NovelToon NovelToon
Menjadi Guru Di Dunia Lain

Menjadi Guru Di Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sistem / Akademi Sihir / Penyeberangan Dunia Lain / Elf
Popularitas:7.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ned_Kelly

Arthur seorang guru honorer di sekolah negeri yang memiliki gaji pas-pasan dengan jam mengajar yang tidak karuan banyaknya mengalami kecelakaan pada saat ia hendak pulang ke indekosnya. Saat mengira kehidupannya yang menyedihkan berakhir menyedihkan pula, ternyata ia hidup kembali di sebuah dunia yang sama sekali berbeda dari sebelumnya.

Tetapi uniknya, Arthur kembali menjadi seorang guru di dunia ini, dan Arthur berasa sangat bersemangat untuk merubah takdirnya di dunia sekarang ini agar berbeda dari dunia yang sebelumnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ned_Kelly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 35: Kedatangan Yang Mendadak

Entah kenapa, ada yang ganjil dari gerak-gerik Pak Guru Brandon akhir-akhir ini. Sejak kunjungannya ke kelasku beberapa waktu lalu—ketika dia terang-terangan mencoba menarik Charlotte agar bergabung ke kelasnya—aku mulai memperhatikannya lebih dekat. Gelagatnya terlalu mencurigakan, terlebih lagi dia sudah tahu kalau Charlotte tak mungkin mau meninggalkan kelas ini. Namun, itu tak menghentikannya.

Sejak saat itu, Charlotte sering bercerita padaku kalau murid-murid Pak Brandon mulai sering mendekatinya. Bukan dengan kekerasan fisik atau verbal, tapi mereka terus-menerus mencoba membujuk Charlotte agar meninggalkan kelasku dan pindah ke kelas Brandon. Menurut mereka, kelas di sana lebih "manusiawi" dan jauh lebih nyaman daripada ruang kelasku yang—aku akui—terlihat seperti bangunan tua yang siap ambruk kapan saja.

Aku tak bisa memungkiri bahwa kelasku memang reyot. Dindingnya retak, meja-meja yang sudah kusam, dan atap yang bocor. Kalau Mordraxx mengamuk di sini, mungkin kelas ini langsung hancur dalam sekejap. Tapi bukan berarti pengajaranku kalah dengan kelas Brandon. Aku selalu menomorsatukan kepuasan murid-muridku dalam belajar, bahkan meski kondisi fisik kelas ini tidak terlalu mendukung.

“Sudahlah, Guru,” Charlotte menyuarakan pikirannya dengan nada tenang, mencoba menghiburku. “Jangan dengarkan omongan mereka. Meskipun tempat ini... yah, seperti kapal yang mau karam... aku akan tetap jadi muridmu di sini. Betulkan, teman-teman?”

Charlotte menoleh ke murid-murid lain yang duduk di sekitarnya. Mereka semua mengangguk setuju, meski dengan caranya masing-masing.

“Yup! Siapa peduli kelasnya seperti ini? Kami di sini karena pengajarannya,” seru Jade sambil menyilangkan lengannya di dada. “Lagipula, aku suka tantangan! Di sini, aku bisa belajar lebih banyak.”

Celestine hanya tersenyum sambil mengangguk pelan, menggunakan bahasa isyaratnya untuk menyampaikan dukungannya. Aku setuju dengan Jade, begitu terjemahan singkat dari gerakannya.

Masamune, seperti biasa, mengangkat lengannya dengan percaya diri, memamerkan ototnya yang terbentuk dari latihan keras. “Kalau ada yang berani menghina kelas kita atau mengejek Guru... serahkan saja pada aku!” katanya sambil tertawa keras. “Aku akan berikan pelajaran pada mereka yang sok tahu itu!”

“Masamune,” aku terkekeh, “kita tidak perlu kekerasan untuk menyelesaikan masalah ini.”

“Tenang, Guru! Aku tidak akan benar-benar menghajar mereka... kecuali kalau mereka minta cari gara-gara!” katanya, masih dengan semangat membara.

