Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Santi keluar dengan wajah menunduk, ia tidak nyaman dengan pakaiannya. Rok pendek dan baju seperti tang top. ia benar-benar berpakaian tapi telanjang.
"Nah begini kan menggoda," ujar Zeni.
"Ya sudah cepat duduk, jangan membuat mami marah, nanti dikirain saya lagi yang tidak becus kerja," ujar Zeni menyuruh Santi untuk duduk.
Santi bingung hendak duduk bagaimana, sebab jika dia duduk, maka roknya tertarik ke atas, yang menampakan celana dalamnya.
Seolah mengerti, zeni pun berkata, "sudahlah dudukkan saja, aku juga tidak nafsu melihat milikmu, kita kan sama-sama perempuan." ujar Zeni.
"Saya bisa pinjam kain untuk menutupi paha saya mbak?"
"Tidak ada, kamu duduk saja jangan banyak alasan," ujar zeni langsung menekan bahu Santi agar Santi duduk. Dan dia pun mulai merias wajah Santi.
"berapa usiamu?"
"16 tahun mbak?"
"masih perawan?"
Santi sedikit bingung dengan pertanyaan itu, ia merasa aneh kenapa Mbak zeni dan Bu Selia harus menanyakan mengenai hal seprivasi itu.
"kenapa diam? Jadi kamu sudah tidak perawan lagi, pantes" ujar Mbak zeni.
"Memangnya kenapa mbak kalau masih perawan?"
"wahhh jadi kamu masih perawan? Beruntung banget Mami Meri dapat perawan gratisan," ujar zeni membelalakkan matanya.
"Mami Meri siapa?"
"Itu, perempuan yang tadi membawa kamu ke sini, itu namanya Meri, sering di panggil mami Meri,"
"bukannya ibu itu bernama Selia ya mbak?"
Spontan Zeni tertawa terbahak-bahak,
"Heiii, kamu sudah di tipu, siapa lagi Selia. Namanya Meri anak-anak di sini memanggilnya dengan sebutan Mami Meri."
"anak-anak yang mana mbak, tadi saya tidak melihat ada anak anak di sini?" tanya Santi bingung.
"Hedehhh, polos banget sih kamu. Ya sudah deh, nanti juga kamu bakal tau sendiri. Yang pasti aku beri tahu ke kamu, sekali masuk ke lembah hitam ini, maka kamu akan sulit untuk keluar dari dalamnya,"
"lembah hitam? Maksudnya apa ya mbak?" Santi semakin tidak mengerti. Tadi ia di tawarin bekerja oleh Selia, dan sekarang dia harus berpakaian mini, dan sekarang Zeni berkata ia masuk lembah hitam.
"Ahh, kamu benar-benar polos sayang, tapi tenang, pekerjaan mu enak kok," ujar Zeni.
Setelah 20 menit berada di ruang make up, Santi pun di halau kembali oleh Bimo dan Deri untuk bertemu dengan Mami Meri.
"Wahhh cantiknya..." puji mami Meri kepada Santi.
"Maaf Bu, kita mau ke mana ya?" tanya Santi
"Sudahlah kamu ikut saja, " ujar Meri, seraya memberi isyarat kepada Bimo dan Deri untuk membawa Santi.
******
Santi dibawa ke sebuah club' malam, dan dengan paksa Santi diseret masuk ke dalam.
"Pak, saya mau di bawa ke mana?" tanya Santi ketakutan
"sudah diam, jangan banyak tanya," gertak Deri.
"kalau kamu banyak tanya, akan kamu habisi kau" ujar Bimo pula, yang membuat Santi takut. Ia tidak boleh mati, adik-adiknya masih membutuhkan dirinya.
Setelah menaiki anak tangga, sampailah Santi, Bimo, dan Deri di lantai ke dua. Tepat di sebuah pintu mereka berhenti.
"Masuk," ujar Bimo mendorong Santi masuk ke dalam.
"Tunggu pelanggan mu," ujar Bimo kemudian langsung menutup pintu.
"Buka... Buka... Pintunya," teriak Santi. Ia baru sadar, kalau dirinya tengah di jual.
Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang pria bertubuh gempal, datang memasuki pintu. Usia pria itu kira-kira 40 tahunan. Ia baru alkohol.
"Sayang, layani saya," ujar pria itu, langsung membuka kemejanya.
"tidak, saya tidak mau," ujar Santi.
Dengan siap pria itu menarik rambut Santi, "cepat layani saya,"
"sakit lepaskan, saya tidak mau," Santi memberontak.
