Ho Chen ditakdirkan memiliki kekuatan di atas alam Dewa, dia berguru kepada Feng Ying yang menjadi legenda di masa lalu.
Namun untuk mencapai kekuatan tersebut tidaklah mudah.
Dengan berlatih di bawah bimbingan Feng Ying, Ho Chen telah berhasil menjadi pendekar hebat di usia yang masih muda.
Pada saat itulah gurunya memberi ujian untuk pergi berpetualang, petualangan yang akan memulai semuanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adicipto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Feng Ying
***
Di sebuah tempat yang sangat jauh, ada seorang pria sepuh sedang duduk meditasi, secara perlahan dia membuka mata dan menatap tajam ke depan, seakan-akan sedang melihat sesuatu.
“Sepertinya sudah waktunya!" pria itu berseru sambil terus memandang lurus kedepan.
“Benar ini sudah waktunya," tiba-tiba muncul di sampingnya sesosok bercahaya sangat terang.
“Tidakku duga sampai selama ini!"
Pria sepuh itu menghela nafas panjang. Dia bangkit dari tempat duduknya dan sedetik kemudian pria itu menghilang seakan-akan tidak pernah ada di tempat itu. Dia kembali muncul di puncak gunung dan menatap tajam kearah selatan.
“Baiklah ini memang sudah takdir,"
Pria sepuh itu teringat ketika bertarung melawan 29 jagoan sekte aliran hitam.
Saat meledakkan jurus sembilan matahari, seharusnya dia sudah mati karena ledakan itu. Akan tetapi ketika hampir meledak, tiba-tiba sosok cahaya itu muncul lagi dan memegang pundaknya. Dengan cepat dia sudah berada di tempat yang sangat jauh.
Dia bisa mendengar ledakan besar dan tanah bergetar. Tentu dia kaget sedangkan tubuhnya sudah tidak memiliki tenaga.
Sosok yang bercahaya itu menggunakan kekuatan ruang waktu, membuat orang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
sosok itu memiliki alasan, kenapa mau menyelamatkan dirinya. Alasan sosok itu ingin pria sepuh itu mendidik langsung anak yang akan memiliki takdir.
“Hehhh..!" selesai menghela nafas panjang pria sepuh itu menghilang. Dan dalam 5 tarikan nafas pria sepuh itu sudah berdiri di dalam sebuah rumah yang sedang terbakar, di depannya terlihat seorang pria bertopeng sedang mengangkat pedang. Pandangan pria sepuh itu tertuju pada anak laki-laki yang sedang duduk menangis di depan dua mayat, anak kecil tersebut memegang wajah kedua mayat tersebut. Bisa dipastikan pria bertopeng itu akan membunuh anak kecil itu.
“Ternyata masih ada manusia berhati siluman saat ini!" batin pria sepuh itu.
“Matilah kau bocah! Hahahahaha!" tiba-tiba pria bertopeng itu berseru.
Pria sepuh itu memandang tajam ke arah pria bertopeng tersebut, dia mengangkat jarinya dan bergerak seperti menebas udara kosong. Namun terlihat energi seperti angin terbentuk menyerupai bulan sabit kecil bergerak maju menembus leher pria bertopeng itu.
Tubuh pria bertopeng jatuh dengan kepala terlepas. Pria sepuh kembali menoleh ke anak kecil itu. Dia berniat untuk mengajaknya keluar, namun anak kecil tiba-tiba langsung terbaring tidak sadarkan diri.
“Kasian anak ini, biar pun anak ini ditakdirkan sebagai calon pendekar terhebat dimasa depan, namun ternyata harus melewati pengalaman pahit terlebih dahulu!" pria itu memandang tubuh anak itu sambil menggelengkan kepala.
Pria itu mengangkat tubuh anak kecil itu, saat diangkat, dia melihat ada benda jatuh dari tangan anak itu.
Sebuah kalung giok putih memiliki permata berwarna biru terang yang sangat indah. Pria itu meraih kalung itu dan mereka langsung menghilang, tidak lama kemudian muncul kembali sekitar beberapa meter dari rumahnya. Pria itu masuk kedalam rumah yang tidak terbakar, namun ada beberapa mayat di sana.
Setelah membaringkan anak kecil itu, pria sepuh itu keluar. Dia melihat ke sebuah kelompok sekitar 100 orang yang sedang asik tertawa dan minum arak. Pria sepuh itu menghilang, dan muncul di tengah-tengah kerumunan.
“Kalian merasa senang setelah membunuh orang-orang dengan keji? Sungguh kalian bukan manusia, lebih tepatnya kalian binatang!" seru pria sepuh itu sambil melihat kesekelilingnya yang dipenuhi orang-orang bertopeng.
Jelas mereka sontak kaget, karena tidak merasakan kehadirannya. "Siapa kamu? Berani-beraninya mengganggu kami!" kata salah seorang sambil menunjuk-nunjuk ke arah pria sepuh tersebut.
Pria itu menoleh dan memperhatikan orang tersebut. Melihat pakainya yang terlihat berbeda, sudah pasti orang itu adalah pimpinan kelompok ini.
