Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kado Apa?
Jeda empat puluh menit.
Levin berdiri didepan stasiun sambil memainkan ponselnya sendiri. Menunggu sosok yang memintanya datang dan bertemu melalui panggilan telepon di tadi.
Dizza, dia adalah satu-satunya gadis yang telah menghabiskan waktu sekitar lima belas tahun hidup disisinya sejak pertama kali mereka dipertemukan di angka tujuh. Waktu itu Dizzatidaklah seterbuka sekarang. Gadis itu banyak diam, tatapannya tajam, dan juga irit kata. Tapi karena mereka secara alami berada dalam satu lingkungan yang sama dan selalu disatukan oleh keadaan lama kelamaan mereka saling mengenal dan dekat satu sama lain. Hingga tiba dalam beberapa kata definisi yang tepat untuk menggambarkan keduanya.
Akrab, sahabat sejati, dua sejoli. Dimana ada Levin pasti ada Dizza dan begitu pula sebaliknya.
Meski akhir-akhir ini rasa melindungi, rasa ingin selalu disisi gadis itu berganti menjadi sesuatu yang asing. Levin tidak akan mangkir bila dirinya untuk saat ini menginginkan hubungan yang lebih dari sekadar sahabat dengan Dizza. Ia menyukai Dizza, bukan sekadar suka. Sebab tanpa dia sadari, rasa itu malah makin bertambah seiring waktu hingga sudah ditahap lebih serius dan akut. Ya, Levin mencintai sahabat masa kecilnya. Namun hingga kini rasa itu tidak pernah terungkap. Levin terlalu takut untuk melangkah kearah yang lebih. Kemungkinan tertolak dan tidak bisa kembali pada titik ini membayangi dan memberatkan pemuda itu untuk bergerak maju. Dia takut hanya karena sebuah kata cinta yang ringan bisa mengubah seluruh bentuk tali hubungan yang telah terikat sekian lama menjadi sesuatu yang canggung bagi mereka. Levin tahu bahwa dia telah menjelma menjadi sosok seorang pria yang pengecut, karena hanya sanggup menyimpan perasaan itu sendirian sedalam-dalamnya di lubuk hati tanpa diketahui oleh siapapun. Kepengecutannya itu malah berakhir menjadi satu hal. Levin tidak menyadari bahwa sikapnya yang bak pecundang tersebut malah mengantarkannya pada satu bentuk rasa sakit yang asing.
Gadis itu, Dizza-nya, miliknya. Ya, biarkan dia berkata demikian sebab gadis itu tidak punya kekuatan untuk membaca hati dan pikirannya. Bagi Levin itu aman-aman saja.
Namun sekarang Dizza-nya malah menemukan seseorang. Oranglain yang bukan dirinya. Gadis itu bahkan makin hari terlihat memiliki hubungan yang dekat dengan seorang pemuda yang Levin nilai lebih berwarna dibanding dirinya. Si pemilik senyum secerah sinar mentari. Seorang pemuda yang meski dengan berat hati Levin akui lebih cocok bersanding dengan Dizza-nya dibanding siapapun atau bahkan dirinya sendiri. Meskipun hingga kini mereka berdua belum sampai hingga tahap itu.
Mereka hanya kebetulan dipertemukan di satu hari pada hari-hari kampus dan kemudian hingga kini menjadi sahabat. Yang membuat bertambahlah, anggota kubu ini secara otomatis. Meski cemburu, tapi Levin sedikit lega lantaran barangkali pemuda itu bisa membantu menemani Dizza, menggantikan Levin saat dia tidak bisa selalu bersama gadisnya dalam beberapa kesempatan.
Pemuda itu bernama Edzhar, seorang calon seniman dengan masa depan gemilang dikemudian hari. Namanya kerap dielu elukan lantaran hasil karyanya pernah nangkring dalam sebuah pagelaran seni dipusat kota. Pemuda itu terbilang orang yang masuk jajaran manusia baik, walau kadang dia dan pemuda itu kerap terlibat dalam cekcok yang tidak perlu. Dia juga tipikal orang yang peduli kepada oranglain, dan yang terpenting dari semua kriteria itu adalah Edzhar menyayangi Dizza sama takarannya seperti dirinya.
Levin tidak bisa memprotes apalagi menjauhkan mereka berdua meskipun dia terkadang tergoda melakukannya. Sayang sekali untuknya sebab dia tidak berhasil menemukan hal-hal yang berpotensi menghancurkan hubungan mereka lantaran Edzhar tidak memiliki poin minus untuk dikeluhkan.