"kurang ajar," ujar pria itu menghempaskan tubuh Santi ke atas tempat tidur.
Santi ingin kabur, tapi tubuh pria itu langsung mengurung tubuh kecil milik Santi.
"Mau ke mana kamu gadis manis, cepat layani aku, asal kamu tahu aku sudah membayarmu Lima juta untuk malam ini," ujar pria. Satu tangannya memegang kedua tangan Santi, dan satunya lagi membuka baju dirinya sendiri.
******
Setelah pergolakan malam itu, Santi di tinggalkan terkulai lemah di atas tempat tidur. Ia meringkuk dengan memeluk kedua lututnya, ia benar-benar tidak menyangka akan berakhir ditempat seperti ini. Semalaman dirinya dihajar habis-habisan oleh pria itu. Ia mencengkram seprai tempat tidur.
"ba ji Ngan..." teriaknya, namun siapa yang perduli. Nasi telah menjadi bubur, kini masa depannya benar-benar hancur.
Tiba-tiba pintu terbuka, Bimo dan Deri langsung masuk.
"ayo pulang," ujar Bimo dan Deri menyeret tangan Santi.
"Tidak, lepaskan aku, aku ingin pulang menemui adikku,"
"cepat ikut dengan kami,"
Santi pun di seret paksa oleh Bimo dan Deri.
*****
"Bagaimana pengalaman manismu semalam, sayang? tanya Meri seraya memegang dagu Santi, tapi Santi menepis tangan itu.
"kau penipu, kau menawariku pekerjaan, tetapi nyatanya apa, kau menjualku, kau bi-adab, kurang ajar," teriak Santi.
"Sopanlah kepadaku, kau tidak kenal aku siapakan?" tanya Meri, mencengkram dagu Santi.
"Tapi, berhubung aku baik, aku akan tetap memberikan bagianmu, tenang saja," ujar Meri, seraya melepaskan cengkramannya dari dagu Santi, dan dia lanjut menghitung uang.
"Ini, aku berikan padamu 1.500.000 untuk harga keperawananmu," Meri memberikan uang seratus sebanyak lima belas lembar kepada Santi.
Hati Santi benar-benar sakit mendengar ucapan Meri, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak. Nasi telah menjadi bubur. Yang bisa ia lakukan saat ini hanya menyesali dirinya sendiri.
"Pria semalam menghargai keperawananmu sebesar lima juta, dan sesuai aturan di sini, tujuh puluh persen untuk Mami, dan tiga puluh persen untuk pekerja. Oleh karena itu, kamu dapat 1.500.000," lanjut Meri.
Mendengar ucapan Meri, Santi mengepal tangannya, air matanya menetes, dan dia tidak mau menerima uang tersebut.
"Saya tidak mau yang itu, kembalikan keperawanan saya," teriak Santi histeris.
"Sudahlah berhenti bersifat naif, bukankah kamu katakan adik-ikmu lebih penting dari apapun? Sekarang di depan matamu telah ada yang, yang ini bisa kamu gunakan untuk keperluan adik-adikmu," ujar Mami Meri, seraya menampakkan pelan yang senilai satu juta lima ratus ke pipi Santi.
"Bagaimana? Kamu tidak mau uang ini? Bukankah kamu mengatakan adik-adikmu perlu makan?"
Hati Santi sedikit melunak, mengingat wajah wajah adik-adiknya, yang pasti menunggunya dengan cemas di rumah kontrakan.
"Ambillah," ujar Meri.
Dan Santi merampas yang itu dari tangan meri dengan kasar.
"Bi adap kalian semua," teriak Santi.
"Tenanglah sayang, sekarang pulanglah temui adik-adikmu, jika kamu butuh pekerjaan, kamu bisa datang kapan saya ke rumah ini," ujar Mami Meri.
"Heh, pulang ke rumah ini? Lebih baik saya jadi gelandangan dari pada saya harus kembali ke rumah ini," ujar Santi kemudian pergi dari ruangan itu dengan perasan hancur berkeping-keping, bercampur emosi yang terpendam.
"Mami, kenapa dia Mami biarkan lepas begitu saja?" tanya Bimo.
"Tenang saja, anak seusia dia sudah tidak perawan, yatim piatu, punya banyak tanggungan, dan tinggal di ibu kota. Pasti akan kembali lagi dengan suka rela ke rumah ini," ujar Mami Meri, dengan pandangan tajamnya.
Rumah itu adalah rumah bordil.