Elyrde yang biasanya pendiam, mendadak ikut angkat bicara. “Murid-murid Pak Brandon memang sombong. Mereka pikir hanya karena kelas mereka lebih bagus, mereka bisa memandang rendah kita?” Dia menggelengkan kepalanya, seolah merasa jengkel.

“Aku sudah bilang,” Charlotte menimpali lagi, suaranya lebih tegas kali ini. “Tidak peduli bagaimana keadaan ruangan ini. Yang terpenting adalah kita semua di sini karena kita belajar lebih baik dengan Guru.”

Aku menatap mereka semua dengan senyum tipis di bibir. Rasanya bangga melihat bagaimana mereka begitu kompak dan penuh semangat untuk bertahan di sini. Meski kelas ini mungkin tak sebanding dengan kelas-kelas mewah yang lain, tapi kami punya sesuatu yang lebih penting—rasa saling mendukung dan persahabatan yang kuat.

“Terima kasih, semuanya,” ucapku pelan tapi penuh makna. “Aku berjanji, suatu hari nanti, kita akan punya kelas yang lebih baik. Tapi sampai saat itu tiba, kita akan terus belajar dengan penuh semangat di sini, seperti biasa.”

Johan, juga ikut angkat bicara. “Aku tidak peduli di mana kita belajar, asalkan... Mordraxx tidak bikin masalah lagi,” katanya dengan cengiran kecil.

Semua tertawa mendengar itu, termasuk aku. Namun sebenarnya pikiranku melayang ke tempat lain. Saat suasana di sekitarku dipenuhi canda dan tawa, aku malah tenggelam dalam pikiranku sendiri. Aku tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang muncul sejak kedatangan Pak Brandon. Ada yang tidak beres. Sikapnya akhir-akhir ini... terlalu mencurigakan. Terutama sejak dia begitu berambisi menarik Charlotte ke kelasnya.

Aku teringat pada kutukan yang menimpa Charlotte beberapa waktu lalu. Kutukan yang membuat ibunya, Minerva Pennyroyal, dalam kondisi yang sulit. Apa semua ini saling berkaitan? Gelagat Brandon yang aneh, dan keputusannya untuk mendekati Charlotte dengan cara yang sangat terang-terangan? Aku tidak bisa mengabaikan kemungkinannya.

Saat aku tenggelam dalam pikiran itu, aku bisa merasakan tatapan Charlotte mengarah padaku. Aku meliriknya sekilas, dan dia tersenyum tipis, seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Seolah membaca pikiranku. Senyum itu memang melegakan, namun tetap saja, di dalam diriku, perasaan tidak tenang terus menghantui. Semua keanehan ini... aku merasa ada sesuatu yang besar dan tidak terduga sedang terjadi.

Aku tak ingin terlarut dalam kedamaian ini. Rasanya terlalu tenang, terlalu nyaman, seolah kedamaian ini hanya perangkap. Sesuatu yang tercipta untuk menenggelamkanku dalam kelengahan. Aku harus waspada. Aku harus bersiap untuk apa pun yang akan terjadi.

Tetapi untuk sekarang... aku hanya bisa membalas senyum Charlotte, meskipun pikiranku tetap berkelana pada firasat buruk yang belum hilang.

Tak lama setelah itu, pintu kelas berderit terbuka, dan aku tahu siapa yang datang bahkan sebelum menoleh. Pak Brandon. Senyum licik di wajahnya—seperti biasa—membuatku langsung waspada. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam tatapan matanya, yang selalu membuatku merasa seolah dia menyembunyikan sejuta rencana licik di balik lengan bajunya.

Kali ini, tatapan matanya langsung tertuju pada Charlotte, yang segera merapatkan buku-bukunya sambil menatapnya dengan curiga. Aku bisa merasakan ketegangan di ruangan ini, seolah-olah dia datang dengan maksud yang jauh dari sekadar kunjungan biasa.

“Ah, di sini kalian rupanya,” ucapnya dengan nada penuh kepura-puraan, senyum yang tidak pernah sampai ke matanya.

