Kecelakaan menjadikan tertulisnya takdir baru untuk seorang Annasya Atthallah. Berselang dua bulan setelah kecelakaan, gadis yang biasa dipanggil Nasya itu dipinang oleh orang tua lelaki yang merupakan korban kecelakaan.
Airil Ezaz Pradipta, terpaksa menyetujui perjodohan yang diam-diam dilakukan oleh kedua orang tuanya. Tidak ada yang kurang dari seorang Nasya. Namun dirinya yang divonis lumpuh seumur hidup menjadikan Airil merasa tidak pantas bersanding dengan perempuan yang begitu sempurna.
Lelaki yang dulunya hangat itu berubah dingin ketika bersama Nasya. Mampukah Nasya meruntuhkan tembok es itu dan melelehkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11
Paginya Nasya sudah bersikap biasa, melupakan perdebatannya dengan Airil tadi malam. Perempuan itu menatap lembut suaminya yang masih tertidur.
“Jangan terlalu mengejar, nanti dia akan menjauh.” Nasya mengingatkan dirinya.
Apakah dia sudah jatuh cinta dengan suaminya ini. Nasya tidak tahu. Ia hanya ingin menjadi istri yang baik dan selalu mendampingi Airil. Tanpa mengerti kalau suaminya tertekan dengan semua kebaikannya.
Airil tersenyum kala mendapati Nasya lah yang dilihatnya saat membuka mata. Namun senyuman itu hanya beberapa detik. Karena tatapan dingin lah yang Nasya dapati setelahnya.
“Ayo aku bantu cuci muka dulu Mas,” Nasya sudah menyiapkan air di baskom kecil untuk Airil mencuci muka. Kemudian membantu menggosokkan gigi. Perempuan itu melayani suaminya dengan sangat baik.
“Habis ini kita sarapan,” ujar Nasya tersenyum riang menepuk-nepuk pipi Airil dengan handuk kecil.
Cukup heran kenapa Airil tidak melarangnya melakukan semua itu. Biasanya disentuh sedikit saja langsung mengusirnya.
“Setelah ini kau pergi, akan ada yang datang merawatku.” Ucap Airil sembari menerima suapan dari istrinya.
Nasya tidak menanggapi, terus saja menyuapi sambil tersenyum. Sesekali membersihkan sudut bibir Airil yang tersisa bekas makan.
"Sayang, kenapa nggak ngabarin kalau kamu dirawat."
Seorang gadis dengan rambut sebahu diikat ke belakang datang dengan terburu-buru. Nampak sekali sangat mencemaskan keadaan Airil.
Pyar, piring yang Nasya pegang jatuh ke lantai.
"Maaf ada istri kamu, aku kelepasan." Cicit gadis itu tersenyum canggung pada Nasya.
"Siapa dia Mas?" Nasya bertanya lembut pada suaminya yang masih mengunyah makanan. Tidak ada nada kemarahan dari raut wajahnya.
"Kekasihku," jawab Airil santai.
Detik itu juga dunia Nasya rasanya runtuh. Namun kakinya masih berdiri tegak, dia tidak boleh lemah menghadapi semua kenyataan hidup ini.
"Oh, kebetulan sekali kekasihmu datang. Tolong suruh bersihkan bekas makanan yang jatuh. Salahnya juga membuatku kaget," ujar Nasya santai. Kemudian beranjak ke kantin membelikan sarapan lagi.
"Kenapa dia tidak marah dan malah sesantai itu?" Tanya Airil tidak suka, namun kalimat itu hanya terucap dalam hatinya.
Tidak lama setelahnya Nasya kembali, bekas makanan yang berhamburan tadi sudah dibersihkan.
"Aku belikan yang baru Mas, ayo sarapan lagi." Nasya duduk di sisi brankar untuk menghindari kakinya yang lemas kalau terus berdiri.
"Biar dia yang menyuapiku," Airil menoleh pada gadis yang duduk di sisi kanannya.
"Sayang, aku mau kamu yang suapin." Pintanya manja.
"Aku saja Mas, kan dia tadi sudah membersihkan makanan yang jatuh. Pasti lelah, biar dia istirahat. Aku yang akan mengurusmu." Nasya menyingkirkan tangan yang ingin merebut makanan miliknya.
"Berikan padanya Nasya, aku tidak ingin disuapi olehmu." Ucap Airil dengan nada menyentak.
"Kalau mau merawat kamu ya usaha sendiri, beli sendiri makanannya jangan ambil punya aku."
Nasya menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri karena Airil yang tidak mau menerima suapannya lagi. Sekuat hati bertahan agar tidak menangis.
"Sayang tanganku sakit," rengek gadis yang terlihat lebih muda dari Nasya beberapa tahun itu dengan suara manja.
"Coba lihat," Nasya menjulurkan tangan. Apa dia sekeras itu menamparnya tadi.
"Namanya siapa Mas?" Nasya bertanya sambil meremas kuat tangan yang berada dalam genggamannya.
"Auww sakit!!" Jerit gadis itu kesakitan.
"Aku tanya siapa namanya?" Ulang Nasya semakin kuat meremas tangan itu, namun bibirnya tersenyum manis.
"Wina, namanya Wina." Airil refleks mengelus-elus tangan Nasya agar melepaskan genggaman tangannya. Kalau dibiarkan bisa meremukkan tangan orang.
"Kamu itu masih muda dan cantik, terlalu berharga kalau harus menjadi simpanan suami orang!" Nasya tersenyum smirk setelah genggaman tangannya terlepas.
