Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Patung Es
"Ruby kemarilah, ada yang harus kita bicarakan," kata John Eragone, ayahnya Ruby.
Ruby, yang baru saja pulang ke rumah, menatap heran ayahnya. Di sana, di ruang tamu rumah mereka, tidak hanya ada John saja. Tapi ada ibunya, Metha, dan juga Clarissa, kakaknya.
Ruby menyimpan buku yang dia bawa ke atas meja, lalu duduk tepat di sebelah Clarissa. Dia menoleh ke samping dan berbisik, "Ada apa, Kak? Kenapa kalian berkumpul di sini?"
Clarissa menghela nafasnya. "Biar ayah saja yang bicara dan menjelaskannya."
Ruby mengangguk, lalu dia bertanya kepada ayahnya, "Ada apa? Kalian terlihat sangat serius."
John terlihat berat mengatakannya, namun dia juga tidak mungkin terus menunda untuk membicarakan hal penting.
"Ruby," panggil ayahnya, menatap lekat wajah polos putri bungsunya. "Kau tahu tentang keluarga Larsen bukan?"
Ruby mengangguk, dia tentu pernah mendengar nama keluarga Larsen. Keluarga yang sangat kaya, namun begitu tertutup.
"Ya, ayah, aku tahu. Memangnya kenapa dengan keluarga Larsen?" tanya Ruby penasaran.
John menelan ludah kasar. Lalu dengan berat dia berkata, "Keluarga Larsen ingin mencari istri untuk putra ketiga mereka. Pria itu bernama Dominic Larsen, dia anak yang terbuang, dia diasingkan di sebuah mansion yang letaknya di perbatasan, tapi mereka tidak mengatakan alasannya kenapa pria itu hidup terpisah dari keluarga Larsen."
"Jangan-jangan rumor tentang pria itu gila ada benarnya, Ayah!" seru Clarissa.
"Ayah tidak tahu," jawab John dengan lesu. "Tapi sepertinya dia tidak gila."
Ruby tidak terlalu ingin menyimak percakapan ayahnya dengan Clarissa. Dia justru merasa curiga, lalu dia bertanya, "Ayah bilang keluarga Larsen ingin mencari istri untuk putra mereka. Apakah keluarga Larsen ingin salah satu dari kami menikahi putra ketiga mereka itu?"
John menatap Ruby dengan tatapan yang sulit diartikan. "Benar, Ayah juga sudah mengirimkan fotomu dan juga foto Clarissa, tapi....." John terlihat sulit melanjutkan kata-katanya.
Ruby mengerutkan keningnya. "Tapi apa, Ayah?"
John menghela nafasnya, lalu dia berkata, "Dominic Larsen memilihmu, Ruby."
"Apa!?" Ruby langsung berdiri dari duduknya. Wajahnya terlihat sekali sangat tidak setuju. "Aku tidak mau, Ayah! Aku tidak mau menikah dengan pria terbuang itu!"
John dan Metha saling berpandangan. Mereka sudah tahu jika Ruby pasti akan menolak. Namun, John sungguh tidak memiliki hak untuk menolak perjodohan ini, apalagi Dominic sendiri yang sudah memilih Ruby.
Metha mengusap lengan putrinya. "Sayang, duduklah. Dengarkan ayah bicara dulu."
Ruby menatap ibunya dengan wajah memelas. "Bu, aku tidak mau menikah, apalagi pria itu berasal dari keluarga Larsen, dan dia juga terbuang."
Metha menunduk dengan wajah yang sangat sedih, begitu juga Clarissa. Namun, tak ada yang bisa mereka lakukan untuk menolong Ruby dari pernikahan ini.
"Ruby, maafkan Ayah. Ayah tidak memiliki pilihan lain, Ayah terpaksa menerima perjodohan ini," ungkap John, matanya berkaca-kaca. "Kau tahu bagaimana keluarga Larsen bukan? Kita tidak memiliki kekuasaan untuk menentang keinginan mereka, Ruby. Kita hanyalah rakyat kecil, sedangkan mereka adalah orang-orang yang penuh dengan kekuasaan. Dan Ayah juga bekerja untuk keluarga itu, Ayah benar-benar tidak bisa menolak."
