London, sebuah tempat yang menyisakan kenangan termanis dalam hidup Orion Brox. Dalam satu hari di musim panas, ia menghabiskan waktu bersama gadis cantik yang tak ia ketahui namanya. Namun, rupa dan tutur sapanya melekat kuat dalam ingatan Orion, menjelma rindu yang tak luntur dalam beberapa tahun berlalu.
Akan tetapi, dunia seakan mengajak bercanda. Jalan dan langkah yang digariskan takdir mempertemukan mereka dalam titik yang berseberangan. Taraliza Morvion, gadis musim panas yang menjadi tambatan hati Orion, hadir kembali sebagai sosok yang nyaris tak bisa dimiliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
One Day In London 35
"Kita batalkan saja pernikahan ini."
Ibarat air garam yang disiramkan pada luka, ucapan Olliver memperdalam nyeri dalam hati Tara. Ya, belum sempat wanita itu menemukan jalan untuk memperbaiki keadaan, Olliver justru memutus hubungan yang hampir tiba di pelaminan.
"Olliver, kamu jangan sembarangan bicara! Kamu dan Tara sebentar lagi akan menikah!" Bukan Tara yang langsung menjawab, melainkan Orion.
Baru saja Olliver membuka mulut, Tara lebih dulu menyahut, "Orion, aku ingin bicara dengan Olliver.
Meski dalam hati terasa berat, tetapi Orion tak ada pilihan lain, selain melangkah keluar. Walau perasaannya tak tenang sebelum memastikan sendiri bahwa Tara baik-baik saja, tetapi Orion sadar diri. Dia bukan siapa-siapanya Tara, tak ada hak untuk ikut campur urusan Tara dengan Olliver.
Sesaat setelah Orion keluar, Tara menggenggam tangan Olliver dan mengajaknya duduk di kursi. Lelaki itu pun menurut. Ia duduk di kursi yang tadi ditempati Orion, lantas menatap Tara tanpa sepatah kata.
"Atas semua kesalahan yang kulakukan selama ini ... aku benar-benar minta maaf. Tapi, Olliver, aku sungguh nggak ada perasaan apa-apa pada Orion. Yang kucintai kamu. Mungkin menurutmu, caraku mencintai ini salah. Tapi, percayalah, kamu yang kupilih. Kamu yang kuharap menjadi suami," ucap Tara dengan pelan, tanpa melepaskan genggamannya di tangan Olliver.
Namun, sampai beberapa detik berlalu, tak jua ada jawaban dari bibir Olliver. Yang keluar sekadar embusan napas panjang berulang-ulang.
Kemudian Tara menunduk, harap-harap cemas menunggu tanggapan dari Olliver.
"Kamu belum bisa memahami hatimu sendiri, Tara."
Tara mengernyitkan kening. Sorot matanya menyiratkan bantahan. Namun, bibir tetap mengatup, menunggu Olliver bicara lebih jelas lagi.
"Denganku, hatimu pernah berdebar-debar nggak? Jantungmu pernah berdetak cepat? Pernah merasa cemburu?" tanya Olliver.
Tara terdiam sesaat, lantas mengangguk setelah lima detik berlalu.
Olliver tersenyum masam. "Memahami jujur nggaknya seseorang itu mudah, Tara, yakni dengan melihat cara dia menjawab. Jawaban jujur, normalnya nggak lebih dari dua detik. Tapi, kamu barusan jeda lima detik. Dan ... ini juga maksud dari ucapanku semalam. Kamu memberikan penjelasan tentang cemburu yang menurutku bagian penting dari cinta, kamu menjawab setelah jeda empat detik. Jadi, sulit untuk percaya kalau itu adalah kejujuranmu, Tara," ujar Olliver. Sebuah pernyataan panjang yang sukses membungkam Tara.
Wanita yang kini menunduk itu, diam-diam teringat dengan ucapan Alterio tempo hari. Yang mengatakan bahwa tanda-tanda cinta pastilah ada debar hati dan degup jantung yang cepat.
"Aku nggak meminta kamu untuk menjawab, Tara, renungkan saja sendiri. Tanyakan baik-baik pada hatimu. Kamu pernah berdebar-debar atau detak jantungmu jadi lebih cepat nggak saat berhadapan dengan Orion? Bayangkan saat dia menikah dengan wanita lain, kamu rela nggak? Cemburu nggak?"
Tara terdiam. Belum juga ia renungkan pertanyaan barusan, degup jantung sudah tak karuan.
"Kenapa kamu terus berasumsi kalau aku mencintai Orion? Padahal sudah kukatakan berulang kali kalau yang kupilih itu kamu. Kalaupun yang kurasakan ini belum bisa disebut cinta, tapi setidaknya dari sekian banyak lelaki yang pernah kutemui, termasuk Orion, kamulah yang paling istimewa. Dan aku yakin, Olliver, kalau memang sekarang aku belum mencintaimu, seiring berjalannya waktu cinta itu pasti tumbuh dengan sempurna," terang Tara dengan suara yang agak gemetaran, dampak dari degup jantung yang berantakan.
