Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si Paling Mendesah
Tangannya masuk ke bawah Bra gue, dan mulutnya menyerang gue. Setiap kali lidahnya menyapu lidah gue, kepala gue jadi berputar.
Gue tahu dia bilang dia cuma mau cium gue beberapa menit, tapi ciumannya dan ciuman gue kayak ditulis dalam dua bahasa yang beda.
Mulutnya ada di mana-mana. Tangannya juga.
Dia menaikkan kaos gue di atas Bra, tarik salah satu sisinya ke bawah sampai semua boba gue terbuka. Dia goda gue dengan lidahnya, lihat ke atas ke arah gue sambil melakukan itu.
Mulutnya hangat, dan lidahnya bahkan lebih hangat lagi, bikin erangan lembut keluar dari mulut gue.
Dia gerakan tangannya turun ke perut gue dan sedikit melepaskan badannya dari gue, menyangga dirinya di sikunya. Tangannya mengikuti jejak jeans gue sampai dia ke bagian dalam paha gue. Dia gesek-gesekan jarinya di atas kain di antara kaki gue, dan gue biarkan kepala gue jatuh ke belakang, mata gue terpejam.
Ya Tuhan, gue suka banget versi ciumannya.
Dia mulai mengusap tangannya di atas gue, menekan dengan kuat ke atas jeans gue sampai seluruh tubuh gue diam-diam minta lebih. Mulutnya sekarang enggak lagi di boba gue.
Sekarang di leher gue, dan dia cium, gigit, hisap, semuanya di satu titik, seolah-olah dia ingin tinggalkan jejak disana.
Gue coba buat diam, tapi itu mustahil waktu dia bikin gesekan yang luar biasa di antara kita. Tapi itu enggak masalah, karena dia juga enggak diam. Setiap kali gue erang, dia menggeram atau mendesah atau bisikan nama gue. Itulah kenapa gue jadi ribut, karena gue suka banget suara-suara dia.
Suka banget.
Tangannya cepat-cepat pindah ke kancing jeans gue, dan dia membukanya, tapi dia enggak ganti posisi atau menjauh dari leher gue. Dia tarik resleting gue turun dan menggeser tangannya ke atas celana dalam gue.
Dia lanjut lagi.
Gerakannya sama, tapi kali ini sejuta kali lebih intens, dan gue langsung tahu dia enggak perlu lama-lama lagi.
Punggung gue melengkung dari kasur, dan gue berusaha keras buat enggak menjauh dari tangannya. Rasanya kayak dia tahu persis tempat-tempat mana yang bikin gue bereaksi.
"Astaga, Tia. Lo basah banget." Dua jarinya tarik celana dalam gue ke samping. "Gue mau ngerasain lo."
Dan itu dia.
Gue habis.
Jarinya masuk ke dalam rahim gue, tapi ibu jarinya tetap di luar, memancing erangan, "Ya, ampun," dan "jangan berhenti" dari mulut gue yang sudah kayak kaset rusak.
Dia cium gue, menelan semua suara gue sementara tubuh gue mulai gemetar di bawah tangannya.
Sensasinya bertahan lama dan begitu intens, gue takut melepaskan dia ketika semuanya selesai. Gue enggak ingin tangannya meninggalkan gue. Gue ingin tidur kayak begini.
Gue sepenuhnya diam, tapi napas kita berdua begitu berat sampai kita enggak bisa bergerak. Mulutnya masih menempel di bibir gue, mata kita tertutup, tapi dia enggak lagi cium gue.
Setelah beberapa saat, dia akhirnya tarik tangannya keluar dari celana gue, lalu meleretkan dan tutup kembali. Pas gue buka mata, dia perlahan menggeser jarinya keluar sambil senyum lebar.
Gila.
Gue bersyukur enggak berdiri sekarang, karena kalau gue lihat dia melakukan itu, gue bisa saja jatuh ke lantai.
"Wow," kata gue sambil menghela napas. "Lo jago banget, sih, dalam hal ini."
Dia senyum lebih lebar. "Makasih," katanya. Dia maju dan cium kening gue. "Sekarang, pulang dan tidur ya, suster."