Aku menghela napas lelah, sudah muak dengan semua sandiwaranya. “Mau apa lagi, Pak Brandon? Aku sedang melakukan kegiatan belajar mengajar di sini, dan kami sedang sibuk.”

Aku menatapnya tajam, berharap dia mengerti bahwa kehadirannya tidak diinginkan di sini. Charlotte, yang duduk di sampingku, menatap Brandon dengan ekspresi yang sama curiganya. Dia sudah tahu apa yang Brandon inginkan, dan meskipun dia tidak berkata apa-apa, aku bisa merasakan ketidaknyamanannya.

Brandon tertawa kecil, seolah menikmati ketegangan yang dia ciptakan. “Oh, tentu saja, tentu saja. Aku tidak bermaksud mengganggu. Hanya ingin... memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik di sini. Kau tahu, Charlotte adalah murid yang sangat berharga, dan aku hanya ingin memastikan dia mendapatkan bimbingan terbaik.”

Aku mengepalkan tangan di bawah meja. Sikapnya yang begitu terang-terangan membuat darahku mendidih, tapi aku harus tetap tenang. Apa yang sebenarnya dia rencanakan?

Aku mendesah dalam hati, merasa jenuh dengan kehadirannya yang terus-menerus mengganggu. "Katakan saja apa maumu, Pak Brandon. Kalau tidak ada urusan penting, silakan keluar," ucapku dengan nada malas, berusaha tetap tenang meski hatiku mendidih.

"Ya, Pak Brandon, kami sedang belajar ini! Tolong jangan ganggu kami!" Jade langsung bersuara, suaranya tegas dan melindungi. Dia tak tahan lagi melihat sahabatnya, Charlotte, terus-menerus menjadi target. Aku bisa melihat kesetiaannya yang kuat, terutama di saat-saat seperti ini, ketika Charlotte sedang menghadapi tekanan.

Aku melirik ke arah Charlotte, yang tampak berusaha keras menahan emosinya. Tangannya mengepal begitu kuat hingga bergetar, dan wajahnya terlihat semakin tegang. Tanpa berkata apa-apa, aku berjalan pelan ke mejanya dan meletakkan tanganku di bahunya, memberi sedikit tekanan lembut untuk menenangkannya. Dia menoleh padaku sejenak, matanya penuh emosi yang tertahan, tapi dia mencoba untuk tetap tenang.

"Apa kau dengar itu, Pak Brandon?" kataku sambil tetap menatapnya tajam. "Murid-muridku ingin belajar. Jika Anda punya urusan, datanglah setelah kelas selesai atau pada jam istirahat."

Brandon hanya terkekeh, seolah meremehkan setiap kata-kataku. Tatapan merendahkannya tak pernah lepas, seakan aku bukan rekan sejawatnya di akademi ini. "Kau pikir kau siapa, Arthur? Kau merasa sudah hebat?" katanya dengan nada penuh sindiran. "Kau hanya terlihat hebat karena anak-anak muridmu. Padahal, kau sama sekali tidak pandai mengajar."

Aku bisa merasakan hawa panas di wajahku, tapi aku tahu, dia sengaja ingin memancing emosiku. Namun, aku tak akan memberinya kepuasan itu. Aku tetap berdiri tegak, berusaha mengabaikan provokasinya.

Brandon melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih serius. "Aku bukan datang untuk mengganggu, Arthur. Aku di sini untuk menyampaikan sesuatu pada Charlotte. Ada seseorang yang ingin bertemu dengannya."

Mendengar itu, Charlotte langsung menegang, matanya berkedip-kedip kebingungan. Aku bisa merasakan ketegangan semakin meningkat di ruangan ini. Siapa yang sebenarnya ingin bertemu dengan Charlotte?

