Di negeri Eldoria yang terpecah antara cahaya Solaria dan kegelapan Umbrahlis, Pangeran Kael Nocturne, pewaris takhta kegelapan, hidup dalam isolasi dan kewaspadaan terhadap dunia luar. Namun, hidupnya berubah ketika ia menyelamatkan Arlina Solstice, gadis ceria dari Solaria yang tersesat di wilayahnya saat mencari kakaknya yang hilang.
Saat keduanya dipaksa bekerja sama untuk mengungkap rencana licik Lady Seraphine, penyihir yang mengancam kedamaian kedua negeri, Kael dan Arlina menemukan hubungan yang tumbuh di antara mereka, melampaui perbedaan dan ketakutan. Tetapi, cinta mereka diuji oleh ancaman kekuatan gelap.
Demi melindungi Arlina dan membangun perdamaian, Kael harus menghadapi sisi kelam dirinya sendiri, sementara Arlina berjuang untuk menjadi cahaya yang menyinari kehidupan sang pangeran kegelapan. Di tengah konflik, apakah cinta mereka cukup kuat untuk menyatukan dua dunia yang berlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PASTI SUKSES, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api Posesif dan Ciuman Pertama
Hari itu, langit Umbrahlis mendung, memberikan suasana kelam yang biasa namun terasa lebih berat dari biasanya. Arlina berada di lapangan latihan istana, menemani Aelric yang mulai memulihkan kekuatannya dengan bantuan para prajurit Kael.
"Aelric, jangan terlalu memaksakan diri!" seru Arlina, berdiri di pinggir arena sambil menggenggam erat jubahnya. "Kau baru saja mulai sembuh."
"Aku baik-baik saja," balas Aelric dengan senyuman tipis. "Ini tidak seberapa dibandingkan apa yang pernah kita lalui, Arlina."
Arlina mendesah, tapi matanya tetap memperhatikan setiap gerakan kakaknya. Saat itu, seorang prajurit bernama Darius mendekat dan menawarkan pedangnya pada Aelric.
"Latihan dengan pedang ini lebih baik untuk kondisi Anda, Tuan Aelric," ujarnya sopan.
"Terima kasih, Darius," kata Aelric sambil mengambil pedang itu.
Arlina tersenyum pada Darius. "Kau sangat membantu, Darius. Terima kasih."
Darius mengangguk hormat, tapi senyum ramahnya pada Arlina tak luput dari perhatian Kael yang berdiri di kejauhan, mengawasi dari balkon istana.
Kael turun dari balkon dengan langkah tegas. Eryx, yang berjalan di sampingnya, melihat perubahan pada wajah sang Pangeran.
"ada masalah, Pangeran?" tanya Eryx dengan nada hati-hati.
Kael tidak menjawab, hanya mengayunkan mantel hitamnya dengan cepat saat berjalan ke arah lapangan. Begitu tiba di sana, tatapannya langsung tertuju pada Darius, yang masih berdiri di dekat Arlina.
"Darius," panggil Kael dengan nada dingin.
Prajurit itu membalikkan badan, langsung memberi hormat. "Ya, Pangeran?"
Kael melangkah mendekat, matanya menyipit. "Bukankah tugasmu ada di gerbang utama? Kenapa kau di sini?"
Darius tampak bingung. "Saya hanya membantu Tuan Aelric, Pangeran."
"Aku tidak mengingat memberikan izin untuk itu," balas Kael tajam. "Kembali ke posisimu sekarang."
Darius membungkuk cepat, lalu pergi tanpa protes. Arlina, yang menyaksikan interaksi itu, mendekati Kael dengan dahi berkerut.
"Kael, kenapa kau begitu keras pada Darius? Dia hanya mencoba membantu," katanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Kael berbalik, menatapnya dengan mata gelap yang menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Dia terlalu dekat denganmu. Aku tidak suka itu."
Arlina terkejut mendengar nada posesif dalam suaranya. "Dia hanya prajurit, Kael. Tidak ada yang salah dengan itu."
"Tidak ada yang salah?" Kael mendekat, suaranya menurun menjadi bisikan yang intens. "Aku tidak ingin orang lain menyentuhmu, Arlina. Tidak ada yang boleh terlalu dekat denganmu."
Arlina menatapnya, bingung namun tidak mampu mengalihkan pandangannya. "Kael, kau tidak bisa mengatakan itu. Aku bebas berbicara dengan siapa saja."
Kael terdiam sejenak, tetapi tatapannya tetap tajam. "Aku tidak peduli. Kau di sini di bawah perlindunganku. Itu berarti aku bertanggung jawab atasmu, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambil risiko itu."
Malamnya, suasana menjadi lebih tegang. Arlina duduk di kamarnya, mencoba memahami sikap Kael. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang berbeda pada pria itu—sesuatu yang membuatnya merasa terlindungi, tetapi juga terikat.
Saat ia masih tenggelam dalam pikirannya, pintu terbuka, dan Kael masuk tanpa mengetuk.
"Kael," panggil Arlina, terkejut. "Kau tidak bisa masuk begitu saja."
Kael menutup pintu di belakangnya dan melangkah mendekat. "Kita perlu bicara."
Arlina menghela napas panjang, menyadari bahwa pembicaraan ini tak bisa dihindari. "Baiklah. Tentang apa?"
Kael berdiri di depannya, tatapannya begitu dalam hingga membuat Arlina merasa seperti terbuka sepenuhnya di hadapannya. "Kau harus mengerti, Arlina. Aku tidak bisa membiarkanmu berada dalam bahaya. Itu termasuk terlalu dekat dengan siapa pun yang tidak aku percayai."