“Kalian tidak perlu tau siapa aku, dan kalian sudah keterlaluan. Jika kalian dibiarkan hidup, akan lebih banyak lagi kekacauan di masa depan. Karena itu aku akan mengubur kalian di sini saja,"
Selesai berkata demikian pria sepuh itu langsung menekan mereka dengan energi yang kuat, sampai mereka semua tewas, tanpa perlawanan yang berarti.
Hanya satu orang yang dibiarkan hidup, dan pria sepuh itu membiarkannya pergi. Seketika itu juga pria sepuh itu menghilang.
Sedangkan orang yang selamat masih gemetar menyaksikan itu dari jauh. Setelah pria sepuh itu hilang, tanpa pikir panjang, orang itu langsung menaiki kuda ketuanya yang sudah tewas tanpa sebab itu. Orang itu lari dengan sangat cepat memacu kudanya.
**
Ho Chen tidak sadarkan diri selama hampir seharian. Ketika hari sudah mulai sore, Ho Chen mulai membuka mata pelan.
“Di mana ini? Apa aku sudah mati?" Ho Chen terbangun dari tempat tidurnya dan memandang sekelilingnya.
“Tidak, ternyata aku belum mati!" Ho Chen tersadar dan wajahnya terlihat kecewa.
“Kamu sudah sadar?" tanya seorang pria sepuh itu, sambil menatap penuh iba.
Ho Chen menoleh ke sumber suara tersebut. dia melihat seorang kakek yang menghampirinya. namun dia tidak mengenalnya. "Kakek siapa? Apa Kakek yang menyelamatkanku?" tanya Ho Chen.
Pria sepuh itu tersenyum, dia mendekati Ho Chen dan memegang pundaknya. "Namaku Feng Ying. Benar akulah yang membawamu kesini!”
Ho Chen menundukkan kepala, dia sama sekali tidak berharap untuk selamat. Yang dia inginkan saat ini, dia ingin segera menyusul orang tuanya.
“Aku mengerti akan apa yang kamu rasakan. Namun kedua orang tuamu berharap agar kamu tetap melanjutkan hidup, dan kalau terjadi sesuatu denganmu, mereka tidak akan senang melihatnya,"
Feng Ying tau bagaimana rasanya kehilangan. Bagi Feng Ying yang menjalani kehidupan selama ribuan tahun, tentu sudah mengalami berbagai cobaan yang sangat berat.
“Bagai mana kakek bisa seyakin itu?" tanya Ho Chen.
Feng Ying tersenyum, lalu mengeluarkan kalung dan meletakkannya di depan Ho Chen.
“Kalung ini sebagai buktinya. Orang tuamu memberikan kalung ini agar kamu bertahan untuk tetap hidup,"
Ho Chen baru teringat setelah melihat kalung itu. Dia teringat saat ayahnya memberikan kalung itu padanya ketika di akhir nafasnya. Ho Chen juga ingat setiap pesan yang dikatan oleh ayahnya.
Feng Ying berniat meninggalkan ruangan itu agar Ho Chen bisa beristirahat dengan tenang.
“Terima kasih kakek telah menyelamatkanku, dan maaf atas sikapku sebelumnya!" Ho Chen membungkuk, menyesali atas sikapnya yang kurang pantas.
Feng Ying menatapnya dengan tersenyum. "Istirahatlah, dan besok kamu pergi ke makam orang tuamu,"
Feng Ying melangkah ke luar meninggal kan Ho Chen sendiri di dalam kamar. Ho Chen terdiam sambil menatap kalung pemberian sang Ayah.
Dia kembali mengingat saat-saat bahagia dengan kedua orang tuanya. Perasaan sakit kembali menyerang hatinya, air matanya kembali mengalir karena tidak mampu menahan rasa sakit. Saat ini Kebahagian yang dia rasa telah hilang untuk selamanya.
“Darah iblis! Suatu saat akan ku balas kematian ayah dan ibuku,"Ho Chen menggenggam erat kalungnya.
Saat pagi tiba, Ho Chen berjalan tidak jauh dari tempat tinggalnya. Dia bersujud di depan dua batu nisan tanpa nama. Dua batu nisan tersebut adalah makam kedua orang tuanya.
Tidak ada yang selamat dari pembantaian tersebut, hanya tersisa Ho Chen. Feng Ying mengubur semua jenazah warga secara massal. Kecuali jenazah Ho Jun dan Wei Shuan. Mereka dikubur sendiri-sendiri secara berdampingan. Bukan karena istimewa, namun karena anaknya masih hidup.
“Ayah! Ibu! Maaf baru mengunjungi kalian! Aku.. aku.. aku!" suaranya terhenti, seakan-akan tidak mampu untuk berbicara, suaranya tertutup oleh rasa sakit dan sedih, dan suara tangis terdengar pelan.
Setelah agak lama Ho Chen sudah merasa agak tenang, dia kembali mengutarakan keinginannya.
“Ayah! Ibu! Aku berjanji akan bertahan hidup, dan berusaha menjadi kuat. Aku akan melindungi orang orang yang sangat berharga bagiku. Dan aku pastikan akan menghancurkan darah iblis suatu hari nanti. Beristirahatlah kalian dengan tenang," Ho Chen bersujud 3 kali, lalu bangun menyeka air matanya.