Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 23
Usai dari kantor polisi, Zura mengajak Lula berziarah ke makam kedua orang tuanya. Tidak lupa pula, ia datangi makam kakek Angga. Bagaimanapun, orang tua itu tidak pernah salah. Yang salah adalah Anggara yang terlalu bod* oh dengan apa yang sedang terjadi di depan matanya.
"Kakek. Aku tidak pernah menyesal karena telah menyelamatkan mu saat kecelakaan itu terjadi. Walaupun, karena anugerah penyelamatan itu aku malah kehilangan kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Aku tetap tidak akan menyesal. Karena semua bukan kehendak mu." Zura berucap sambil melihat ke arah makam tersebut dengan tatapan lekat.
Setelah berucap beberapa patah kata yang ingin hatinya ucap. Mereka pun meninggalkan tempat tersebut. Namun, ketika keluar dari pemakaman, mereka malah bertemu dengan Reno.
"Nona Zura .... Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Ya Tuhan, ini jodoh namanya."
Ucapan itu malah membuat Zura memutar bola matanya dengan malas.
"Hm, kita bertemu di sini, itu kebetulan atau di sengaja ya?"
"Ya ampun, Ra. Kebetulan kok. Aku ada urusan di ruko depan saja. Saat lewat, malah ngeliat kalian. Jadinya, berhenti deh."
"Mm ... makan siang bersama yuk! Udah waktunya makan ini," ucap Reno sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Awalnya Zura ingin menolak. Tapi sepertinya, Lula malah berharap Zura menerima tawaran itu. Zura yakin kalau Lula memang sedang punya rasa hati yang berbeda. Maklum, Zura terlahir sebagai wanita yang cukup peka. Hanya dengan melihat wajah orang-orang terdekatnya saja, dia sudah tahu apa yang orang itu rasakan tanpa harus orang itu utarakan apa yang sedang mereka rasakan.
"La. Apa kita punya waktu untuk makan siang bersama dengan tuan muda Sanjaya ini?"
Gegas Lula melihat jadwal.
"Sepertinya, punya mbak."
"Oh, ya sudah kalo gitu. Ayo kita makan siang sekarang."
"Oh, iya Reno. Kenalkan, dia adalah asisten yang aku anggap sebagai adik kandungku sendiri. Namanya Lula. Semua urusanku, dia yang handle."
"Oh. Halo, Lula." Reno menyapa Lula dengan manisnya.
"Ha-- halo, tuan muda Sanjaya."
"Eh, tidak perlu terlalu formal. Kita tidak sedang dalam urusan pekerjaan, bukan. Panggil aku, kak Reno saja. Karena aku -- "
"Jangan banyak bicara. Ayo makan sekarang!" Zura memotong perkataan Reno dengan cepat. Itu ia lakukan agar Lula tidak merasa terluka. Meski ia tahu, kalau Lula sudah tahu apa niat Reno sekarang.
Mereka pun meninggalkan tempat tersebut menuju rumah makan terdekat. Sementara itu, Angga yang tidak tahu malunya sedang berada di dalam kamar hotel yang Zura sewa. Pria itu sedang duduk terdiam tanpa bergerak setelah ia masuk ke dalam kamar tersebut.
Sementara itu, Adya yang sedang sibuk dengan tabletnya malah menerima sebuah laporan dari si mata-mata yang sedang mereka tugaskan untuk mencari informasi Zura. Mata Adya membulat, namun pikirannya bekerja. Hatinya mendadak berada dalam dilema, antara ingin menyampaikan info yang ia terima atau tidak.
"Anu, tuan muda."
Pada akhirnya, Adya memilih mengatakannya juga. Ekspresi Angga sungguh diluar dugaan. Lebih parah dari apa yang Adya bayangkan sebelumnya.
"Apa! Kenapa dia bisa makan bersama tuan muda Sanjaya!"
"Tuan muda tenang dulu. Mereka ... mereka mungkin ada urusan yang harus -- "
"Tidak bisa. Aku akan pergi untuk memperingati mereka sekarang juga," ucap Angga sambil bangun dari duduknya. Matanya membulat, wajahnya penuh dengan kemarahan.
Reflek, tangan Adya langsung menahan tangan tuan mudanya. Adya tidak lagi bisa menahan diri sekarang. Karena Angga sudah sangat kelewatan. Dia bahkan lupa siapa dirinya saat ini.
