Perkumpulan lima sahabat yang awalnya mereka hanya seorang mahasiswa biasa dari kelas karyawan yang pada akhirnya terlibat dalam aksi bawah tanah, membentuk jaringan mahasiswa yang revolusioner, hingga aksi besar-besaran, dengan tujuan meruntuhkan rezim curang tersebut. Yang membuat mereka berlima menghadapi beragam kejadian berbahaya yang disebabkan oleh teror rezim curang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Di Bawah Hujan
Siang itu, hujan turun perlahan, mengguyur kota yang penuh ketegangan. Awan gelap menggantung rendah di langit, menciptakan suasana yang suram dan penuh tekanan. Hujan tidak menghalangi para mahasiswa yang berkumpul di berbagai titik kota untuk melanjutkan protes mereka. Di satu sisi, cuaca yang dingin seolah mencerminkan suasana hati masyarakat yang semakin muram oleh kekerasan yang meluas. Di sisi lain, hujan menambah kesan dramatis pada pertempuran yang akan segera terjadi.
Bentrok di Tengah Kota
Di bawah hujan yang terus turun, Yudi memimpin sebuah kelompok mahasiswa di tengah kota. Mereka telah berkumpul sejak pagi, menunggu instruksi dari pusat gerakan, tetapi siang menjelang sore, ketegangan mulai meningkat. Jalan-jalan mulai basah oleh air, membuat trotoar licin, namun semangat mahasiswa tidak meredup. Meskipun hujan deras, mereka tetap memegang spanduk dan berteriak lantang menyuarakan tuntutan mereka.
“Kita harus tetap di sini, apa pun yang terjadi,” teriak Yudi, memimpin orasi di bawah guyuran hujan. Rambut dan bajunya basah kuyup, tetapi matanya tetap penuh tekad.
Namun, dari kejauhan, Yudi melihat kelompok pria berbadan besar mengenakan jaket hitam mendekati kerumunan. Mereka tidak membawa tanda-tanda aparat resmi, tetapi Yudi tahu siapa mereka—kelompok bayaran yang dikirim untuk memecah dan membubarkan protes.
“Mereka datang,” kata salah satu mahasiswa di samping Yudi dengan gugup. “Kita harus hati-hati.”
Kelompok paramiliter itu terus maju, sementara hujan semakin deras. Saat mereka mendekati barisan mahasiswa, salah satu dari mereka melayangkan pukulan pertama ke arah seorang mahasiswa yang sedang mengibarkan bendera. Bentrokan pun pecah dalam sekejap.
Di bawah hujan yang semakin lebat, suasana berubah menjadi kacau. Yudi mencoba menjaga ketenangan di antara mahasiswa lainnya, tetapi serangan brutal dari kelompok bayaran itu terlalu cepat dan agresif.
“Kita nggak bisa mundur!” Yudi berteriak di tengah kekacauan, mencoba menyatukan barisan pertahanan. Para mahasiswa saling berpegangan tangan, berusaha bertahan meskipun tubuh mereka dihantam tongkat kayu dan pentungan.
Air hujan bercampur dengan lumpur, membuat setiap gerakan terasa lebih lambat dan licin. Banyak mahasiswa yang terpeleset dan jatuh, namun mereka tetap berusaha bangkit, saling membantu untuk tetap berdiri. Yudi, yang berada di garis depan, terkena pukulan keras di bagian perut, tetapi dia tetap bertahan, mencoba melindungi teman-temannya dari serangan yang semakin brutal.
“Jangan biarin mereka hancurin kita!” teriak Yudi, meskipun suaranya mulai serak. Dalam hujan deras dan kesakitan, dia tetap bertahan di barisan, mencoba memimpin mahasiswa lain untuk tidak menyerah.
Serangan di Kampus Lain
Di sisi lain kota, Luvi dan Dito menghadapi situasi serupa. Di tengah hujan deras, mereka memimpin sekelompok mahasiswa di kampus untuk berjalan menuju barisan depan aksi, sambil menyiapkan diri untuk menghadapi aparat yang semakin mendekat. Hujan membasahi seluruh kota, menciptakan genangan air di jalan setapak yang membuat setiap langkah terasa berat.
“Aku nggak suka hujan kayak gini,” gumam Luvi sambil menarik tudung jaketnya lebih dalam, berusaha melindungi diri dari hujan. “Tapi kita harus siap. Mereka nggak bakal biarin kita protes dengan damai.”
Dito, yang lebih terbiasa berada di balik layar, merasa tegang. “Kita harus cepet. Mereka bakal dateng kapan aja.”
Tanpa peringatan, tembakan gas air mata melesat dari arah aparat yang mulai mengepung barisan mahasiswa yang dipimpin Luvi dan Dito. Suasana yang sudah basah oleh hujan menjadi semakin kacau ketika asap gas air mata bercampur dengan uap air, menciptakan kabut tebal yang menyengat mata dan membuat pernapasan semakin sulit.
