Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyidam
Tak ada kendala berarti saat Ruby menjalani segudang aktifitas dengan perutnya yang sudah besar. Saat berjalan bersama, Kiran kerap meringis ngilu bila menatap ke arah perut Ruby yang menjembul dari seragam kerjanya. Ruby yang kreatif, merobak serayam kerja yang bermodel kemeja untuk disesuaikan dengan bentuk perutnya agar tetap nyaman namun tetap tertutup.
"Kak, hati-hati," tegur Kiran saat melihat Ruby berjalan tergesa-gesa.
"Kiran, kita sudah hampir terlambat. Jika tidak cepat, pasti Tuan Wira akan menghukum kita." Wajah Ruby mulai cemas, ia melihat ke arah mentari yang mulai meninggi.
"Halah, santai saja Kak. Toh jika kita terlambat, Tuan Wira tidak akan mungkin menghukum wanita yang hamil besar seperti Kakak," celoteh Kiran tanpa beban sembari berjalan santai.
"Anak ini ya," decak Ruby sembari menggelengkan kepala.
Mereka terpisah selepas menyimpan tas dan barang pribadi ke dalam loker. Kiran menuju meja kasir dan Ruby bergabung dengan Mario di dapur Resto.
"Hai Ruby, kau sudah datang," tanya Mario begitu Ruby mendekatinya.
"Ya."
"Wah dua hari tak bertemu, kenapa perutmu semakin besar saja," goda Mario seraya tergelak. "Ruby apa kau tau, bos Wira mengantikanmu dengan asisten koki sebelah yang gendut dan cerewet itu. Aku sampai ingin muntah mendengar omelannya setiap waktu. Mengaturku begini, mengaturku begitu. Sedangkan kau tau, di sini akulah kokinya, kenapa jadi dia yang mengaturku?." Mario menggaruk kulit kepalanya yang tak gatal. Dia sendiri yang bicara tapi dia sendiri pula yang kebingungan.
Tanpa diketahui seseorang perempuan yang mereka bicarakan, rupanya mendengar. Dalam satu kali gerakan tangan, mangkuk berbahan stainless itu ia hempaskan ke lantai.
Brangg.
Tubuh Mario sontak terperanjat, begitu pun dengan beberapa orang lain yang berada di dapur. Perempuan bertubuh tambun itu memandang Mario dengan tatapan tajam dengan tangan berkacak pinggang.
"Ya tuhan dia begitu menakutkan. Bahkan lebih menakutkan dari pada Tuan Wira," gumam Mario yang tentunya hanya bisa didengar oleh Ruby.
Begitulah Ruby menjalani hari-harinya. Meski terasa berat, namun beruntung Ruby selalu dikelilingi orang-orang baik di sekitarnya. Membuat gadis itu kian bersemangat untuk mencari uang dan merengkuh kebahagiaan di kehidupan barunya.
💗💗💗💗💗
Dua hari perjalanan yang begitu menyiksa bagi seorang Sean saat harus bertemu dengan beberapa orang yang tak sesuai keinginannya. Terlebih ketika mencium aroma parfum wanita yang seketika mengaduk seisi perutnya.
Sudah dua kali ini ia bertandang ke kota xx untuk menemui Silvia atas permintaan sang Ibu. Sesungguhnya Sean sudah berusaha menolak dengan berbagai alasan. Akan tetapi Margareth salah bergerak satu langkah lebih cepat darinya. Membuat pria muda itu tak kuasa menolak, hingga memilih mengikuti alur yang sudah dibuat oleh sang Ibu.
Pertemuan kali ini tak berbeda jauh dari sebelumnya. Sean sontak menutup hidung saat Silvia mulai mendekatinya. Bahkan saat gadis itu mengulurkan tangan ketika hendak berkenalan, Sean sudah mentup hidung kemudian berlari ke arah toilet ketika rasa mual kian melanda.
Margareth tentu menatap garang padanya. Mengangap apa yang terjadi sebagai bentuk penghinaan.
"Aku akan mencari dokter spesialis terbaik untuk menghentikan penyakit anehmu itu. Aku sanggup membayar mereka berapa pun asal kau sembuh." Sean hanya bisa menghela nafas begitu kalimat itu meluncur bebas dari bibir sang ibu beberapa waktu lalu.
Sean menuruni kendaraannya dengan kaki terseok. Pelayan rumahnya menyambut dan juga Selena berdiri tak jauh dari perempuan tersebut.