Levin memang pecundan. Dia bahkan tidak akan melawan seseorang yang berkata demikian terhadap dirinya jika ada. Sebab dibanding secara gentle mengakui isi hati. Pemuda itu malah lebih suka mundur teratur dan kembali pada zona nyaman meskipun statusnya berada dalam ‘Friendzone’. Tapi tenang saja, hal itu bukan salah siapa-siapa. Sebab Levin malah menikmati suasana friendzone-nya dengan Dizza.
“Oy Levin!”
Panggilan itu nyaring terdengar. Lamunan pemuda itu terputus seketika. Dia menoleh kearah sumber suara. Mendapati Dizza, sang sahabat melangkah mendekat kearahnya. Setengah berlari malah. Rambutnya yang pendek sebahu berayun diterpa angin. Penampilannya ya sama saja tidak ada yang istimewa.
Levin tersenyum miris. Memang apa yang dia harapkan? Dizza yang berdandan habis-habisan untuk bertemu dengannya dan menganggap keluarnya mereka berdua sebagai sebuah kencan ? don’t kidding me, crazy thing like that will not ever happen in my life. Dia membuat sebuah kalimat macam itu dalam kepala sendiri. Hanya sekadar untuk menamparnya dengan keadaan yang ada didepan mata agar tidak terluka oleh bayangan yang terkadang memang terlalu jauh untuk dapat terealisasikan. Sebetulnya bisa saja, tapi sekali lagi Levin tidak mau mengambil resikonya sama sekali.
“Bisa-bisanya kau selalu datang lebih dulu dibanding aku. Padahal aku sudah berusaha untuk datang lebih dulu darimu? Jangan-jangan kau tidak mandi ya untuk curi start duluan ya?” tuduh Dizza sambil mengarahkan jari telunjuknya kearah muka si pemuda. Menunjuk-nunjuknya dengan sedikit kesal karena sekali lagi dia merasa terkalahkan. Levin tersenyum, hal sesederhana ini saja sudah bisa menghangatkan hatinya.
Pemuda itu tidak merespon lebih selain mengangkat bahunya acuh tak acuh. Kasualitas harus lebih terlihat disini seperti biasa harus senatural mungkin agar sahabatnya itu tidak menyadari apa yang dia sembunyikan didalam hatinya.
“Kau kan tau sendiri kalau aku ini tipe pria yang paling semangat dalam segala hal. Kompetisi apapun bisa aku menangkan.” Levin terlihat cukup percaya diri ketika berkata demikian. “Kecuali dalam kompetisi mendapatkan hatimu” tambahnya dalam hati.
Sudah rahasia umum memang bahwa Levin memang tipe orang yang selalu bagus dalam setiap hal. Satu-satunya orang yang bisa menantangnya dan menang tipis darinya hanyalah Edhzar. Dia benar-benar lawan yang cukup sepadan.
Oke baik mari kembali pada topik. Alasan mengapa Levin selalu menjadi yang pertama tiba dalam setiap pertemuan mereka adalah karena Levin memang akan selalu menjadi orang pertama bagi Dizza. Dia tidak ingin membuat sahabatnya itu perlu menunggu dan tentu saja lebih nyaman baginya menjadi seseorang yang menunggu, bukan ditunggu.
“Kau memang selalu terlalu bersemangat dalam segala hal.” Dizza membeo. Bibirnya melengkung membentuk sebuah kurva. Senyuman yang manis. Senyum yang Levin nantikan untuk saksikan hari ini. Tapi sayang sekali, Levin tahu jelas alasan mengapa gadis itu tersenyum. Senyum macam itu hanya akan selalu tercipta bila mengenai hal seputar orang itu. Dizza pasti sedang memikirkan pemuda itu sekarang. Levin mengalihkan pandangannya sebentar kearah lain. Memang ya, kepekaannya pada Dizza terlalu tinggi sehingga manisnya senyum gadis itu bahkan tidak bisa dia nikmati lagi lantaran tahu jelas alamatnya kemana. Hatinya jadi sedikit sakit.
“Oke jadi sekarang sudah clear ya. Aku datang lebih awal, jadi soal janji itu dan pukulannya kita lupakan saja,” sahut Levin.
Dizza mengangguk. “Sudah terpenuhi juga kok janjinya. Kan kemarin kau hanya janji akan menemaniku membeli kado hari ini.” Dizza tersenyum lagi ketika bertutur demikian.
“Hah? iyakah? Memangnya kado untuk apa?”
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