"Aku berteman dengan Jenny bertahun-tahun, Tara. Selama itu aku menjadi saksi gimana dia mencintai Orion. Mungkin, sikap dan cara bicaramu berbeda dengannya. Tapi, caramu menatap Orion, sama persis dengan Jenny. Sebenarnya, saat pertama kali melihat itu aku udah ngerasa. Tapi, aku terus berusaha keras menepisnya. Aku mencoba yakin kalau kamu memang mencintaiku. Hanya saja ... semua terasa sulit saat aku tahu kamu adalah Sunny-nya Orion. Aku tahu gimana Orion mencintai kamu, nyaris seperti orang gila. Bahkan, dia sampai menutup hatinya bertahun-tahun demi menunggumu."
Penjelasan yang panjang lebar dari bibir Olliver, yang lagi-lagi membuat Tara membungkam. Bahkan, sampai tak sadar menitikkan air mata. Entah apa yang membuatnya bersedih. Keputusan Olliver yang menyiratkan perpisahan atau malah cinta yang sejak awal berusaha ditampik, tetapi nyatanya tetap ada sampai Olliver saja menyadarinya.
"Tara, sebenarnya aku sangat mencintaimu dan keinginanku untuk bersamamu sangat besar. Tapi, aku juga nggak mau menjadi budak cinta yang bodoh. Aku akan memperjuangkan kamu, sekalipun sainganku Orion, atau ibaratnya nggak ada restu dari orang kita pun, aku akan tetap berjuang. Dengan catatan, kamu juga mencintaiku. Tapi jika kamunya nggak ada perasaan untukku, mohon maaf, Tara, lebih baik aku berjuang melupakanmu."
Ucapan yang cukup menyakitkan. Namun, entah Tara merasa sakit atau tidak. Pikirannya kacau, hatinya kacau. Namun, ia tak paham benar dari mana kekacauan itu bermula.
"Pernikahan bukan sekedar pacaran, Tara. Itu ikatan sakral, yang seharusnya sekali seumur hidup. Aku nggak mau melangkah ke sana sambil membawa resiko. Cintamu masih entah, bagaimana jika sampai nanti cinta itu nggak ada? Bukankah kita akan sama-sama tersiksa?" Olliver kembali bicara dengan tatapan yang tetap lekat ke arah Tara.
Andai menuruti kata hati, ingin sekali Olliver merangkul Tara dan mengusap air matanya. Namun, per detik itu, Olliver sudah memilih mundur. Yang mana haknya untuk menenangkan Tara juga ikut terkubur.
"Pernikahan kita udah di depan mata, Olliver. Bagaimana mungkin kita akan membatalkannya? Keluarga kita udah setuju, persiapan pun udah jalan setengah. Bagaimana—"
"Soal keluarga biar jadi urusanku, kamu cukup terima beres. Itu nggak sulit kok, jauh lebih sulit menata hati yang hancur ini," pungkas Olliver.
Sekali lagi lelaki itu kecewa dengan Tara. Bagaimana tidak, yang Tara pikirkan malah keluarga, padahal yang paling hancur saat itu adalah Olliver sendiri. Keluarga Nero dan Morvion banyak uang. Kalaupun kemarin kabar pernikahan sudah ada yang mendengar. Namun dengan uang, siapa yang berani membicarakannya.
"Aku udah pesan tiketnya untuk penerbangan besok pagi. Aku akan mengantarmu pulang dan menjelaskan hubungan kita pada orang tuamu," ucap Olliver.
"Iya." Tara sekadar menjawab singkat, tak mau lagi membantah.
Dalam pikiran Tara kali ini, siapa pun yang ia cintai sudah tak penting lagi. Entah Olliver, entah Orion, Tara tak akan memilih salah satu di antaranya. Mungkin memang itu yang lebih baik, daripada ada masalah di kemudian hari. Dengan Olliver ataupun Orion, sekarang sama-sama buruk. Malah mungkin, hubungan Olliver dan Orion tidak akan retak lagi jika dirinya benar-benar pergi dari kehidupan mereka.
"Baiklah, setelah masalah ini beres, aku akan kembali fokus dengan karier," batin Tara. Bayangan Kota Paris sudah tergambar jelas di dalam pikirannya. Ya, dia akan kembali ke sana, meniti karier yang jauh dari tuan muda kembar dari kelurga Brox.
Bersambung...
Apa ya yng di minta Orion
lanjut thor 🙏
Dan Tara prilaku mu mencerminkan hati yng sdng galau , kenapa juga harus mengingkari hati yng sebenarnya Tara
Orion kalau kamu benar cinta ke Tara terus lah perjuangkan.