"Tangannya sakit, nggak bisa nyuapin kamu Mas." Katanya kembali menyuapi Airil tanpa mempedulikan gadis yang meringis kesakitan.
"Aku yang memilihnya," Airil menjawab dengan senyuman sinis. Menolak suapan dari Nasya.
Nasya menarik napas pelan berkali-kali. "Kamu telah berikrar di hadapan Allah sebagai suamiku Mas. Tidak masalah kalau kamu mengkhianati aku. Tapi jangan khianati janji kamu pada Allah dan Abiku."
Setelah mengucapkannya Nasya membungkam mulut Airil agar tak lagi bicara. Menarik tengkuk pria itu kemudian menyesap benda kenyal yang kalau bicara selalu menyakiti hatinya.
"Mbak, jangan cium-cium pacar aku!!" Seru Wina menarik Nasya kasar.
Namun Airil mengisyaratkan pada gadis itu agar diam. Bisa-bisa Nasya menghajar Wina kalau mengganggu kesenangannya.
Airil mengikuti permainan Nasya yang masih sangat kaku. Bahkan perempuan itu kesulitan sendiri mengatur ritme napasnya.
"Apa ini ciuman pertamamu!!" Sindir Airil setelah Nasya melepaskan tautan bibirnya, "sangat buruk."
Nasya membelalakkan mata. Menyusupkan tangannya ke dalam selimut lalu meremas kasar benda yang paling menonjol di dalam sana.
"Nasya lepaskan, kau menyiksanya!!" Pekik Airil, dibanding sakit dia lebih tersiksa karena benda itu minta dibebaskan.
"Aku ajari caranya berciuman yang baik." Cetus Airil, memanggil Wina untuk mendekat.
Detik itu juga Nasya mengumpulkan semua kekuatannya. Memegang kuat si benda keramat.
"Sya sakit!!" Kali ini Airil benar-benar kesakitan.
"Sayang kamu kenapa?" Panik Wina, tidak tahu apa yang terjadi.
"Keluar Wina," usir Airil.
"Tapi Sayang?"
"Keluar!!" Teriak Airil di tengah rasa sakitnya. Namun ada kenikmatan yang tidak bisa ia jelaskan.
"Sudah aku usir, lepaskan." Bujuk Airil, kembali mengusap-usap tangan Nasya di dalam selimut.
"Keputusan yang bagus," Nasya beranjak dari brankar dengan kaki lemas. Mencuci tangannya ke wastafel. Pertama kalinya dia memegang benda mengerikan itu.
Airil masih saja mengerang kesakitan dengan napas terengah-engah.
"Sakit banget Mas?" Sesal Nasya ketika kembali ke sisi suaminya.
"Menurutmu!!" Ketus Airil.
"Biar aku lihat, takutnya dia patah." Sebut Nasya tanpa dosa.
Pria itu membiarkan saja istrinya melakukan apapun sesuka hatinya. "Sudah di lihat keadaannya?"
"Masih berdiri tegak, tidak patah." Cicit Nasya yang mengintip sedikit dari balik selimut.
Airil menghela napas kasar, walau hampir kepala tiga namun istrinya ini masih teramat polos dalam masalah percintaan. Ada rasa bangga di hatinya karena mendapatkan perempuan yang begitu terjaga kehormatannya.
"Aku ajari kau memeriksanya. Bawa aku ke kamar mandi," perintah Airil.
Nasya mengangguk saja, tanpa mencerna perkataan Airil dengan baik. Memindahkan suaminya ke kursi roda. Lalu mengantarkan ke kamar mandi.
"Buka," titah Airil dengan senyuman smirk.
Nasya meneguk saliva kasar, menggeleng dengan mata terpejam.
"Tadi kau begitu berani mencekiknya. Sekarang lakukan dengan lembut, minta maaf padanya. Inikan yang kau mau. Kau mau menaklukkan inikan, jadi sampai bersikap seperti perempuan murahan padaku. Lakukanlah sesuka hatimu."
Tubuh Nasya bergetar mendengar perkataan yang begitu menyakitkan di telinganya. Setidak berharga inikah dirinya di mata sang suami.
Airil menyandarkan kepalanya. "Nikmati sepuasmu setelah itu tinggalkan aku. Jangan campuri urusanku lagi."
"Ayo kita keluar," Nasya menyeka air matanya yang jatuh tanpa dikomando. Mengambil air dengan kedua telapak tangannya lalu mengusapkan ke wajah dan kepala Airil agar lebih segar.
Setelah mengantarkan Airil kembali ke brankar. Nasya melamun duduk di sofa. Apa dia harus benar-benar pergi. Apa memang perceraian jalan yang terbaik untuk hubungan mereka ini.
"Aku pulang dulu Mas," pamit Nasya setelah beberapa saat menenangkan diri. Lebih baik dia berangkat ke kantor daripada hatinya semakin sakit berada di tempat ini.
"It's okay Nasya, semua akan baik-baik saja." Ucapnya sendu dengan dada yang teramat sesak.
Nasya hanya pulang untuk mandi, setelahnya dia berangkat ke kantor. Menyibukkan diri dengan touch-touch keyboard.
“Mbak Nasya perempuan baik,” Wina mendekati pria yang terlihat frustasi di brankar pasien.
Airil tidak menggubris, tentu saja istrinya perempuan baik. Terlalu baik malahan, sampai ia merasa tidak pantas bersanding di sisi Nasya.
sabar ya sa
key diamm
sblm.terkmabat