Tak lama setelah itu, pintu kelas berderit pelan, terbuka dengan suara yang terdengar lelah. Seseorang masuk ke dalam ruangan, membuat suasana seketika berubah. Sosok itu tinggi, berisi, dengan rambut pirang yang jatuh sempurna di bahunya, tampak seperti model dari sebuah lukisan bangsawan. Bola matanya berwarna kehijauan, memancarkan sinar tajam yang segera membuatku waspada. Wajahnya? Aku harus mengakui, tampan seperti pangeran dalam kisah-kisah dongeng, sosok yang terlihat sempurna di permukaan.

“Maaf mengganggu,” ucapnya dengan nada sopan, bahkan terdengar halus. Namun, anehnya, sejak detik pertama aku melihatnya, ada perasaan tidak nyaman yang merayap dalam diriku. Seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang tersembunyi di balik senyumannya yang tampak ramah itu.

Tiba-tiba, aku merasakan Charlotte menegang di sampingku. Tangannya mencengkeram lenganku erat, seolah mencari perlindungan. Aku menoleh ke arahnya, sedikit bingung. Apa yang terjadi? Kenapa dia tampak begitu gelisah? Matanya menatap sosok itu dengan campuran ketakutan dan ketidakpercayaan.

“Dia... dia Armens Richman, Pak Guru,” bisiknya pelan, suaranya bergetar, cukup rendah agar hanya aku yang mendengarnya.

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna situasi ini. Nama itu… Armens Richman. Ya, aku pernah mendengarnya sebelumnya. Nama yang sempat disebutkan oleh Tuan Leonardo kemarin, sosok yang katanya ingin membantu menyembuhkan kutukan Nyonya Minerva. Namun, ada harga yang harus dibayar—imbalan itu adalah menikahkan dirinya dengan Charlotte. Sekarang semuanya masuk akal. Tak heran sejak awal aku sudah merasakan hawa tak beres saat Armens melangkah ke kelas ini.

"Rupanya benar kau belajar di tempat kumuh ini," kata Armens, suaranya lembut namun penuh sindiran. "Ini sangat tidak cocok untukmu, Charlotte. Kau adalah putri dari keluarga Pennyroyal. Tempat seperti ini tidak pantas untukmu." Dia mengulurkan tangannya dengan sikap anggun, seolah menawarkan jalan keluar yang sempurna. "Ayo, kubawa kau ke tempat yang lebih baik. Pak Guru Brandon sudah siap memberikan yang terbaik untukmu, Charlotte."

Sekarang terjawab sudah. Alasan kenapa Brandon begitu mati-matian mengejar Charlotte—semuanya karena orang ini. Armens Richman. Dia adalah dalangnya. Darahku mendidih, ingin segera maju dan menghentikan semua ini. Tapi sebelum aku sempat bergerak, murid-muridku sudah lebih dulu maju, melindungi Charlotte dengan tekad yang tak tergoyahkan.

"Enak saja kau bilang kelas ini kumuh! Apa mulutmu itu tidak pernah sekolah?" Johan berdiri paling depan, menatap Armens dengan mata yang berapi-api. Aku bisa melihat dia menahan diri dengan susah payah agar tidak langsung menghantam orang itu.

"Siapa kau sebenarnya? Seenaknya menghina kami semua!" Masamune melangkah ke depan dengan ekspresi marah, dan tiba-tiba katana-nya sudah keluar dari sarung, mengalirkan kilatan petir di sepanjang bilahnya. "Aku tidak peduli siapa dirimu, tapi kau harus menarik ucapanmu tadi," desisnya. Pedangnya sudah setengah jalan menuju kepala Armens.

Namun, yang membuatku makin tidak nyaman adalah reaksi Armens. Bukannya takut, dia malah tampak tenang, seolah situasi ini tak berarti apa-apa baginya. "Siapa yang mengizinkan kalian berbicara, dasar rakyat jelata!" Armens meludah kata-kata itu dengan tatapan merendahkan. "Dan kau," ia mengarahkan tatapannya ke Masamune, "turunkan pedang bodohmu itu, atau kau akan menyesali tindakanmu. Dasar orang asing yang tidak tahu sopan santun."

