Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Jejak yang Menghilang
Langkah kaki Ardan terhenti di depan lorong gelap yang berdinding batu tua, dipenuhi ukiran samar yang menyerupai pola rumit. Udara di sekitar terasa dingin menusuk, bahkan napasnya berubah menjadi kabut tipis. Cahaya redup dari lentera di tangannya menari-nari di dinding, menciptakan bayangan yang tampak hidup.
Setiap langkah di lorong itu mengirimkan gema yang tak wajar, seperti ada seseorang yang mengikuti dari belakang. Namun saat Ardan menoleh, tidak ada apa-apa selain kegelapan yang menyelimutinya.
"Ini bukan lorong biasa," pikir Ardan sambil mengencangkan pegangan pada lentera. Ingatannya tentang Selina dan dunia aneh yang baru saja ia tinggalkan masih segar. Tetapi di mana dirinya sekarang? Tempat ini seolah melawan logika, memutar realitas menjadi sesuatu yang tak terjangkau akal.
Tiba-tiba, suara tawa halus terdengar di ujung lorong. Suara itu dingin, penuh ejekan, dan menggema seolah berasal dari segala arah.
"Siapa di sana?" seru Ardan, suaranya menggema, namun hanya hening yang menjawab.
Ia terus berjalan maju, napasnya semakin berat. Setiap langkah membuat lorong itu terasa semakin panjang, seperti tak berujung. Hingga akhirnya ia melihat sesuatu—sebuah pintu kayu besar dengan ukiran yang sama seperti dinding di sekelilingnya.
Pintu itu tampak kuno, dan ada sesuatu yang aneh tentangnya. Ada bekas darah yang mengering di gagangnya. Namun, yang lebih mengganggu adalah suara samar yang berasal dari balik pintu—suara seorang anak kecil yang menangis.
Ardan menelan ludah. Ia tahu, membuka pintu itu mungkin berarti menghadapi sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tapi, pilihan apa lagi yang ia punya?
Dengan perlahan, ia mendorong pintu itu terbuka.
---
Di balik pintu, Ardan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang jauh lebih besar dari yang seharusnya muat di balik lorong sempit tadi. Langit-langit ruangan itu sangat tinggi, hampir tak terlihat dalam gelap. Di tengah ruangan, ada seorang anak kecil yang berdiri dengan punggung menghadap Ardan.
Anak itu memakai gaun putih yang ternoda darah, rambutnya panjang dan acak-acakan.
"Hei, kamu baik-baik saja?" tanya Ardan dengan suara lembut, berusaha menenangkan.
Anak itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, tubuhnya gemetar. Ardan perlahan mendekat, mencoba untuk tidak menakuti anak itu. Namun, setiap langkah mendekat, rasa tidak nyaman di dadanya semakin besar.
Saat ia cukup dekat, anak itu berbalik perlahan.
Wajahnya... atau apa pun yang ada di tempat wajahnya, bukanlah sesuatu yang bisa Ardan pahami. Wajah itu penuh luka, dengan jahitan yang membentuk senyuman aneh. Matanya kosong, seperti boneka rusak yang tak bernyawa. Namun, yang paling mengganggu adalah suara anak itu—suara yang tiba-tiba berubah menjadi suara perempuan dewasa.
"Kenapa kau di sini, Ardan?"
Ardan tersentak mundur. "Siapa kau?"
Anak itu tertawa kecil, lalu tubuhnya mulai melayang perlahan, tidak lagi menyentuh lantai. "Aku adalah bagian dari dirimu. Sesuatu yang kau lupakan. Sesuatu yang kau hindari."
"Jangan bicara teka-teki! Apa yang kau inginkan dariku?"
Senyuman di wajah anak itu semakin melebar. "Aku ingin kau mengingat. Mengingat siapa yang sebenarnya telah mengkhianatimu."
---
Ardan merasa jantungnya berdetak kencang. Kata-kata itu menghantamnya seperti badai. Bayangan masa lalu yang telah ia tekan dalam-dalam mulai muncul kembali. Wajah-wajah yang dulu ia percayai, senyum-senyum yang ternyata palsu.
"Pengkhianat... siapa?" gumam Ardan, suaranya hampir tak terdengar.
Namun, anak itu tidak menjawab. Tubuhnya mulai memudar menjadi kabut hitam, menghilang ke dalam bayangan di ruangan itu. Sebuah pintu lain muncul di dinding seberang, seolah mengundangnya untuk melanjutkan perjalanan.
Ardan tahu bahwa ujian ini belum selesai. Semua ini hanyalah bagian kecil dari teka-teki besar yang harus ia pecahkan.
---
Lorong berikutnya lebih gelap dari sebelumnya, hampir seperti berjalan di kehampaan. Satu-satunya suara adalah detak jantungnya sendiri. Namun, di kejauhan, ada cahaya redup—sebuah sumber harapan kecil di tengah kegelapan yang menyesakkan.
Ketika ia mendekat, cahaya itu berubah menjadi sosok. Sosok itu adalah... Selina.
Namun, sesuatu berbeda. Selina terlihat pucat, matanya penuh dengan kesedihan.
"Selina?" Ardan memanggil, namun Selina hanya memandangnya tanpa ekspresi.
"Kenapa kau tidak menyelamatkan mereka, Ardan?" katanya, suaranya lemah namun menusuk.
Ardan terdiam. "Menyelamatkan siapa?"
Selina mengangkat tangan, menunjuk ke belakang Ardan. Saat ia menoleh, ia melihat bayangan orang-orang yang pernah ia kenal—wajah mereka berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan.
"Kau meninggalkan kami... Kau mengkhianati kami," suara mereka bergema, semakin keras.
Ardan mencoba menjelaskan, namun kata-katanya tenggelam dalam kegaduhan. Semua wajah itu mendekat, menyelimutinya dengan bayangan pekat.
Dan tiba-tiba, semuanya menjadi gelap.
---
Saat Ardan membuka matanya, ia kembali berada di lorong pertama—lorong sempit dengan dinding berukir. Lentera di tangannya masih menyala, seolah tidak ada waktu yang berlalu.
Namun, ada sesuatu yang berubah. Udara di sekitarnya terasa lebih berat, dan ada bekas jejak kaki berdarah yang mengarah ke pintu yang baru saja ia masuki.
Ardan menyadari satu hal: ini bukan akhir, tapi hanya permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar.