Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Terjepit di Antara Dua Api
Ariella merasakan darah berdesir di tubuhnya, setiap detik penuh ketegangan. Seolah waktu melambat, ia mengamati pria bertopeng yang berdiri di hadapannya, senjata terarah dengan presisi tinggi ke arahnya. Marcus berdiri di sisi kiri pria itu, tersenyum penuh kemenangan. Ariella tahu bahwa ini bukan lagi sekadar pertempuran fisik, tetapi perang mental yang telah mereka persiapkan sejak lama.
“Ini bukan hanya tentang kemenangan, Ariella,” suara pria bertopeng itu bergema, dalam dan dingin. “Ini tentang pengendalian. Semua yang kau lakukan, setiap langkah yang kau ambil, semuanya sudah kami prediksi. Kalian terlalu percaya diri.”
Ariella merasakan sakit di dadanya. Mereka benar. Setiap strategi yang dia buat selalu berhasil dipatahkan. Semua yang mereka lakukan terasa sia-sia. Mereka telah terjebak dalam permainan yang tidak mereka pahami. Namun, meskipun ada rasa kekalahan yang menjalar, dia tidak akan menyerah begitu saja.
“Jika kau pikir aku akan menyerah begitu mudah, kau sangat salah,” jawab Ariella dengan suara datar, namun tegas.
Pria bertopeng itu tertawa pelan, seolah menertawakan kekuatan tekad Ariella. “Kau masih berpikir bisa mengalahkan kami dengan keberanian semata? Lihatlah sekelilingmu, Ariella. Semua ini sudah dimulai lebih lama dari yang kau kira.”
Rael dan timnya bertempur di luar gudang, saling bertukar tembakan dengan musuh yang tak kalah berbahaya. Di luar sana, kekacauan yang terbangun mulai merembet ke dalam, menambah keputusasaan dalam diri Ariella. Mereka tak akan bertahan lebih lama jika terus terjepit dalam jebakan ini.
Ariella memutuskan untuk tidak membuang waktu lagi. Dengan gerakan cepat, ia melompat ke samping, menghindari tembakan yang ditembakkan ke arahnya. Tembakan itu menghancurkan rak baja di sebelahnya. Bukan hanya satu peluru yang melesat, tetapi serangan bertubi-tubi yang mengarah padanya, memaksa Ariella terus bergerak, melesat seperti bayangan.
Di antara ledakan, dia berhasil menemukan celah. Dia memutar tubuh, meraih senjata kecil yang disembunyikan di balik punggungnya, dan menembak dengan cepat ke arah Marcus. Peluru melesat, tetapi Marcus dengan cekatan menghindar, menggerakkan tubuhnya ke samping, hanya untuk dikejutkan oleh serangan balasan dari pria bertopeng itu.
“Jangan ganggu aku!” teriak Marcus, dengan wajah penuh kebencian.
Pria bertopeng itu hanya tersenyum dingin. “Kau masih berusaha menghalangi jalanku? Aku tak pernah mengandalkanmu, Marcus.”
Kata-kata itu memecah ketegangan sejenak. Ariella bisa merasakan ada sesuatu yang sangat salah antara keduanya. Marcus, yang selama ini ia percayai sebagai rekan, ternyata hanyalah bagian dari permainan yang lebih besar. Pengkhianatan yang kini terbuka begitu jelas, lebih menyakitkan dari tembakan yang hampir mengenai jantungnya.
Namun, Ariella tidak punya waktu untuk merasakan kepedihan itu. “Rael!” teriaknya, berbicara melalui radio komunikasi yang tersembunyi di dalam jasnya. “Persiapkan rencana cadangan. Saya butuh dukungan sekarang juga.”
Rael, yang mendengar perintah Ariella, segera mengirimkan sinyal. Tim yang bertempur di luar mulai mundur, memberi ruang bagi pasukan cadangan untuk masuk dan memperkuat posisi mereka. Perhatian Ariella kini terfokus pada Marcus dan pria bertopeng itu. Ia tahu, meskipun ini tampak seperti permainan yang mereka kendalikan, masih ada peluang untuk membalikkan keadaan.