Ruby menghela kasar nafasnya. Dia terduduk lagi di sofa dan menatap nanar ke meja. John dapat melihat bagaimana kecewa dan sedihnya Ruby saat ini. Clarissa juga sama, dia menatap iba dan sedih karena adiknya yang dipilih oleh Dominic.
Tiba-tiba, Ruby berdiri dari duduknya dan melangkah gontai menuju kamarnya, meninggalkan keluarganya di ruang tamu. Dinding kamar yang biasanya memberi kenyamanan kini terasa menyesakkan.
Dia duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi foto dirinya saat masih ceria. Sebuah ikatan perjodohan telah mengikatnya dengan Tuan Muda Larsen, seorang pria yang bahkan belum pernah dia temui sebelumnya. Apalagi isu tentang pria itu sangat buruk, bahkan ada yang mengatakan bahwa dia gila.
Di mata Ruby, kilatan kebingungan dan kekecewaan berganti-ganti. "Mengapa harus aku?" gumamnya lirih. Dia menghela napas, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan bahwa dia akan terikat dengan keluarga kaya dan berkuasa. Keluarga Larsen seakan menyimpan banyak misteri. Mereka memilih salah satu putri dari keluarga Eragone, sebab John Eragone adalah sopir pribadi keluarga Larsen.
Sementara itu di luar sana, keluarganya masih berbicara tentang persiapan pernikahan, tetapi bagi Ruby, itu bukanlah perayaan, melainkan pengorbanan. Dia berbaring, memeluk bantal, mencoba mencari sedikit kedamaian dalam kesendirian dan keputusasaan yang membelenggunya.
"Apa aku kabur saja?" gumam Ruby. Ide gila itu tiba-tiba melintas. Namun, buru-buru Ruby menepis ide gila itu. "Jika aku kabur, ayah dan ibu pasti akan mendapatkan masalah, apalagi ayah bekerja untuk keluarga sialan itu!"
Ruby menarik nafas dan menghelanya dengan kasar. "Aku tak punya pilihan! Aku tidak bisa lari dari kenyataan pahit ini. Aku memang harus menikah dengan pria terbuang itu."
Ruby memejamkan matanya, merasakan dinginnya air mata yang meluncur turun di pipinya. Detak jantungnya terasa berat, menyesakkan dada. Di benaknya, terbayang wajah pria yang akan menjadi suaminya—wajah yang sudah pasti bukan pilihan hatinya.
"Harus bagaimana lagi?" gumamnya pelan, kehilangan semangat untuk melawan takdir yang telah ditetapkan.
**
Hari pernikahan Ruby dan Dominic..
Ruby menatap dirinya di pantulan cermin. Clarissa, kakaknya, datang mendekat dan memeluk adiknya dari belakang. Clarissa terlihat sangat sedih karena adiknya harus menikah dengan seseorang yang tidak mereka kenal.
"Kak, bagaimana jika pria itu jahat? Dari rumor yang beredar, dia sangat dingin dan misterius bukan?" tanya Ruby.
Clarissa juga mengkhawatirkan hal yang sama. "Jangan takut, kau pasti bisa mengatasinya, Ruby. Kau adalah adikku yang pemberani bukan?"
Ruby menghela nafasnya, dia menatap lagi wajahnya dari pantulan cermin. Ruby menyadari betapa menyedihkannya dia saat ini.
"Aku siap, meskipun sebenarnya tidak siap," kata Ruby dengan lirih.
Clarissa tersenyum getir, dia sangat sedih melihat adiknya berada dalam posisi seperti ini. Namun, Clarissa tetap memaksakan senyumnya dan menyemangati Ruby menghadapi takdirnya yang menyedihkan.
*
Waktu yang dinanti akhirnya tiba, langkah John gemetar saat dia mengiringi Ruby yang kini memakai gaun pengantin bersinar. Cahaya lilin memantulkan bayangan mereka di lorong menuju ke altar. John menarik nafas dan menghelanya dengan kasar.