Senyuman tipis masih melekat di wajahnya, semakin memperkuat kesan bahwa dia tidak menganggap kami semua lebih dari sekadar gangguan kecil di perjalanannya.

Masamune tidak bisa lagi menahan amarahnya. Tubuhnya menegang, matanya menyala-nyala, dan dalam sekejap, katana-nya kembali terangkat, siap untuk menyerang Armens. Aku bisa melihat niat itu jelas dalam gerakannya. Namun, justru pada saat itu, senyuman tipis di wajah Armens semakin mengganggu perasaanku. Itu bukan senyuman orang yang terancam—itu adalah senyuman seseorang yang tahu dirinya berada di atas angin.

"Jangan, Masamune! Tahan dirimu!" seruku dengan cepat, suaraku penuh ketegasan. Aku berharap Masamune bisa mendengar alasanku di balik amarah yang mendidih dalam dirinya.

Ada jeda sejenak, namun syukurlah, Masamune akhirnya menurunkan katana-nya dengan perlahan. Wajahnya masih menunjukkan perlawanan, tapi dia mundur, berdiri di sampingku dengan napas yang berat. Johan, yang tadinya bersiap untuk ikut bertindak, juga mengendurkan bahunya, meski tatapannya masih tajam tertuju pada Armens.

Aku menghela napas lega, tapi tetap waspada. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh Armens di balik senyumannya itu. Bukan hanya keangkuhan biasa—ada kekuatan, sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang terlihat. Dan aku tahu, meskipun murid-muridku berbakat, mereka mungkin bukanlah tandingannya.

Aku melangkah maju, mendekati Armens, mataku menatap tajam ke arahnya tanpa gentar. Aku tahu, pertempuran ini bukan sekadar soal kekuatan fisik, tapi juga permainan ego dan harga diri.

"Jadi, kau gurunya Charlotte?" Armens menatapku dari atas hingga bawah, wajahnya jelas menunjukkan ketidakpedulian. "Aku tidak melihat yang spesial darimu. Bahkan, Pak Guru Brandon bilang kau tidak punya bakat untuk menjadi seorang guru. Charlotte hanya akan menyia-nyiakan potensinya di tempat yang kumuh dan tidak layak seperti ini."

Brandon, yang berdiri di sampingnya, segera menimpali dengan suara liciknya. "Kau dengar itu, Arthur? Kau tidak bisa menolaknya. Charlotte akan mulai belajar di kelasku sekarang. Kau tidak bisa menolak perintah dari Tuan Armens Richman. Harga dirimu itu... bahkan tak sebanding dengan kehormatan yang dimiliki oleh Tuan Armens."

Suaranya penuh kepalsuan, terdengar seperti penjilat yang selalu siap memanfaatkan kesempatan demi kepentingannya sendiri. Pemandangan ini membuatku mengingat kejadian yang serupa di kehidupan sebelumnya.

Aku tersenyum tipis, tak terpengaruh oleh kata-kata mereka. Pemandangan seperti ini terlalu sering kulihat, bahkan sebelum aku bereinkarnasi menjadi Arthur Westwood di dunia ini. Di kehidupan lamaku, sebagai seorang guru, aku kerap menyaksikan guru-guru yang sama seperti Brandon—menjilat ke kepala sekolah demi dianggap baik, demi keuntungan pribadi. Mereka berlagak sempurna di depan, tapi di balik layar, mereka penuh kebusukan, lebih busuk dari bangkai yang sudah berhari-hari. Tidak ada yang berubah, meskipun dunia ini berbeda. Aku sudah khatam dengan tipu daya semacam ini.

Aku melipat tangan di dadaku, tetap tenang. "Kalian bicara banyak soal bakat dan harga diri," kataku, nada suaraku lembut tapi penuh keyakinan. "Tapi yang kalian lupa adalah, Charlotte sudah memilih. Dia ada di sini karena keinginannya sendiri, bukan karena siapa pun memaksanya."

