sinopsis Amelia, seorang dokter muda yang penuh semangat, terjebak dalam konspirasi gelap di dunia medis. Amelia berjuang untuk mengungkap kebenaran, melindungi pasien-pasiennya, dan mengalahkan kekuatan korup di balik industri medis. Amelia bertekad untuk membawa keadilan, meskipun risiko yang dihadapinya semakin besar. Namun, ia harus memilih antara melawan sistem atau melanjutkan hidupnya sebagai simbol keberanian dalam dunia yang gelap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurul natasya syafika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langit Mendung di Balik Ruang Operasi - Bahagian 3: Pilihan yang Sulit
Pagi itu, Anton meminta Amelia datang ke kamarnya. Udara di ruangan terasa berat, penuh dengan ketegangan yang belum terucap. Anton duduk di kursi roda dekat jendela, memandangi cahaya matahari yang menembus tirai.
Amelia memasuki ruangan dengan berkas medis di tangan, tetapi kali ini ia tidak memulai dengan data. Ia tahu bahwa ini adalah momen penting.
"Pak Anton," kata Amelia lembut, "Saya ingin mendengar apa yang ada di pikiran Anda."
Anton tersenyum kecil, tetapi senyumnya tampak penuh kesedihan. "Dokter Amelia, selama beberapa hari terakhir saya banyak berpikir. Saya tahu keluarga saya ingin saya mencoba pengobatan itu. Tapi..." Anton terdiam sejenak, suaranya bergetar saat ia melanjutkan, "Saya lebih takut menghabiskan sisa hidup saya di rumah sakit ini daripada menghadapi kematian."
Amelia terkejut mendengar pengakuan Anton, meskipun dalam hatinya, ia sudah menduga ini adalah arah yang akan diambil. "Pak Anton," katanya dengan lembut, "Keputusan Anda adalah hak Anda sepenuhnya. Apa pun yang Anda pilih, saya di sini untuk mendukung Anda."
Anton melanjutkan, "Saya tidak ingin menjalani pengobatan yang hanya akan membuat saya lebih menderita. Saya ingin menghabiskan waktu yang tersisa bersama keluarga saya, dengan tenang, tanpa alat-alat medis yang membuat saya merasa seperti eksperimen."
Amelia mengangguk, berusaha menahan emosinya. Sebagai dokter, ia tahu bahwa menghormati keinginan pasien adalah yang paling penting, tetapi ia juga tahu bahwa ini akan menjadi tantangan besar bagi keluarga Anton. "Saya akan membantu Anda berbicara dengan keluarga Anda," kata Amelia. "Keputusan ini bukan hal yang mudah bagi mereka, tetapi saya akan berusaha membuat mereka mengerti."
......................
Amelia mengumpulkan Nia dan Bagas di ruang konseling rumah sakit. Kedua anggota keluarga itu sudah tampak tegang sejak awal, seolah-olah mereka tahu sesuatu yang besar akan dibicarakan.
"Dokter Amelia," Nia memulai, "Ayah saya bagaimana? Apakah sudah siap untuk memulai pengobatan?"
Amelia menarik napas panjang sebelum menjawab. "Pak Anton telah memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan agresif," katanya perlahan.
Ruangan seketika sunyi. Nia terlihat terpukul, sementara Bagas memandang Amelia dengan ekspresi marah. "Apa maksudnya tidak melanjutkan pengobatan? Apakah Anda sudah menyerah pada ayah kami, Dokter?" suara Bagas meninggi.
Amelia tetap tenang, meskipun ia merasakan beban tekanan. "Saya tidak menyerah pada Pak Anton. Justru, saya menghormati keputusannya. Beliau merasa bahwa pengobatan agresif ini tidak akan memberikan kualitas hidup yang ia inginkan. Ia lebih memilih untuk menjalani perawatan paliatif agar bisa menghabiskan waktu dengan nyaman bersama keluarga."
Nia mulai menangis, menggenggam tangannya dengan erat. "Tapi... dia masih punya waktu, kan? Jika dia mencoba, mungkin ada keajaiban."
Amelia menggeser duduknya mendekati Nia, berusaha memberikan rasa aman. "Saya tahu ini sulit diterima. Kita semua menginginkan yang terbaik untuk Pak Anton. Tetapi terkadang, yang terbaik adalah memastikan bahwa ia merasa nyaman dan damai, bukan memaksanya menjalani sesuatu yang membuatnya lebih menderita."
Bagas berdiri dari kursinya, berjalan bolak-balik di ruangan. "Jadi, kita hanya duduk diam dan menunggu? Itu tidak masuk akal, Dokter!" katanya dengan nada frustrasi.
