“Gun ... namamu memang berarti senjata, tapi kau adalah seni.”
Jonas Lee, anggota pasukan khusus di negara J. Dia adalah prajurit emas yang memiliki segudang prestasi dan apresiasi di kesatuan---dulunya.
Kariernya hancur setelah dijebak dan dituduh membunuh rekan satu profesi.
Melarikan diri ke negara K dan memulai kehidupan baru sebagai Lee Gun. Dia menjadi seorang pelukis karena bakat alami yang dimiliki, namun sisi lainnya, dia juga seorang kurir malam yang menerima pekerjaan gelap.
Dia memiliki kekasih, Hyena. Namun wanita itu terbunuh saat bekerja sebagai wartawan berita. Perjalanan balas dendam Lee Gun untuk kematian Hyena mempertemukannya dengan Kim Suzi, putri penguasa negara sekaligus pendiri Phantom Security.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fragmen 20
Suzi menatap Gun penuh rasa bersalah.
"Jangan menatapku seperti itu. Sudah kubilang aku baik-baik saja." Gun tak ingin dikasihani. Dia menyandarkan punggung ke kepala kursi kayu usang yang baru saja didudukinya. Mata dipejamkan dengan wajah menengadah ke atas.
Tak perlu berkata lagi untuk menimpal, karena Suzi tahu itu tak akan ada gunanya. Gun pasti tak mau dengar dan menganggapnya.
"Minumlah selagi hangat."
Gun langsung menegakkan tubuh, pun Suzi yang juga menolehkan wajah ke arah sama.
Susu beraroma jahe menyeruak ke penciuman. Dua gelas tersaji di atas meja, seorang wanita meletakannya dengan senyum penuh perhatian.
"Panggil aku Bibi Jung ." Dia memperkenalkan diri seraya duduk di kursi berseberangan, nampan kayu dipeluknya di depan perut.
"Dia istriku." Pria itu Dhakwan, orang yang menemukan Gun dan Suzi di dalam hutan lalu membawa mereka pulang ke rumahnya. Sebuah rumah kecil terpencil yang hanya satu, tanpa tetangga.
"Kemari, aku akan mengobati kakimu," kata Dhakwan, dimaksudkan pada Gun.
Gun langsung menurut tanpa berkata, bangkit menghampiri Dhakwan. Duduk di ubin yang bukan keramik lalu menyelonjorkan kakinya ke depan tepat di hadapan pria tua yang katakan saja penolongnya--dari kedinginan dan rasa lapar--sebentar lagi pasti.
Jalanan licin membuat Gun tak bisa menyeimbangkan langkah lalu terjatuh dalam keadaan menggendong Suzi, saat dalam perjalanan menuju rumah yang kini mereka pijak.
Beruntung Suzi tak apa, sementara satu kaki Gun tergores akar runcing, menciptakan luka cukup dalam dan besar yang membuatnya banyak kehilangan darah, satu sebab yang membuatnya saat ini sedikit lemah.
"Akan terasa perih dan sakit, tahanlah,” kata Dhakwan lagi. Dari bentuknya, obat yang dia pegang mungkin dedaunan yang ditumbuk, warnanya hijau gelap dengan tekstur kasar. Dhakwan menempelkannya di bagian luka Gun yang menganga.
Tipis saja Gub meringiskan wajah, menahan dengan gigi yang direkatkan.
Suzi menatap iba, kemudian dia teringat sesuatu saat di hutan. "Paman, dia juga memiliki luka di lengan atas bagian kiri. Luka tusukan yang cukup dalam. Tolong obati juga bagian itu."
Semua melengak pada gadis itu termasuk Gun sendiri. Dia ingat, Suzi mengamatinya saat membebat luka dengan sobekan kemeja ketika di hutan. Percakapan kecil juga terjadi perihal luka tusukan itu.
"Oh, benarkah?" Pandangan Dhakwan lantas jatuh pada lengan Gun yang nampak menonjol karena ada tali yang terikat sembarang di sana. "Kau tertusuk apa?" tanyanya ingin tahu.
"Ah, hanya--"
"Dia ditusuk penjahat!" Suzi memotong cepat. "Saat menyelamatkanku," sambungnya muram.
Gun mendengus, lagi-lagi Suzi memasang wajah yang tak disukainya.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada kalian?" tanya Dhakwan, mulai penasaran.
"Umm ... kami dirampok, Paman. Dan mereka mendorong kami ke sungai setelah mendapat apa yang mereka mau, membuat kami berakhir di tempat ini." Gun memberi penjelasan paling sederhana yang melintas di kepalanya.
"Oh, Tuhan. Beruntung sekali kalian bisa selamat dari arus sungai yang deras itu," ucap Bibi Jung. "Kalau begitu akan kutumbuk obatnya lagi." Dia bangkit dari tempatnya dan langsung mencelat pergi ke arah dapur.
Malam harinya ....
"Maaf, kami hanya punya ruangan ini untuk kalian." Bibi Jung menunjukkan sebuah kamar yang luasnya bahkan tak lebih besar dari kamar mandi Suzi di istananya.
Baik Bibi Jung ataupun suaminya, sepertinya menyangka jika Gun dan Suzi adalah pasangan, entah itu pasangan kekasih, atau suami istri. Mereka menguatkan asumsi tanpa bertanya kebenarannya.