“Marcus,” Ariella memanggil dengan suara rendah. “Kau tahu ini akan berakhir dengan satu cara, kan? Aku tidak akan membiarkan kalian menang.”
Marcus menatapnya dengan ekspresi tak peduli. “Itu adalah pilihanmu, Ariella. Tapi dunia ini bukan tempat untuk orang sepertimu. Kau terlalu naif, percaya bahwa kalian bisa mengubah sesuatu yang sudah tertulis.”
Tiba-tiba, pria bertopeng itu bergerak cepat, mencoba menangkap Ariella dengan gerakan yang hampir tak terdeteksi. Dengan reflek yang tajam, Ariella memutar tubuhnya, menghindar dan melompat ke samping, memberi celah bagi dirinya untuk melawan.
Ariella mengambil kesempatan itu, bergerak dengan cepat dan memukul senjata pria bertopeng, memaksanya terlepas dari genggamannya. Dalam sekejap, dia mengambil alih kendali, memaksa pria itu berlutut dengan senjata terarah ke kepalanya.
“Ini belum berakhir,” ujar Ariella, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Aku tidak akan menyerah pada orang sepertimu.”
Namun, sebelum dia bisa melepaskan tembakan terakhir, Marcus mendekat, menembakkan senjatanya ke arah Ariella. Tembakan itu tepat mengenai bahunya, membuatnya terhuyung mundur. Ariella merasakan rasa sakit yang tajam, tetapi dia tetap bertahan.
“Kau ingin membunuhku?” Ariella bertanya dengan suara datar, darah menetes dari bahunya yang terluka.
Marcus tidak menjawab, hanya tersenyum sinis. “Aku tidak ingin membunuhmu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kamu sudah kalah.”
Tembakan berikutnya datang dengan kecepatan tinggi, tetapi kali ini bukan dari Marcus. Pria bertopeng yang tadi dia tundukkan bangkit kembali, mengarahkan senjatanya ke arah Marcus. Ariella hanya bisa menyaksikan saat Marcus terjatuh, dengan darah mengalir deras dari dada kirinya.
“Tidak ada yang lebih mudah daripada mengendalikan orang seperti kamu, Marcus,” kata pria bertopeng itu, sambil tersenyum penuh kemenangan. “Kau tidak lebih dari alat yang digunakan untuk mencapai tujuan kami.”
Ariella menatapnya dengan penuh kebencian, tetapi juga rasa takjub. Keputusan pria bertopeng itu untuk mengkhianati Marcus seakan mengubah segalanya. Ia bukan hanya melawan satu musuh, melainkan sebuah sistem yang lebih besar—sistem yang memanipulasi dan mengendalikan, memanfaatkan setiap orang yang ada di jalan mereka.
Sambil mengarahkan senjatanya ke pria bertopeng, Ariella tidak menunjukkan rasa takut. “Aku masih hidup. Selama aku masih bernafas, aku tidak akan membiarkan kalian menang.”
Pria bertopeng itu hanya tersenyum, seolah menganggapnya remeh. “Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi, Ariella. Ini bukan hanya tentang kau atau aku. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang bisa kau pahami.”
Sekali lagi, suasana menjadi tegang. Ariella dan pria bertopeng itu saling bertatapan, masing-masing mengerti bahwa pertempuran ini belum selesai. Namun, di dalam hati Ariella, dia tahu satu hal: meskipun mereka memiliki lebih banyak sumber daya dan kekuatan, mereka tidak bisa menghentikan tekadnya untuk bertahan hidup.
“Ini belum selesai,” gumam Ariella, menatap pria bertopeng itu dengan penuh tekad.
Dan meskipun rasa sakit dari luka-luka yang dia alami terasa semakin parah, dia tidak pernah berniat untuk menyerah begitu saja. Kemenangan mereka, meskipun tampaknya jauh di luar jangkauan, akan selalu bergantung pada ketahanan dan keberanian mereka. Mereka hanya butuh waktu, sedikit lebih lama, untuk mengubah takdir yang telah dipaksakan pada mereka.