"Dan itu termasuk Darius?" Arlina menyela, matanya menyipit. "Dia hanya prajurit, Kael. Kau tidak perlu cemburu."
Kael mendekat, jaraknya kini hanya beberapa inci dari Arlina. "Cemburu? Apa itu yang kau pikirkan?"
Arlina menelan ludah, menyadari betapa intensnya atmosfer di antara mereka. "Kalau bukan cemburu, lalu apa?"
Kael tidak menjawab dengan kata-kata. Sebaliknya, ia meraih wajah Arlina dengan kedua tangannya, jari-jarinya yang dingin menyentuh pipinya. Sebelum Arlina sempat berkata apa-apa, Kael menundukkan kepalanya dan mencium bibirnya.
Ciuman itu bukan sekadar ungkapan rasa, tetapi sebuah pernyataan seolah Kael ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan apa pun atau siapa pun mengganggu hubungan mereka.
Arlina terkejut, tubuhnya kaku untuk beberapa detik. Namun, perlahan ia merasakan hangatnya ciuman itu, yang berbanding terbalik dengan aura dingin yang biasa Kael tunjukkan. Ia merasakan seluruh emosi Kael—amarah, rasa posesif, dan sesuatu yang lebih lembut.
Ketika Kael akhirnya melepaskan diri, ia menatap Arlina dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Itu sebabnya, Arlina. Kau adalah milikku."
Arlina masih terdiam, pipinya memerah. Ia tahu bahwa hubungan mereka baru saja berubah. Namun, ia tidak yakin apakah ini awal yang baik atau awal dari masalah baru.
Arlina berdiri membeku di tempat, merasakan hangat yang tersisa dari ciuman Kael. Pikiran di kepalanya bercampur aduk, antara bingung, marah, dan entah kenapa, sedikit lega. Kael melangkah mundur, memberi jarak, tetapi tatapannya tidak pernah lepas dari wajah Arlina.
"Apa... maksudnya tadi?" Arlina akhirnya bersuara, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Kael menarik napas dalam, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi kau harus mengerti, Arlina. Sejak kau datang ke sini, semuanya berubah. Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya, dan aku tidak tahu bagaimana mengendalikannya."
Arlina mengerutkan kening. "Kael, kau tidak bisa begitu saja memutuskan bahwa aku... milikmu. Aku bukan barang atau properti. Aku punya hak atas hidupku sendiri."
Kael tersenyum tipis, senyum yang tidak menghilangkan ketegangan di antara mereka. "Aku tahu kau bukan barang, Arlina. Tapi kau juga tahu bahwa di Umbrahlis, aku adalah penguasa. Dan aku melindungi apa yang penting bagiku."
"Aku tidak meminta untuk dilindungi," balas Arlina, nadanya mulai meninggi. "Aku hanya ingin menemukan kakakku dan pulang ke Solaria. Itu saja."
Kael terdiam sesaat, menatap Arlina dengan mata yang lebih lembut. "Kalau begitu, kenapa kau tidak pergi sekarang?"
Pertanyaan itu membuat Arlina terdiam. Ia tidak punya jawaban. Meskipun ia ingin mengatakan bahwa ia tetap di sini karena Aelric, hatinya tahu bahwa ada alasan lain yang lebih dalam.
"Aku tidak tahu," jawabnya akhirnya, dengan suara yang lebih tenang. "Mungkin karena aku belum selesai dengan semua ini. Mungkin karena... aku percaya padamu."
Kael menatapnya lebih lama, lalu membelakangi Arlina, berjalan ke arah jendela besar yang menghadap taman istana. Suasana malam yang gelap hanya diterangi cahaya redup dari bulan merah yang menggantung di langit.
"Kepercayaanmu adalah sesuatu yang tidak aku harapkan," kata Kael perlahan, suaranya hampir seperti bisikan. "Tapi itu berarti banyak untukku, Arlina."
Arlina mendekat, berdiri beberapa langkah di belakangnya. "Kael, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara kita. Tapi aku tahu bahwa ini tidak akan mudah. Aku dari Solaria, kau dari Umbrahlis. Dunia kita sangat berbeda."
Kael menoleh, matanya kini menunjukkan sesuatu yang mirip rasa sakit. "Kau pikir aku tidak tahu itu? Tapi aku tidak peduli. Selama kau di sini, aku akan melakukan apa pun untuk melindungimu. Bahkan jika itu berarti menentang seluruh dunia."
Arlina menatap Kael dengan campuran emosi. Ia tahu bahwa ada konflik besar yang menunggu di depan, tetapi untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati momen itu—momen di mana ia merasa lebih dilihat dan dihargai daripada yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Saat Kael akhirnya meninggalkan kamar, Arlina duduk di tepi tempat tidur, pikirannya dipenuhi oleh semua yang terjadi malam itu. Ia tidak bisa memungkiri bahwa ada bagian dari dirinya yang mulai terikat pada pria itu—pangeran yang penuh rahasia dan emosi yang membingungkan.
Namun, ia juga tahu bahwa hubungan ini tidak akan berjalan tanpa masalah. Ia adalah cahaya dari Solaria, sementara Kael adalah bayangan dari Umbrahlis. Apakah mereka bisa menemukan jalan untuk bersatu, atau apakah perbedaan mereka akan menjadi jurang yang tak terjembatani?
Sambil menarik selimut, Arlina memejamkan mata. Ia tahu bahwa malam ini hanya awal dari perjalanan panjang yang penuh tantangan. Dan entah bagaimana, di tengah semua kebingungan ini, ia merasa sedikit lega bahwa Kael ada di sisinya.