Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersama Wira
Mungkinkah hanya sebuah prasangka ataukah memang begitu adanya, Ruby merasa semenjak kehadiran Sean di Resto, ia tak lagi merasa bebas, gerak geriknya seolah dipantau namun tidak secara terang-terangan. Sesungguhnya Ruby mulai dibuat tak nyaman. Ia ingin bebas bekerja tanpa adanya ganguan terlebih campur tangan orang lain dalam perannya mencari nafkah.
Hari ini, Ruby berangkat bekerja ranpa Kiran. Kiran, gadis itu sedang mendapatkan libur rutin dari resto persetiap bulannya.
Selepas senja, seperti biasa Ruby mengunjungi mushola di samping bangunan Resto. Menunaikkan kewajiban, bersimpun dan memohon pada sang pencipta. Mengingat jam kerjanya yang sudah habis, Ruby memilih beristirahat sejenak di serambi mushola untuk melepas lelah.
Ruby terdiam, Ia sandarkan tubuh pada tiang bangunan. Cukup sering ia beristirahat di tempat ini selepas beribadah. Di tempat ini ia merasakan ketenangan dan rasa nyaman. Duduk dan terdiam, mungkin aktifitas tersebutlah yang kerap Ruby lakukan, sebelum kembali pulang selepas memulihkan tenaga yang terkuras.
Ponsel yang tersimpan di dalam tas, bergetar. Ruby sigap mencari benda pipih tersebut. Ia bisa menebak jika seseorang yang menghubunginya pasti Kiran atau pun Fatimah.
Celia.
Ruby tersadar, jika ia harus cepat pulang sebab ada Celia yang menunggu kepulanggannya.
Benar juga. Nama Kiran tertera dalam panggilan vidio di ponselnya. Ruby tersenyum, ia lekas menggeser ikon berwarna hijau, hingga wajah putri kecilnya terpampang di layar ponsel.
"Hallo." Ruby menyapa seraya tersenyum semakin lebar saat sepasang mata bening Celia, menatapnya dengan ekspresi kebingungan. Bayi itu tak berkedip, namun beberapa detik kemudian bayi itu mulai tersenyum padanya.
"Celia sayang, putri cantik Ibu sedang apa?." Fatimah yang menggedong Celia, kini menjawab. Kiran pun sesekali ikut menyahuti. Ruby tertawa senang. Walau dia tak bisa berada didekat Celia, setidaknya ada orang-orang baik yang menjaga putrinya tanpa harus merasakan kurang kasih sayang dari ke dua orang tuanya.
Cukup Lama Ruby berbincang sebelum akhirnya memutuskan panggilan. Ponsel itu masih dalam gengaman, namun senyum yang sempat dipamerkan pada Fatimah dan Kiran, kini luntur seketika berganti dengan bulir bening yang mengalir dari sudut mata. Ruby menangis. Sekuat apa pun ia mencoba tegar di hadapan orang lain, nyatanya ia tetaplah wanita rapuh yang sesungguhnya tak rela berada jauh dengan sang putri walau pun semenit, menjaga dan melihat tumbuh kembang sang buah hati dalam setiap detiknya. Akan tetapi, dia bisa apa. Ia harus bekerja agar bayinya tak kelaparan.
Ruby kembali menyusut bulir bening yang mengalir tanpa bisa dicegah. Ia tertunduk dalam, masih mengatur nafas yang tak beraturan akibat tangisan lirihnya.
"Ruby."
Panggilan seseorang membuat tubuh perempuan itu berjingkat, terkejut. Ruby lekas mencari seseorang yang baru saja memanggil namanya. Wajahnya luar biasa terkejut, rupanya Sean sudah berdiri di balik punggungnya. Pria itu baru saja keluar dari pintu mushola.
Ruby menelan ludah dan kembali menyusut bulir bening yang masih menyisakan lembab di wajah. Mungkinkah sedari tadi Sean melihat seluruh aktifitasnya? Menjawab pangillan Vidio Kiran kemudian menangis?.
"Permisi pak." Ruby lekas menundukan kepala selepas menyimpan kembali barang pribadinya ke dalam tas. Ia harus cepat pergi dari tempat ini sebelum Sean bertanya.
"Ruby!." Sean memanggil setengah berteriak, terkejut melihat Ruby yang justru berlari saat ia ingin bicara. Nihil, gadis itu tak menghiraukan panggilannya dan justru menghilang ditelan pekatnya malam.
Ruby menghindar.
💗💗💗💗💗
Setengah berlari ia keluar dari area halaman Ruby Resto & Cafe. Perempuan itu sengaja menghindar juga menjauh. Entah apa pun alasannya, namun Ruby masih belum siap jika harus berdekatan dengan sang mantan suami.
Ruby berdiri di pinggir trotoar, menatap sekeliling jalanan, mencari keberadaan angkutan umum yang sedang melintas. Perempuan itu berulang kali menghela nafas dalam saat tak satu pun taksi yang melintas di depannya setelah menunggu beberapa waktu.