"Oh, tak apa, Bibi. Kami bisa tidur di mana pun. Terima kasih banyak karena sudah membiarkan kami beristirahat di rumahmu yang nyaman ini. Dan maaf, kami benar-benar merepotkan Bibi dan Paman. Suzi berkata panjang dan penuh rasa.
"Suzi benar, Bibi," Gun menimpal. "Maaf, dan terima kasih atas semua kebaikan kalian."
"Kau berlebihan, Nak. Ini sudah kewajiban kami untuk menolong yang kesulitan," balas Bibi Jung. "Kalau begitu selamat beristirahat." Wanita berbadan lebar itu pun berlalu dari hadapan tamu-tamu tak diundangnya.
Suzi langsung tertegun menatap keadaan di depan mereka setelah Bibi Jung menjauh dari pandangan. Hanya ada satu ranjang dengan ukuran kecil, sedang di bawah ubin, nampak tak memungkinkan digunakan untuk merebah, sedikit lapuk, tak ada alas lain yang bisa dipergunakan.
"Bagaimana ini?" Dia menggumam, bingung.
"Sudahlah, ayo beristirahat."
Gun memang akan selalu seperti itu. Hal semacam ini bukan masalah bagi dirinya karena menurut Suzi dia pasti sialan yang tak masalah di mana pun tidur. Tapi bagi Suzi sendiri ... bukankah terlalu intim untuk pria dan wanita yang bukan pasangan berada di satu ranjang yang sama?-- kedua kali, jangan lupakan itu.
"Apa kau akan terus berdiri di sana?!"
Suara Gun menyentak Suzi dari banyak pikiran di kepalanya.
"Ah, ti-tidak!" Suzi tergagap kemudian buru-buru mengambil sisa tempat di sebelah Gun.
Awalnya memang saling membelakangi, tapi semakin jauh waktu berlalu, pagi menyongsong ... mereka tetap juga saling berpeluk.
Bangun dengan perasaan malu, Suzi buru-buru keluar kamar.
Tanggapan berbeda dari Gun, dia terkekeh tipis seraya geleng-geleng kepala. "Kelinci Bomi yang mahal saja tak selucu dirimu, Nona Kim." Lalu menyusul Suzi keluar kamar.
Banyak makanan terhidang di atas meja. Bibi Jung menyiapkan semua pagi-pagi sekali. Dari keadaan rumah, mereka memang kelihatan miskin, tapi yang dinilai Gun dan Suzi dari bagaimana cara pasangan itu menjalani hidup, tak ada yang kurang, mereka cukup makan dan berbahagia walau tanpa keturunan.
"Makanlah, Anak-Anak," kata Bibi Jung dengan suara merdu khas keibuan.
"Terima kasih, Bibi," balas Gun dan Suzi, bersamaan.
Terlihat Dhakwan baru saja datang dan langsung bergabung ke meja makan. "Kalian akan pulang hari ini?" tanyanya sembari mengisi piringnya dengan sesendok sayur. Pertanyaan itu diajukan pada Gun dan Suzi terhubung percakapan mereka saat makan malam kemarin.
Gun mengambil jawaban, "Benar, Paman. Semua pasti mencemaskan kami karena tak pulang."
Suzi mengangguki. "Iya. Ayahku pasti sudah sangat panik." Sembari membayangkan Suho yang kelabakan. Dia yakin teman-teman relawannya segera menghubungi Suho perihal ketidakberadaannya di tempat tugas.
Bibi Jung nampak muram di posisinya. "Sayang sekali. Padahal Bibi senang kalian ada di sini. Tidak bisakah kalian tinggal lebih lama?"
Semalam itu menyenangkan baginya, mereka semua bercokol riang tanpa beban. Padahal pertemuan itu belum genap 24 jam.
Gun dan Suzi saling beradu pandang, bingung bagaimana menyikapi wanita tua itu.
"Apa kau sedang memaksa mereka berdesakan terus menerus di ranjang sempit kita?!" Dhakwan menyemprot istrinya. "Mereka punya keluarga yang mencemaskan dari pada sekedar keinginanmu yang konyol itu. Tempat tidur mereka pasti jauh lebih lebar, empuk dan nyaman dari ranjang jelek yang semalam mereka tiduri. Sadarlah, jangan menginginkan yang aneh-aneh!"
Bibi Jung langsung tertunduk lesu. Dagu berlapisnya nampak semakin tebal karena tekanan.
"Tak apa, Bibi." Suzi mengambil peran. "Kami pasti akan berkunjung lagi suatu hari. Ya, 'kan, Gun?" Dia menoleh pria itu seraya memelototi, mengisyaratkan Gun untuk mengiyakan apa yang dia katakan.
Gun paham, mengangguk setuju dengan senyuman. "Tentu. Kita akan bawakan bibit-bibit sayuran seperti yang diinginkan Paman, juga kuali besar untuk mengganti milik Bibi yang berlubang itu."
Bibi Jung langsung bersemangat lagi. "Benarkah itu, Nak?"
"Tentu saja, Bibi."
Dhakwan menginterupsi, "Kalian tak perlu serepot itu. Sekarang makanlah yang banyak. Perjalanan kalian akan sangat melelahkan sebentar lagi."
bilamana memang pembaca suka dan sllu menantikan update anda thor...pasti walaupun boom update juga pasti like...itu pasti...
Oiya kabar Archie gimana? Masih koma kah? Kangen sama aksi² Archie yang heroik, Archie dimana kau ❤️
ini pada nunggu gebrakan mu.
semangatg thorr.. d tunggu up nya😁😁🌹🌹