Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35. My future (Zeze)
Setelah berpamitan dengan ke dua orang tua Ayzel, Alvaro menuju hotel luxury. Perjalan sekitar dua puluh menitan dari kediaman Ayzel. Di sana sudah menunggu Kim Roan dan keluarganya, Althan juga sudah ada di sana. Hanya saja mereka sibuk dengan urusan masing-masing setelah sebelumnya mereka ngobrol sejenak begitu Alvaro tiba di hotel.
“Lama bener. Kemana dulu?” tanya Kim Roan.
“Mengunjungi calon mertua dulu, plus makan malam di sana” jawab Alvaro riang.
“Ck ... yakin Ayzel setuju?” ledek Kim Roan.
“Siapa yang bisa menolak pesona CEO Alvaro,” perkataan Alvaro membuat Kim Roan terkekeh.
“Buktiknya sampai sekarang Ayzel lempeng-lempeng saja,” canda Kim Roan.
Alvaro dan Kim Roan terkekeh bersama mengingat betapa konyolnya tingkah Alvaro saat berhadapan dengan Ayzel, dengan perempuan lain dia tidak perlu bersusah payah. Semua akan datang dengan sendirinya mendekat, tapi Ayzel masih tetap tidak bergeming. Walaupun akhir-akhir ini Ayzel mulai sedikit salah tingkah dengan setiap perlakuan Alvaro padanya, namun tetap saja perempuan dengan tinggi 160 an cm itu tetap masih waspada terhadap Alvaro.
“Papa, mama di mana?” Alvaro menanyakan keberadaan orang tua Kim Roan.
“Sudah istirahat. Besok saja kalau mau ketemu,” jawab Kim Roan.
Mereka kemudian menuju kamar masing-masing, Alvaro langsung menuju kamar mandi setelah lebih dulu mengeluarkan barangnya dari koper dan menaruhnya pada lemari. Dia langsung mandi karena merasa gerah setelah setelah perjalanan dari jakarta menuju bandung.
“Padahal baru satu jam yang lalu terakhir bertemu,” gumam Alvaro yang sudah selesai dengan ritual mandinya. Dia merebahkan dirinya di kasur, matanya berusaha memejam tapi tidak bisa. Dia meraih ponselnya, kemudian mengirimkan pesan pada Ayzel.
*Mr. Alvaro
Aku sudah sampai. Sorry baru sempat mengabari.
*My future (Zeze)
Tidak apa-apa. Istirahat, sudah malam.
*Mr. Alvaro
Tidak bisa tidur. Aku telepon ya?
*My future (Zeze)
Ini sudah malam, tidur pak Alvaro. Sampai ketemu lusa di luxury.
*Mr. Alvaro
Besok aku jemput, ya? Temani aku jalan-jalan sebentar.
*My future (Zeze)
Maaf, tapi aku tidak bisa menemani. Ada yang harus aku selesaikan, kamu bisa minta pak Kim menemani.
*Mr. Alvaro
Maunya di temani kamu Ze.
*My future (Zeze)
Lusa aku temani, sesuai janjiku dinner di luxury.
*Mr. Alvaro
Baiklah. Selamat tidur, last chat di aku.
Baik Ayzel maupun Alvaro sama-sama melemparkan ponselnya asal pada kasur mereka, Alvaro mengusap kasar wajahnya. Seolah ada rasa khawatir menghinggapi pikirannya, dia takut tidak akan bertemu dengan Ayzel besok atau lusa. Sementara di tepat yang berbeda, Ayzel juga merebahkan dirinya di kasur. Dia menghela napas panjang sambil melihat langit-langit kamarnya, pikirannya menerawang jauh.
“Apa ini yang terbaik?” gumam Ayzel yang menutup matanya dengan satu lengannya. Satu tetes dua tetes air matanya lolos membasahi pipi, hingga tak terasa Ayzel terlelap karena lelah menangis.
Sinar matahari pagi mulai masuk menyelinap ke dalam sela-sela tirai di kamar Ayzel, dia tidur lagi setelah subuh karena masih merasa lelah. Anara masuk ke dalam kamar putri sulungnya tersebut, dia membuka tirai otomatis kamar Ayzel. Membiarkan sinar mentari pagi sepenuhnya masuk memenuhi kamar tersebut.
“Sayang. Bangun dulu, yuk!” di sentuhnya dengan lembut pipi putrinya tersebut, dua tahun lamanya Anara tidak melihat putrinya. Ayzel memang belum pernah sekalipun pulang selama menempuh pendidikan di Turki.
“Jam berapa bun?” Ayzel meregangkan badannya.
“Jam tujuh. Hari ini temani bunda ke mall, ya? Kita cari kado buat Humey,” pinta Anara pada putrinya.
“Boleh bun. Mau berangkat jam berapa?”
“Jam sembilan kita ke rumah Humey dulu. Baru nanti kita ke mall,” ucap Anara.