"Mual lagi," tanya Selena begitu melihat wajah pucat sang Kakak. Sementara Sean hanya menghela nafas dalam dan tak berniat menjawab pertanyaan sang adik yang seharusnya tak memerlukan jawaban.
Selena pun memapah sang kakak untuk masuk rumah kemudian meminta pelayan untuk menyiapkan segelas teh hangat.
Sean menjatuhkan bobot tubuh di atas sofa dengan kepala ia sandarkan pada punggung sofa. Pria muda itu menutup kedua mata sementara satu tangannya bergerak untuk mengurut pelipisnya yang masih menyisakan pening.
"Kak, minum dulu," pinta Selena seraya mengangsur segelas teh hangat buatan pelayan ke hadapan Sean.
"Sebentar." Sean membenahi posisi duduknya sebelum menerima segelas teh dari tangan Selenan kemudian meneguknya perlahan. "Terimakasih," ucap pada Sang adik dan juga Ika, pelayannya.
"Kakak ingin istirahat? Ayo, aku bantu ke kamar?." Selena menawarkan bantuan namun Sean mengangkat tangan, menolaknya.
"Tidak usah, biarkan aku di sini saja."
Selena menghela nafas. Ia tatap tubuh sang kakak yang setengah terbaring di sofa dengan mata terpejam. Sejak kepergian Ruby, Sean memang kerap kali uring-uringan. Emosinya pun tak terkontrol juga penampilannya yang mulai berantakan. Untuk hari-hari tertentu Selena memang menyempatkan diri untuk sekedar memastikan Sean dalam kondisi baik-baik saja. Meski ada seorang pelayan, namun dalam mengurus diri sendiri pria itu tak ingin memberatkan orang lain atau lebih tepatnya ia tak ingin dilayani orang lain terkecuali orang-orang terdekatnya.
Selena membiarkan Sean tertidur di sofa. Dalam hati ia merasa tak tega saat melihat kondisi Sean yang seperti ini.
Maafkan aku, Kak.
Selena membawa gelas kosong bekas Sean ke dapur. Di kursi meja makan gadis berusia 21 tahun tersebut melamun.
Kepergian Ruby pun sejujurnya atas andil dirinya. Bersama Margaret, Ika dan seorang penjaga keamanan rumah Sean, keempat orang itu berkomplot untuk bisa mengelabuhi Ruby. Membayar orang asing untuk masuk ke dalam kamar di mana Ruby yang sudah dalam keadaan tertidur pulas selepas meneguk minuman yang lebih dulu dicampurkan obat tidur oleh Ika, tak menyadarinya.
"Nona."
Selena terkesiap saat Ika memanggilnya.
"Nona melamun?."
"Tidak," jawab Selena. "Aku hanya bingung dengan keadaan yang menimpa Kak Sean belakangan ini. Mual saat mencium aroma parfum tertentu yang ia temui," papar Selena yang nyatanya hanyalah kebohongan.
Ika ikut duduk di kursi lain. Begitu mendengar penuturan Selena, Ika pun ikut merenung dan berfikir.
"Benar, dulu sebelum kepergian Nona Ruby, keadaan Tuan tidak seperti ini. Sehat dan biasa-biasa saja tidak seperti orang nyi..." Ika mengernyit kemudian membungkam mulut.
"Nyi apa maksud Embak?."
"Em, tidak. Maksudku Nyidam, tapi mana mungkin, Tuan Sean kan laki-laki. Biasanya perempuan yang sedang hamil, apa lagi di usia kandungan yang masih muda, hidung mereka akan lebih sensitif saat mencium aroma tertentu seperti bumbu masak dan parfum."
Selena tergelak. Menganggap aneh ucapan Ika yang baginya tak masuk akal ketika seorang pria yang nyatanya tak hamil, justru mengalami hal serupa.
"Ucapanmu itu mengada-ada mbak, Lagi pula Kak Sean kan laki-laki. Jadi mana mungkin dia hamil, terkecuali jika itu Kak Ruby. Itu pun jika dia masih berada di rumah ini." Selena masih tergelak, namun tidak dengan Ika. Fikiran janda muda dengan satu orang putri itu justru tertuju pada Ruby. Ruby, mantan nona yang sudah ia curangi.
Tbc.
ama rio dan selena
lha kalau kayak emak seperti diriku iki dengan body yg lebih berisi dak semok yoo harus di permak bb nya juga😁😁😛😛
perlu rasa percaya kepada pasangan sean