Ruby mulai cemas, terlebih malam kian merangkak dan bayi Celia pasti sudah menunggu kepulangannya.
Sebuah mobil yang cukup familiar bagi Ruby tiba-tiba berhenti di dekatnya. Perempuan itu meneguk ludah saat kaca mobil diturunkan dan wajah seseorang di belakang kemudi terlihat.
"Kenapa berdiri di sini?." Pria yang tak lain adalah Wira itu, melempar tanya pada Ruby.
"Tidak apa-apa, Tuan." Ruby menunduk ramah pada Wira kemudian pamdamgannya berkeliling lagi untuk mencari keberadaan taksi.
Duh, kenapa lama sekali.
"Kau sedang menunggu angkutan umum?." Sesungguhnya Wira hanya berpura tanya, padahal sedari tadi ia tau jika tak mungkin Ruby berdiri di sini jika bukan sedang menunggu taksi.
"Em, saya hanya sedang.."
"Naik, ikutlah denganku," titah Wira pada Ruby namun perempuan itu masih terdiam dan tak menunjukan reaksi apa pun.
"Kenapa masih diam? ini sudah semakan malam dan anakmu di rumah pasti sudah menunggu?." Wira tentu bisa melihat ke raguan dari wajah Ruby. Mungkin ia tak nyaman jika berada dalam satu mobil yang hanya terdapat mereka berdua tanpa orang lain lagi.
Ruby kian gelisah, terlebih saat Wira menyebut putrinya. Bagaimana ini?.
"Ayo, kasihan putrimu." Satu kalimat lagi yang terucap dari Wira, tak membuat Ruby berfikir dua kali. Ia pun mendekat pada mobil Wira. Masih ragu untuk duduk di kursi bagian mana, namun Saat Wira melirik kursi depan, samping kemudi, Ruby pun mengikuti.
Ini untuk kedua kalinya Ruby menumpangi mobil Mewah Wira yang akan membawanya pulang. Lagu yang diputar Wira terasa memenuhi seisi penjuru mobil sedang ke dua insan itu hanya diam.
Wira terlihat larut dalam kemudinya. Sepasang matanya fokus ke depan dan sesekali tangannya terlihat menggetuk kemudi, seolah sedang menikmati irama musik yang menyentuh gendang telinganya.
Ruby dibuat serba salah. Hendak menegur namun sungkan, hingga akhirnya perempuan itu memilih diam sampai kuda besi yang membawa tubuh mereka memasuki halaman rumah Fatimah.
"Tuan, terimakasih atas tumpangannya." Ruby menundukkan kepala sebelum membuka pintu mobil.
"Ruby," panggil Wira, hingga pintu yang sudah sedikit terbuka itu Ruby tutup kembali.
"Ya, Tuan."
"Kau tidak menawariku untuk singgah?."
Hah?.
"Maksudku, apakah kau tidak memintaku untuk turun dan singgah di rumahmu barang sebentar?." Apa-apaan ini, Wira bahkan mencubit pahanya sendiri saking tak percaya jika ia bahkan sampai menawarkan diri pada Ruby untuk mampir. Ya, tuhan. Bukankah itu lebih terdengar seperti pemaksaan, Wira?.
Masa bodooh lah.
"O.., oh jadi Tuan mau mampir?." Wira spontan mengangguk. Ya tuhan, Wira rasanya ingin membenturkan kepalanya di kemudi atas gerakan spontanitasya yang tiba-tiba mengangguk selepas mendengar ucapan Ruby.
"Silakan, Tuan." Ruby lebih dulu turun untuk mempersilahkan Wira. Sudut bibir Wira mengulas senyum tipis. Fatimah dari dalam yang mendengar adanya suara mobil yang memasuki halaman, lekas membuka pintu dan disusul Kiran. Raut wajah terkejut muncul dari wajah Fatimah, terlebih Kiran yang mendapati Mamagernya pulang mengantar sang Kakak dan bertamu pula di rumahnya.
Kiran meminta penjelasan tentang kedatangan Wira pada Ruby lewat kedipan mata. Akan tetapi Ruby pun hanya bisa mengendikkan bahu dan mengelengkan kepalanya pelan. Tidak tahu, begitu maksud dari jawabnya.
Fatimah meski sedikit tidak nyaman, tetap mempersilahkan Wira masuk dan menyambunya dengan baik. Celia yang terbangun pun ikut berkumpul, berada dalam dekapan sang Ibu yang kini ikut berkumpul bersama Fatimah, Wira dan Kiran mengobrol di Ruang tamu.
Sementara itu, hanya berjarak beberapa puluh meter saja, seorang pria yang sedari tadi duduk diam di dalam mobil, hanya bisa menatap nanar pandangan yang tak jauh darinya. Apakah ia kalah? Mungkinkah ia tak lagi punya harapan?.
Sean menghidupkan mesin mobil yang sudah cukup lama ia matikan. Ia mulai meninggalkan halaman rumah Fatimah yang sudah menghadirkan sejuta sesal untuknya.
Tbc.
la ini malahan JD bencana gr2 percaya Sama mamaknya