“Kita harus mundur sedikit!” teriak Luvi di tengah hujan deras dan kabut asap. Dia menarik masker gasnya, memberi isyarat kepada mahasiswa lain untuk melakukan hal yang sama. “Jangan panik, kita bisa bertahan!”
Mahasiswa-mahasiswa lain mulai berlarian, mencari perlindungan di bawah atap gedung atau di balik tembok, tetapi aparat terus menembakkan gas air mata dan maju dengan perlahan, mencoba mengepung mereka. Di bawah hujan, tanah menjadi licin dan berbahaya. Beberapa mahasiswa terpeleset dan jatuh, sementara yang lain mencoba membantu teman-teman mereka untuk tetap bergerak.
Dito, yang berada di bagian belakang kerumunan, mulai menggunakan kemampuannya untuk meretas sinyal polisi, mencoba membingungkan komunikasi mereka. Namun, di tengah hujan dan kekacauan, tugas itu menjadi semakin sulit.
“Kita nggak bisa mundur jauh lagi,” kata Dito dengan panik. “Mereka bakal tangkep kita semua.”
Namun, Luvi tidak menyerah. “Kita harus bertahan, Dit. Ini mungkin kesempatan terakhir kita.”
Dalam situasi yang semakin memanas, Luvi berlari ke depan barisan, membantu seorang mahasiswa yang terluka setelah dihantam oleh aparat. Meskipun tubuhnya sendiri hampir kehabisan tenaga, Luvi berhasil menyeret mahasiswa itu ke tempat aman, lalu kembali ke garis depan untuk bertahan.
Hujan dan Pertempuran di Gedung Pemerintahan
Di luar gedung pemerintahan, di mana ribuan mahasiswa dari berbagai kampus berkumpul, hujan turun semakin deras. Genangan air di jalanan mulai semakin dalam, tetapi itu tidak menghentikan para mahasiswa untuk terus berkumpul dan menyuarakan tuntutan mereka. Gedung-gedung pemerintahan yang megah kini tampak suram di bawah guyuran hujan, seperti simbol kekuatan yang semakin kehilangan kendali.
Yudi dan Luvi, setelah berhasil meloloskan diri dari bentrokan di jalur masing-masing, bertemu kembali di depan gedung pemerintahan. Wajah mereka lelah, tubuh mereka penuh luka, tetapi mata mereka tetap menyala dengan semangat yang tak padam.
“Kita udah sampai di sini,” kata Yudi sambil menatap kerumunan besar mahasiswa yang berkumpul. “Kita nggak bisa mundur lagi.”
Luvi mengangguk setuju, meskipun hujan membuat tubuhnya menggigil. “Ini pertarungan terakhir kita. Apa pun yang terjadi, kita harus bertahan.”
Tiba-tiba, aparat keamanan yang berjaga di sekitar gedung mulai bergerak maju. Mereka membawa tameng dan senjata, sementara gas air mata kembali ditembakkan ke arah kerumunan mahasiswa yang semakin padat. Hujan yang deras membuat asap gas air mata terasa lebih menyengat, dan dalam waktu singkat, situasi berubah menjadi kacau.
“Bentuk barisan!” teriak Yudi di bawah hujan, memberi isyarat kepada mahasiswa untuk membentuk barikade. Mereka menggunakan tameng darurat yang terbuat dari kayu dan kain, berusaha melindungi diri dari serangan aparat.
Di tengah hujan dan kabut gas air mata, bentrokan terakhir pecah. Aparat keamanan terus merangsek maju, memukuli mahasiswa dengan tongkat mereka, sementara para mahasiswa berusaha bertahan dengan apa yang mereka miliki. Beberapa mahasiswa jatuh, terpeleset di tanah yang licin dan berlumpur, tetapi mereka terus bangkit, saling membantu untuk tetap berdiri.
Teriakan dan suara benturan terdengar di mana-mana, bercampur dengan suara hujan yang semakin deras. Yudi dan Luvi, meskipun terluka, tetap berada di garis depan, memimpin mahasiswa lain untuk tetap bertahan. Mereka tahu bahwa jika mereka mundur sekarang, seluruh perjuangan ini akan sia-sia.
“Ini bukan tentang kita lagi,” teriak Luvi sambil mengangkat tangannya tinggi, meskipun tubuhnya hampir tak kuat lagi. “Ini tentang masa depan kita semua!”
Hujan terus turun, membasahi tubuh-tubuh yang lelah, tetapi perlawanan tetap berlanjut. Di bawah guyuran hujan, mahasiswa-mahasiswa itu bertarung untuk hak-hak mereka, sementara aparat pemerintah terus berusaha membungkam mereka.