"Tuan muda, cukup. Anda tidak bisa melakukan hal berlebihan lagi. Jangan lupa, anda dan nona Zura bukan siapa-siapa. Apa yang akan anda katakan saat anda bertemu dengan nona Zura nanti? Apakah anda akan mengatakan kalau anda adalah mantan suami nona Zura yang hanya menikahinya kurang dari satu menit?"
Deg. Jantung Angga berdetak kencang. Hatinya mendadak terasa perih. Pikirannya kosong seketika. Tubuhnya pun melemah. Angga kini baru menyadari kalau dirinya bukanlah siapa-siapanya Zura.
Ucapan Adya bagai es batu yang menguyur tubuh. Seketika membuat dia tersadar akan dinginnya masa lalu yang sudah ia ciptakan. Air yang dingin, terlalu sulit untuk ia panaskan dalam waktu dekat.
"Adya. Bawa aku pulang sekarang!"
"Tuan muda."
"Aku ingin pulang, Adya. Ayo!"
Huyung langkah Angga berjalan. Pandangannya mendadak kabur. Sekuat tenaga dia berusaha mengumpulkan kesadaran yang saat ini sudah terpecah belah bak kaca yang pecah berderai.
"Pulang ke rumah utama, Adya." Angga berucap ketika mereka telah berada di dalam mobil.
"Baik, tuan muda."
Sejujurnya, Adya merasa sedikit bersalah pada tuan mudanya. Dia juga merasa tidak enak hati atas ketidaksopanan yang telah ia perbuat. Namun, jika dia tidak memberanikan diri tadi, Angga mungkin sudah kembali menggila.
Jalanan yang mereka lewati terasa sepi buat Angga yang saat ini sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Kendaraan yang sedang berlalu lalang itu tidak membuat pikirannya teralihkan dari masa lalu yang menyedihkan.
Tangisan Zura terngiang-ngiang di telinga Angga saat ini. Tangisan ketika Zura kehilangan ayahnya akibat talak yang Angga jatuhkan pada putri satu-satunya dari orang tua tersebut. Rasa bersalah itu seakan menggerogoti hati dan juga pikiran Angga. Dia sangat tersiksa sekarang.
Mobil berhenti tepat di depan pintu rumah mewah yang terasa sangat hening dan sunyi. Angga turun dengan tanpa menunggu pak sopir membukakan pintu mobilnya terlebih dahulu. Bahkan, dia juga meminta Adya untuk tidak mengikutinya masuk ke dalam.
"Tapi, tuan muda."
"Aku ingin sendiri, Adya. Tugasmu sekarang adalah, gantikan aku menyelesaikan semua pekerjaanku di kantor."
"Baiklah. Namun, jika tuan muda butuh sesuatu, segera hubungi saya."
"Hm."
Angga langsung beranjak. Niat Adya untuk meminta maaf karena telah lancang tadi pun langsung ia batalkan. Mengingat, kondisi Angga saat ini sedang sangat tidak baik-baik saja.
Angga berjalan dengan langkah berat. Sapaan dari para pelayan yang bekerja di kediaman tersebut pun ia abaikan begitu saja. Tujuan Angga sekarang adalah kamar kakeknya yang telah lama tidak ia masuki.
Perlahan tangannya membuka pintu kamar tersebut. Aroma khas kesukaan sang kakek masih tercium saat pintu terbuka setengah. Angga sengaja tidak mengganti apapun yang biasanya kakeknya pakai di ruangan ini. Dengan begitu, jika ia rindu, dia tetap bisa merasakan kehadiran kakeknya di sini.
Perlahan kaki itu Angga langkahkan semakin memasuki ke dalam kamar. Matanya menyapu seisi kamar tersebut. Lalu, tangannya ringan menyentuh bingkai foto yang ada di atas meja.
"Kakek. Aku merindukan mu. Maafkan aku yang tidak bisa membahagiakan kakek ketika kakek masih hidup."
Bingkai itu Angga peluk sesaat. Setelahnya, ia meletakkan kembali ke tempat semula. Angga lalu membuka laci dari nakas yang ada di samping tempat tidur kakeknya. Beberapa laporan medis menarik perhatian Angga sekarang.
________________________________________
Catatan kecil.
"Mohon maaf yang mulia, telat up karena kendala jaringan daerah aku gak ada. Wkwkwk ... harap maklum. Tinggal dipelosokan soalnya.