil berdiri. Senyuman kecil muncul di wajahnya. “Mungkin aku perlu jalan-jalan.”
Ia menggerakkan tangannya, dan cahaya menyelimutinya. Dalam sekejap, pakaiannya berubah menjadi gaun sederhana, meski pesona dirinya tetap tidak bisa disembunyikan. Dengan langkah ringan, ia meninggalkan istana, berjalan menyusuri kota yang ramai.
Di pasar, makhluk-makhluk mitos dan dewa kecil bercakap-cakap, menukar barang-barang ajaib. Namun, pembicaraan serius di sudut pasar menarik perhatian Aetheria.
“Dunia iblis semakin berani,” kata seorang pedagang. “Mereka menyerang dunia para dewa tanpa takut.”
“Pasukan kita sudah kewalahan,” sahut yang lain. “Dewa Perang bahkan harus menarik mundur tentaranya.”
Aetheria mendengarkan sambil menyamar di antara rakyatnya. Tapi sebelum ia bisa mendengar lebih banyak, suara Lonceng Agung menggema. Semua orang langsung berhenti bicara dan memandang ke arah Menara Eternia.
“Pertemuan penting,” gumam Aetheria, lalu bergegas kembali ke istana dan menuju menara.
Di aula puncak Menara Eternia, para dewa tertinggi berkumpul dengan wajah serius. Suasana penuh ketegangan. Dewa Kaelor berdiri di tengah, suaranya menggema.
“Dunia iblis menyerang dengan kekuatan lebih besar,” katanya. “Mereka ingin menguasai bukan hanya dunia para dewa, tetapi seluruh alam semesta.”
Dewa Perang menambahkan, “Pasukan kita terluka parah, dan racun senjata iblis sangat mematikan. Kita butuh bantuan cepat.”
Semua mata beralih ke Aetheria. Dewa Kaelor berkata, “Aetheria, kau harus pergi ke medan perang dan menyembuhkan para prajurit. Kami akan mengirim pengawal untuk menemanimu.”
Tanpa ragu, Aetheria menjawab, “Aku akan pergi sekarang juga.”
Kembali ke istananya, ia memanggil Lunaire, serigala bersayap yang menjadi kendaraannya. Lunaire muncul dengan tubuh besar bersinar dan sayap lebar yang berkilau. Aetheria menaiki punggung Lunaire, lalu terbang melintasi langit.
Perjalanan yang seharusnya memakan waktu satu tahun bagi manusia biasa, diselesaikan dalam satu hari dengan kecepatan Lunaire. Saat mereka tiba di kamp pasukan Dewa Perang, pemandangan memilukan menyambut mereka. Banyak prajurit yang terluka parah, beberapa nyaris kehilangan auranya karena racun senjata iblis.
Tanpa membuang waktu, Aetheria mulai menyembuhkan mereka. Siang dan malam, ia bekerja keras, memanfaatkan semua kekuatannya. Racun itu sulit diatasi, tapi perlahan kekuatan Aetheria berhasil menyembuhkan banyak prajurit.
Setelah menyembuhkan para prajurit, Dewi Aetheria memerintahkan pengikutnya untuk beristirahat sejenak. Ia sendiri duduk di bawah pohon besar di tepi kamp untuk memulihkan tenaganya. Sambil menarik napas panjang, ia merasa lega melihat pasukan kembali pulih. Di sisi lain, Lunaire yang telah berubah menjadi bentuk kecilnya mendekat dengan langkah ringan. Ia menggosokkan wajahnya ke pipi Aetheria dengan manja.
Aetheria tertawa kecil, geli dengan tingkah sahabat setianya. “Hei, apa yang kau lakukan? Apa kau ingin bermain?” tanyanya sambil mengelus leher Lunaire dengan lembut. Lunaire mengeluarkan suara kecil, seakan menjawab pertanyaan itu.
“Baiklah,” kata Aetheria sambil berdiri. “Ayo kita berjalan-jalan sebentar.”
Mereka berdua meninggalkan kamp dan melangkah menuju sebuah hutan kecil yang tidak jauh dari sana. Hutan itu tampak tenang, dengan suara gemericik sungai yang berkilauan di bawah sinar bulan. Aetheria menyusuri sungai itu, menikmati suasana damai, hingga langkahnya terhenti. Di depan matanya, seorang remaja laki-laki tergeletak di tanah dengan tubuh penuh luka.
Aetheria melangkah mendekat, tetapi Lunaire langsung berdiri di depannya, menghalangi jalan dengan sikap waspada. Ia menatap remaja itu dengan desisan pelan, menunjukkan ketidakpercayaannya.
“Tenanglah, Lunaire kecil,” kata Aetheria lembut sambil meletakkan tangan di kepala sahabatnya. Ia kembali memandang remaja itu, yang tampak sangat muda dan terluka parah. “Kasihan sekali dia. Dia terlalu muda untuk terlibat dalam perang ini,” gumamnya.
Aetheria berlutut, mengulurkan tangannya, dan memancarkan kekuatan penyembuhan. Cahaya lembut mengalir dari telapak tangannya, membungkus tubuh remaja itu perlahan-lahan. Luka-lukanya mulai menutup, meski wajahnya masih terlihat lemah.
“Lunaire,” perintah Aetheria setelah selesai, “bawa anak ini ke istanaku. Dia butuh istirahat yang layak.”
Namun, Lunaire tampak enggan mendengar. Ia hanya menatap remaja itu dengan penuh curiga, bahkan sedikit mundur. Aetheria tersenyum kecil dan menatap sahabatnya dengan penuh kasih.
“Hei, Lunaire, apa kau membantah perintahku? Baiklah, kalau begitu aku tidak membutuhkanmu lagi,” ucapnya sambil berpura-pura kecewa.
Mata Lunaire berkaca-kaca mendengar kata-kata itu. Dengan berat hati, ia mengangguk dan berubah menjadi bentuk besar. Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuh remaja itu ke punggungnya. Sebelum mereka pergi, Aetheria menggunakan kekuatannya untuk menutupi aura remaja itu agar tidak terdeteksi oleh siapa pun.
“Sekarang, pergilah dengan hati-hati,” kata Aetheria sambil menepuk leher Lunaire. Dengan sekali kepakan sayapnya yang besar, Lunaire terbang meninggalkan hutan, membawa remaja itu ke tempat aman.
Setelah memastikan semuanya terkendali, Aetheria berbalik dan berjalan kembali ke kamp. Langit mulai cerah, orang-orang akan menanyakan keberadaannya.