Aku memandang ke arah Charlotte yang masih berdiri di belakangku. Sorot matanya penuh determinasi, meski ada sedikit kegelisahan. Ini adalah pilihannya, dan aku akan menghormati itu sampai akhir.

Charlotte akhirnya bersuara, meski aku bisa mendengar getaran halus di suaranya. Namun, dia tetap berdiri tegak, menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan. "Aku tidak akan kemana-mana! Jangan paksa aku, Armens! Memang, kita kenal satu sama lain, tapi jangan berlagak seperti kita teman dekat!"

Aku sempat berpikir Armens akan marah mendengar penolakan Charlotte, namun yang terjadi justru sebaliknya. Dia tetap tenang, tersenyum kecil seolah sudah mempersiapkan jawaban yang lebih tajam. "Charlotte," katanya lembut namun penuh manipulasi, "sayangnya, itu bukan pilihanmu. Aku sudah meminta izin dari ayahmu. Kau tahu ibumu sakit keras, kan? Aku yang menawarkan bantuan untuk keluargamu. Kau tentu tidak ingin ibumu tersayang kenapa-kenapa, bukan?"

Kalimat itu membuat udara di kelas menegang, tapi reaksi Charlotte justru sangat mengejutkan. Dia tertawa terbahak-bahak, air matanya mengalir saat dia berusaha meredam tawanya. "Armens... aku kira kau tahu segalanya dengan cepat. Tapi kau ketinggalan berita—ibuku sudah sembuh!"

Wajah Armens yang tadinya penuh keyakinan seketika terkejut. Hanya sesaat, memang, tapi aku melihat dengan jelas keterkejutan di balik fasad tenangnya. Namun, dengan cepat, dia mengembalikan senyumannya, seolah berita itu tak berpengaruh sama sekali. "Charlotte, itu lelucon yang lucu. Aku baru saja mengunjungi ibumu seminggu yang lalu. Jangan bodohi aku. Kau tidak perlu berpura-pura kuat di sini."

"Apa yang kau bicarakan, Armens?" Charlotte tersenyum tipis, senyum yang penuh kemenangan. "Aku baru saja pulang kemarin, dan ibuku baik-baik saja. Mungkin kau perlu memperbarui informanmu."

Sekali lagi, wajah Armens sempat menunjukkan ekspresi terkejut, meski dia berusaha keras menutupinya. Tentu saja, dia tidak tahu tentang ini. Dia tidak tahu kalau beberapa hari yang lalu, aku sendiri yang datang ke mansion keluarga Pennyroyal dan berhasil mengangkat kutukan dari Nyonya Minerva. Sejak saat itu, kondisinya terus membaik, seperti yang diceritakan Charlotte.

Aku akhirnya tak bisa menahan senyum puas di wajahku. "Tuan Armens," aku berkata sambil melipat tangan di dada, setengah tertawa, "kau dengar sendiri, bukan? Charlotte hanya ingin belajar denganku. Bukan dengan... badut yang ada di sampingmu saat ini."

Brandon, yang tadinya berdiri dengan senyum percaya diri, tampak kebingungan dan tersinggung oleh ucapanku. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa, mungkin sadar kalau situasinya sudah jauh dari kendalinya.

Charlotte tersenyum ke arahku, lalu menatap Armens dengan tegas. "Jadi, Armens," katanya dingin, "sebaiknya kau berhenti membuat masalah. Aku tidak butuh pertolonganmu. Dan jika kau benar-benar peduli dengan keluargaku, kau akan tahu ibuku sudah jauh lebih baik tanpa campur tanganmu."

Saat aku mengira Armens akan kehilangan ketenangannya, ternyata dia tetap tenang. Senyum masih menghiasi wajahnya saat dia berbalik untuk pergi. Brandon, yang terlihat bingung dan terkejut, mengikuti langkahnya dengan kepala penuh tanda tanya.

Ketika Armens hendak membuka pintu kelas, dia berhenti sejenak. Tanpa berbalik, suaranya yang tenang namun penuh makna bergema di ruangan. "Festival Lunaria. Jika kau bisa menjadi perwakilan Akademi Bridestones untuk Festival Lunaria... aku akan biarkan kau tetap di sini, dan aku akan menganggap bahwa gurumu tidak seperti yang kukatakan tadi."