Amelia menatapnya dengan penuh empati. "Pak Bagas, saya memahami kemarahan Anda. Tetapi keputusan ini adalah hak pasien. Sebagai dokter, tugas saya adalah memastikan bahwa keinginan Pak Anton dihormati. Ini bukan soal menyerah, melainkan tentang memberikan kesempatan bagi beliau untuk menjalani hidup yang berkualitas dalam waktu yang tersisa."
......................
Diskusi dengan keluarga Anton semakin memanas. Nia, yang biasanya tenang, mulai menunjukkan sisi emosionalnya. "Saya tidak bisa menerima ini, Dokter. Ayah saya selalu berjuang. Kenapa sekarang dia memutuskan untuk berhenti?"
Amelia menatap Nia dengan lembut. "Nia, ayah Anda tidak berhenti berjuang. Ia hanya memilih untuk berjuang dengan cara yang berbeda. Baginya, melanjutkan pengobatan bukanlah hal yang akan membuatnya merasa hidup. Ia ingin memanfaatkan waktu yang ada untuk bersama Anda dan keluarga, tanpa harus menghadapi efek samping yang melelahkan."
Nia menundukkan kepalanya, air matanya terus mengalir. Bagas, di sisi lain, tetap terlihat tegang. "Dokter, saya ingin bicara dengan Anton langsung. Jika ini benar-benar keputusannya, saya ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri."
Amelia mengangguk. "Tentu, saya akan mengatur waktu bagi Anda untuk berbicara dengan Pak Anton. Saya yakin beliau akan dengan senang hati menjelaskan alasan keputusannya."
......................
Amelia membawa Nia dan Bagas ke kamar Anton. Di sana, Anton terlihat duduk di kursi roda, wajahnya terlihat lebih damai daripada sebelumnya. Ketika Nia dan Bagas masuk, Anton tersenyum tipis. "Nia, Bagas, mari duduk. Saya ingin bicara dengan kalian."
Nia langsung mendekat, menggenggam tangan ayahnya dengan erat. "Ayah, kenapa? Kenapa Ayah memilih untuk berhenti? Aku tidak mengerti."
Anton menarik napas dalam sebelum menjawab. "Nia, Bagas, saya tahu kalian mencintai saya. Kalian ingin saya melawan ini sampai akhir. Tapi saya sudah memikirkan ini dengan hati-hati. Saya tidak ingin menghabiskan sisa hidup saya di rumah sakit, terhubung dengan alat-alat medis. Saya ingin bersama kalian, tertawa, mengenang masa lalu, meskipun itu berarti waktu saya tidak akan lama."
Nia menangis lebih keras, sementara Bagas hanya terdiam. "Ayah, apakah Ayah yakin? Bukankah kita harus mencoba?" tanya Nia.
Anton mengangguk pelan. "Nak, saya sudah mencoba banyak hal selama ini. Sekarang, saya hanya ingin damai. Saya ingin kalian ingat saya seperti ini, bukan dalam kondisi yang lebih buruk karena pengobatan yang melelahkan."
Bagas akhirnya angkat bicara. "Kalau ini benar-benar keputusanmu, Anton, aku akan mendukungmu. Tapi ini berat untuk kami. Berat untukku dan Nia."
Anton meraih tangan Bagas dan Nia. "Saya tahu. Dan saya bersyukur kalian ada untuk saya. Tapi inilah keputusan saya, dan saya harap kalian bisa menerima itu."
......................
Setelah pertemuan tersebut, Amelia keluar dari kamar Anton, memberikan ruang bagi keluarga untuk berbicara lebih lanjut. Ia berjalan menuju ruang istirahat dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena Anton memiliki keberanian untuk menyatakan keputusannya. Di sisi lain, ia khawatir apakah keluarga Anton benar-benar bisa menerima ini.
Di dalam kamar, suasana menjadi lebih tenang, tetapi air mata masih mengalir. Nia dan Bagas saling menatap sebelum Nia berkata, "Ayah, beri kami waktu untuk berpikir." Anton mengangguk, menghormati permintaan putrinya.
...----------------...
Anton yang duduk di kursi roda, memandangi keluarganya dengan ekspresi tenang namun penuh harapan bahwa mereka akan menerima keputusannya.
Di luar, Amelia berdiri di koridor, menatap kosong, memikirkan dampak dari perjalanan emosional yang ia saksikan dan rasakan.
...****************...
Apakah keluarga Anton akan menerima keputusannya? Bagaimana Amelia akan membantu mereka melewati proses ini?