Dengan hati yang berdebar, John memberikan tangan Ruby kepada Dominic yang mencoba menutupi kegelisahannya di balik ekspresi datar yang kaku.
Metha, terus menangis melihat putrinya yang kini berdiri di altar. Orang-orang mungkin mengira wanita itu menangis bahagia, mereka tidak tahu betapa tidak relanya Metha melihat putrinya menikah dengan pria asing.
Di tengah gemerlap pesta pernikahan yang mewah, Ruby berdiri dengan gaun pengantin putih yang menawan, namun hatinya terasa dingin seperti es.
Ruby sungguh sangat terpaksa harus menikah dengan Dominic, Tuan Muda ketiga keluarga Larsen yang terkenal dingin dan misterius. Dominic, yang selama ini hidup terasing dari keluarga dan dunia luar, dijodohkan dengan Ruby tanpa pernah mengenal wanita itu sebelumnya.
Sepanjang prosesi pernikahan, Dominic terlihat seperti patung es, tatapannya kosong dan dingin. Ruby berusaha tersenyum, berharap bisa menembus tembok es yang mengelilingi Dominic, namun usahanya sia-sia. Dominic bersikap acuh tak acuh, seolah-olah Ruby hanyalah sebuah benda mati yang harus dia terima sebagai bagian dari takdirnya.
'Dia tidak bicara dengan siapapun sejak tadi. Bahkan dengan kedua orang tuanya, dia juga sangat dingin. Aku semakin gugup, bagaimana bisa aku melewati hari-hariku dengan pria seperti ini?' gumam Ruby dalam hati.
Ruby menghela nafasnya. Hal itu berhasil menarik perhatian Dominic sejenak, sehingga pria itu menoleh padanya. Namun, hanya beberapa detik saja. Kini pria itu kembali menatap lurus ke depan, pandangannya terlihat dingin dan sangat menusuk.
Kedua orang tua Dominic juga terlihat sangat dingin. Mereka hanya tersenyum saat tamu-tamu mengucapkan selamat atas pernikahan putra mereka.
'Keluarga apa ini? Bagaimana mereka bisa sangat dingin sekali?' batin Ruby.
*
Setelah upacara pernikahan selesai, mereka kembali ke mansion Dominic. Ruby mencoba bicara dengan suaminya, namun pria itu hanya menatapnya saja.
"Jangan diam terus, aku butuh jawaban darimu. Aku harus tidur di mana? Dan kau akan tidur di mana?" Ruby mengulang pertanyaan yang sama.
"Terserah kau saja," jawab Dominic akhirnya.
Ruby mengawasi Dominic yang duduk di sisi ranjang di kamar yang mewah, besar dan sunyi. Tak ada dekorasi layaknya kamar pengantin, tak satu pun bunga mawar untuk menyambutnya. Kekesalan melingkar di dadanya, namun dia memilih untuk tetap diam. Dominic mulai melepaskan jas dan kemejanya, menunjukkan bahwa dia akan mandi, tanpa menggubris kekecewaan yang jelas terpancar dari mata Ruby.
Bukan hanya kekecewaan saja. Ruby juga terlihat syok dan takut ketika melihat tubuh Dominic yang penuh dengan tato.
"Dia benar-benar dingin sekali, dan juga sangat mengerikan," gumam Ruby, setelah Dominic masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah selesai dengan kegiatannya, Dominic langsung meninggalkan Ruby sendirian di kamar pengantin. Dia memilih untuk menghabiskan malam di ruangan lain, membaca buku-buku tebal yang menumpuk di meja.
Sementara itu di dalam kamar, Ruby terduduk di tepi ranjang, air mata mengalir deras di pipinya. Dia merasa seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas, terjebak dalam pernikahan yang tidak diinginkan.
"Untuk apa dia memilihku? Pada akhirnya dia mengabaikanku juga!" gerutu Ruby, sambil mengusap air matanya.
***
......Dominic Larsen......
...****************...