Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 35
Kondisi semakin sulit dikendalikan, semrawut dan di luar jangkauan. Sudah hampir dua bulan berjalan, janin Raisa pasti sudah mulai membesar, kenapa dia belum juga muncul atau memiliki inisiatif untuk pulang ke rumah, dia sebetulnya berkenan diajak lari atau memang diculik? Tapi di cctv terlihat mereka sempat mengobrol sebentar sebelum akhirnya Raisa mengangguk seperti menyetujui sesuatu dan kemudian tanpa paksaan pindah ke kursi roda. Apa mereka hanya sekongkol demi sebuah misi, tapi apa, kenapa?
Tante Yanti menangis lagi, kali ini kekhawatirannya semakin jelas menerpa, mengingat Dewa sudah bersaksi tidak membawa Raisa pergi, lantas siapa? Tante Yanti tidak habis pikir untuk apa anaknya melarikan diri dari keluarga, padahal karena anak perempuan, satu keluarga besar sangat mencintai Raisa, Raisa tidak pernah kekurangan suatu apa pun sejak kecil, semua yang dipinta selalu dikabulkan, bahkan dengan kondisi hamil satu orang pun tidak ada yang menegur secara keras, semua orang di rumah merangkul dan memaafkan, menganggap itu adalah kenakalan remaja pada umumnya. Hanya saja keluarga meminta agar janin itu ditiadakan, itu juga demi Raisa dan masa depannya. Apa kah salah jika orang tua dan seluruh keluarga meminta sesuatu demi dirinya sendiri?
Aku, Lia dan Denada sudah hampir menyerah, kami akan menunggu kapan Raisa sendiri berkenan untuk kembali. Dewa selamat karena tidak ada hukuman sosial yang ia terima, tidak mengakui kesalahan karena menghamili anak orang membuat ia bisa beraktifitas seperti biasa, pihak kampus juga mau menerima karena memang tidak ada bukti kejahatan atas gosip yang terdengar beberapa Minggu yang lalu. Pihak universitas akan menindak lanjutinya jika sudah ada bukti yang dikantongi bagi siapa pun yang tidak terima karena Dewa kembali ke kampus. Menurutku cukup adil bagi sebuah kasus serius. Sekarang, Raisa lah pihak yang bodoh, jika memang dia tahu buka Dewa, kenapa dia mau pergi, ini menimbulkan opini publik bahwa Raisa bukan perempuan baik-baik. Awalnya hanya ingin memancing kemunculan Dewa, saat ini justru dia yang dijadikan bulan-bulanan oleh netizen, semua bully-an diterima dari kolom komentar di setiap vidio cctv-nya
Denada meninggalkan kedua temannya di kantin menuju toilet, tanpa sengaja ia bertemu dengan Riski di koridor depan aula. Karena terlalu terburu-buru ia tidak menyapa Riski. Namun ia memperhatikan jaket atau sweater yang digunakan pria tersebut seperti tidak asing. Di dalam toilet Denada mengingat-ingat kembali sweater yang dilihatnya tadi.
"Sepertinya pernah dipakai orang yang jatuh di cafe dan pemotor di basecamp Dewa, kalau memang benar itu Riski, untuk apa? Apa kah dia iba pada Raisa dan diam-diam ikut menyelidiki kasus ini?" Denada bicara sendiri.
Denada tidak menceritakan apa pun pada kami, mungkin ia lupa sehingga tidak ada waktu. Kami akhirnya berpisah setelah saling berdiskusi hingga sore di kampus. Pada malam hari saat perjalanan pulang aku menemukan pemotor yang dilihat di basecamp Dewa. Sangat jelas dan tidak salah lihat, aku bahkan menghapal plat nomor yang bertengger di sana.
"Pak ikuti motor ninja itu." pintaku refleks pada pak Syarif tanpa mengalihkan pandangan dari target.
"Iya, non." sahut pak Syarif tanpa membantah.
"Tapi pelan pak, jangan sampai dia menyadari." Pak Syarif kemudian menggunakan tehnik mengintil diam-diam agar pria tersebut tidak menyadari bahwa ia sedang diikuti dari belakang. Pemotor tersebut sama sekali tidak curiga, ia tetangga menarik gas dengan stabil dan tidak ngebut.