Dengan itu, Armens membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan kami dalam suasana penuh ketegangan dan kebingungan. Brandon mengikuti di belakangnya, masih terlihat bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

Aku menatap pintu yang tertutup dengan penuh pemikiran. Tantangan dari Armens adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Festival Lunaria adalah acara besar yang dapat menentukan banyak hal bagi akademi dan murid-muridnya. Dan sekarang, tampaknya Charlotte dan aku harus menghadapi tantangan besar jika kami ingin membuktikan diri.

Charlotte berdiri di sampingku, menatap ke arah pintu dengan ekspresi campur aduk antara kemarahan dan kelegaan. Aku bisa merasakan betapa berat beban yang dia rasakan, tapi juga ada tekad kuat di matanya.

"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi," kataku pelan, lebih kepada diriku sendiri daripada kepada Charlotte. "Kita akan membuktikan kepada mereka bahwa kita tidak hanya sekadar murid dan guru dari kelas kumuh ini. Kita akan menunjukkan bahwa kita lebih dari apa yang mereka kira."

Charlotte menoleh kepadaku, matanya penuh determinasi. "Aku akan ikut serta dalam Festival Lunaria, Guru. Aku akan melakukan yang terbaik agar mereka semua tahu bahwa kita pantas berada di sini."

Dengan itu, suasana di kelas kembali terisi oleh semangat baru. Murid-muridku mulai berbicara penuh semangat, merencanakan langkah-langkah berikutnya untuk persiapan festival. Aku tahu, tantangan ini akan menguji semua kemampuan kami, tapi juga memberi kami kesempatan untuk membuktikan diri. Dan aku siap untuk menghadapi semua itu bersama Charlotte dan murid-muridku.

1
~YUD~
lajrooot!!
Ned: entar dulu ye kasih Ned nafas dulu wkwkwk...
total 1 replies
Ned
Parah nich, dari pagi tadi update eh kelarnya sore
~YUD~
di festival lunaris ini Arthur bakal ikut main apa cuma jadi guru pengawas doang?
Ned: Jadi pengawas doang, tapi....ada tapi nya hehe/CoolGuy/.... tungguin apa yang bakalan terjadi di sana
total 1 replies
~YUD~
nanti Arthur sama Brandon bakal duel gak author?
Ned: Ya tunggu aja tanggal mainnya
total 1 replies
Gamers-exe
kirain masamune date 👍🗿
~YUD~
nanti Charlotte sama Arthur bakal saling cinta gak author?
Ned: Yakin gak ada yang mau sama Celestine nih /CoolGuy/
「Hikotoki」: betul sekali, jadi meski charlotte umur 16 masih available buat dinikahi
total 8 replies
Erwinsyah
mau nabung dulu Thor🤭
Ned: Monggo silakan, jangan lupa vote dan rate bintang 5 nya kakak
total 1 replies
~YUD~
apa tuh yang segera terungkap?
Ned: apa tuh kira-kira hehehe
total 1 replies
R AN L
penasaran sekali reaksi murinya lihat kekuatan asli guru ny
Ned: tar ada kok, tunggu aja tanggal main nya heheh
total 1 replies
Ned
Update diusahakan tiap hari, setidaknya akan ada 1 BAB tiap hari...kalo Ned bisa rajin up mungkin 2-3 BAB...

Minggu Ned libur
R AN L
di tunggu up ny
Ned: kalo gak berhalangan tiap hari update, Ned usahakan ada 1 chapter update lah minimal sehari....Minggu kayaknya libur...doain aja Ned bisa nulis terus
Ned: kalo gak berhalangan tiap hari update, Ned usahakan ada 1 chapter update lah minimal sehari....Minggu kayaknya libur...doain aja Ned bisa nulis terus
total 4 replies
R AN L
Luar biasa
vashikva
semangatt
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!