Dia mulai bangun dari kasur, tapi gue tarik lengannya dan menariknya kembali. "Tunggu," kata gue. Gue dorong dia dan geser di atasnya. "Itu enggak adil,"
"Gue enggak ngitung skor," katanya sambil menggulingkan gue. "Amio mungkin mikir kenapa lo masih di sini."
Dia berdiri dan menarik pergelangan tangan gue buat bantu gue berdiri. Dia menarik gue lebih dekat, cukup dekat buat gue tahu dia sama sekali belum siap buat gue pergi.
"Kalo Amio bilang apa-apa, gue bakal bilang aja gue enggak mau pergi sampai selesai ngerjain tugas gue."
Tama geleng-geleng kepala. "Lo harus balik, Tia," katanya. "Dia tadi bilang makasih karena gue udah lindungin lo dari Joshi. Gimana perasaannya kalau dia tahu gue cuma ngelakuin itu karena gue egois dan pengen lo di sini buat diri gue sendiri?"
Gue geleng-geleng kepala juga. "Gue enggak peduli gimana perasaannya. Itu bukan urusannya."
Tama bawa tangannya ke pipi gue. "Gue peduli. Dia teman gue. Gue enggak mau dia tahu kalau gue ini munafik." Dia cium kening gue dan tarik gue keluar dari kamar sebelum gue bisa balas.
Dia kumpulkan buku-buku gue dan kasih ke gue pas gue sampai di pintu depan, tapi sebelum gue keluar, dia tahan sikut gue. Dia lihat ke gue, tapi kali ini ada sesuatu yang beda di ekspresinya.
Ada sesuatu di matanya yang bukan keinginan atau hasrat atau kekecewaan. Ini sesuatu yang enggak terucap. Sesuatu yang ingin dia katakan ke gue tapi dia terlalu takut buat mengungkapkannya.
Tangan dia memegang pipi gue, dan dia tekan bibirnya ke bibir gue dengan begitu kuat sampai gue kena gawang pintu di belakang gue.
Dia cium gue dengan begitu posesif dan putus asa sampai-sampai gue akan sedih kalau saja gue enggak menikmatinya. Dia tarik napas dalam-dalam dan mundur, menghembuskan napasnya perlahan, menatap gue dalam-dalam. Dia turunkan tangannya dan mundur, menunggu gue buat masuk ke lorong sebelum dia tutup pintunya.
Gue enggak tahu apa itu tadi, tapi gue butuh lebih dari itu.
Entah bagaimana gue bisa menggerakkan kaki gue, dan gue masuk ke apartemen Amio. Amio enggak ada di ruang tamu, jadi gue taruh buku-buku gue di meja.
Gue dengar suara keran Amio nyala.
Amio lagi di kamar mandi.
Gue langsung keluar lagi dan balik ke seberang lorong, lalu ketuk pintu. Pintu Tama terbuka begitu cepat seolah-olah dia masih berdiri di tempat yang sama. Dia mengintip ke belakang gue, ke pintu apartemen gue.
"Amio lagi mandi," kata gue.
Tama lihat balik ke gue, dan sebelum gue rasa dia punya waktu buat cerna kata-kata gue, dia tarik gue masuk ke apartemennya. Dia banting pintunya dan dorong gue ke pintu, dan sekali lagi, mulutnya ada di mana-mana.
Gue enggak buang waktu, langsung buka kancing celananya dan tarik turun beberapa inci. Tangannya mengambil alih dan tarik celana gue ke bawah sepenuhnya, bareng sama celana dalam gue. Begitu dia melepas kaki gue dari celana, dia dorong gue ke arah meja dapurnya. Dia putar gue, merapikan posisi gue sampai gue berbaring di atas meja dengan perut menghadap ke bawah.
Dia menjulurkan tangannya di antara kaki gue, membuka lebih lebar lagi sambil melepaskan dirinya dari jeans. Kedua tangannya bergerak ke pinggang gue dan mencengkeram dengan kuat. Dia menyeimbangkan dirinya di atas gue dan perlahan memasuki rahim gue.
"Oh," dia mendesah.