“Harus ya, bun?” kalau bisa dan boleh memilih Ayzel sebenarnya enggan ke sana, pasti sudah banyak orang karena acara Humey besok. Meskipun akad akan di laksanakan di luxury, tapi di rumah Humey tetap ada serangkaian acara.
“Sebentar saja sayang. Humey pasti sedih kalau kamu tidak ke sana,” Anara memahami keresahan putrinya. Tapi mau tidak mau dia tetap ingin putrinya menemui Humey, karena dari kemarin Humey selalu bertanya tentang Ayzel yang sudah sampai bandung atau belum.
Maklum saja karena saat Ayzel turun di cafe, dia saat itu masih tertidur. Humey tidak bisa menghubungi kakak sepupunya tersebut karena ponselnya untuk sementara di sita mamanya sampai akad nanti. Alasannya tentu agar Humey tidak melihat media sosial, mereka khawatir jika artikel yang muncul dapat mempengaruhi moodnya. Dia pinjam ponsel mamanya yang tak lain adalah adik ipar Anara untuk bertanya Ayzel sudah pulang kebandung atau belum.
“Ok bun,” Ayzel bangun dari tempat tidurnya. Dia menuju kamar mandi untuk urusan mandi dan lain-lainnya. Dia ingin berendam lebih dulu, membuat tubuhnya lebih rileks dan mengompres matanya yang sedikit bengkak karena menangis semalam.
Ayzel sudah lebih segar setelah berendam, saat ini dia sedang bersiap-siap. Outfitnya hari ini tetap sederhana namun tak mengurangi pesona yang di tampilkan Ayzel. Dengan rok plisket berwana putih, t-shirt warna lilac sebagai atasan di padu dengan cardigan rajut. Hijab warna lave serta flatshoes menambah aura feminimnya lebih menonjol.
“Aku jemput, ya?” Ayzel melihat ponselnya, memastikan siapa yang mengiriminya pesan. Dia membuang napasnya perlahan setelah tertera nama Mr. Alvaro di sana, Ayzel menimbang-nimbang haruskan dia membalas pesan Alvaro atau justru membiarkannya. Hari ini sebenarnya Ayzel sedang tidak dalam suasana hati yang baik, lebih tepatnya dari semalam.
“Maaf, tapi aku tidak bisa menemanimu. Aku benar-benar ada perlu,” balas Ayzel pada Alvaro. Dia hanya berusaha untuk tidak menyeret orang lain saat suasana hatinya sedang buruk, apalagi Ayzel harus ke tempat Humey lebih dulu baru setelah itu menemani bundanya ke mall.
“Baiklah,” gumam Alvaro tanpa membalas pesan yang di kirim Ayzel.
Ayzel memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah sebelumnya mengubah ponsel menjadi mode senyap, dia menyusul bundanya yang sudah lebih dulu masuk ke mobil. Mereka diantar supir karena Anara tidak mengijinkan Ayzel menyetir, dia tahu pasti bagaimana putrinya tersebut saat berkendara di jalanan.
“Jangan pulang dulu. Sebentar lagi ya? Kak Ze?” paksa Humey yang tidak ingin Ayzel pulang.
“Aku masih ada keperluan. Besok aku temani,” ucapnya pada Humey. Namun sepupunya itu tetap tidak mau di tinggal, meskipun di sana ada sepupunya yang lain. Tapi baginya Ayzel adalah nomor satu.
“Sayang. Bunda pinjam kak Ze dulu, ada perlu yang benar-benar harus butuh kak Ze. Cuma dia yang bisa melakukan,” ucap Anara agar Humey mengijinkan Ayzel pergi. Setelah drama perdebatan kecil mereka, akhirnya Ayzel dan Anara pulang dan menuju mall sesuai rencana.
“Makasih bun,” Ayzel memeluk lengan bundanya. Karena Anara akhirnya mereka bisa segera pulang.
“Sama-sama sayang,” Anara mengusap kepala putri sulungnya tersebut.
"Zeze kembali ke Istanbul hari apa, nak?" tanya Anara.
"Rabu pagi bun, kalau tidak ada perubahan" jawabnya dengan masih bersandar memeluk lengan hangat bundanya. Dia merindukan bundanya tentu saja, meskipun pada dasarnya saat masih di Indo mereka juga jarang bertemu karena Anara lebih sering menemani suaminya perjalanan bisnis.
"Sayang sekali Gavin tidak pulang," ucap bundanya. Gavin adalah anak bungsu mereka, dia yang nanti akan meneruskan Jazganara Tech. Karena itu sebelum dia benar-benar menggantikan ayahnya, Gavin meminta waktu untuk mencari banyak pengalaman sekaligus jalan- jalan ke berbagai negara.
"Bunda kangen Gavin pasti," ujar Ayzel yang dibalas pelukan erat dari Anara.