Laki-laki Bertubuh tinggi kurus itu berhenti di sebuah warung makan dan membeli dua bungkus, kemudian ia melanjutkan perjalanan ke gang kecil dan memarkirkan motornya di depan sebuah kost yang berjejer di pinggir gang tidak jauh dari jalan raya tempat di mana pak Syarif memberhentikan mobil. Aku tidak berani mendekat hanya mengamati dengan seksama. Pria itu membuka helm dan masker mulut, terlihat jelas itu adalah Riski. Dan yang keluar dari pintu tersebut adalah Raisa. Aku shock, sedikit tidak percaya dengan penglihatan sendiri. Aku lantas meminta pak Syarif menghindar khawatir mereka menyadari keberadaan kami. Sebelumnya aku buru-buru mengeluarkan ponsel dan mengabadikan momen itu dengan kamera. Meski sangat gugup aku harus memilki bukti konkrit guna diperlihatkan pada Lia, Denada dan mungkin juga Tante Yanti.
"Pulang, pak." pintaku lembut namun suara bergetar karena panik. Tidak jauh dari sana aku langsung menghubungi Lia.
[Ya?] Lia terdengar tidak asik.
[Li, kamu tau apa yang aku liat tadi?!] masih dengan kepanikan, aku berusaha menstabilkan suara.
[Ya mana tau, kamu belum cerita dan aku tidak sedang bersamamu.] seperti biasa, ciri khas Lia selalu ketus.
[Aku liat Raisa!]
[Demi apa, di mana, sama siapa, dan kenapa tidak diajak pulang?] Lia merepet membuat aku merasa gawaiku akan meledak.
[Serius, ceritanya panjang!] aku langsung menutup saluran agar ia penasaran. Ia bisa menelpon lagi atau bahkan datang ke rumah malam ini juga. Benar saja, tidak lama keluar dari mobil, Lia sudah membunyikan klakson mobil di luar pintu membuat satpam segera berlari untuk menanyakan kepentingannya, karena melihat itu adalah teman baikku, maka tanpa berkata lagi pak satpam langsung memberi pintu agar mobil Lia segera masuk. Aku tersenyum simpul menunggu di liang pintu rumah.
"Kurang ajar kamu, ya. Belum selesai ngobrol udah main matiin hp aja, mana ditelpon balik sibuk terus lagi." mendengar penuturan Lia yang kesal aku tertawa cekikikan, gemas dan merasa geli.
"HP-nya drop." sahutku tidak menahan tawa, aku asik menikmati kemarahan Lia yang menurutku lucu.
"Sudah lah, sekarang ceritakan di mana kamu bertemu dengan Raisa, bersama dia dan di mana sedang apa?!" tekannya berbicara cepat seperti mobil balap dengan kecepatan tinggi.
"Sabar lah, aku mau mandi dulu, makan malam, skincare-an." aku meninggalkan dia dengan daun pintu yang masih ternganga.
"Halah, ribet. Baik lah. Malam ini aku menginap di sini. Pak Syarif tolong ya, parkiran mobilku, ini kuncinya." katanya lagi sambil memberikan kunci kendali pada supir pribadiku.
"Tidak sopan kamu ya!"
"Biar, biar!" Lia masih setia menguntit dan mendumal menanti cerita valid dariku, ia tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Kami ke kamar, ibu dan ayah sudah kutemui, tak lupa Lia juga memberi salam hormat sebagai teman paling dekat dengan keluargaku. Aku membanting tubuh yang lelah ke kasur, hari ini sangat menguras energi ditambah ketika menemukan Raisa dengan Riski. Mentalku seperti dipermainkan. Bayangkan ketiga gadis mungil ini harus berkelahi dengan waktu demi menemukan keberadaannya, perempuan tidak tahu diuntung, kukira aku sudah benar kasihan padanya karena telah dikelabui kutu bajingan seperti Dewa. Ternyata aku lah yang harusnya dikasihani karena menelan kebohongan besar.