Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Mencintainya?
Bruk!
“Daddy ... Kak Stephen, tolong Soya!" Soya berteriak dari arah kamar mandi. Para orang tua langsung berlari ke arah kamar mandi, tempat suara Soya menggema.
“Honey, ada apa?" Kevin lantas bertanya pada putri bungsunya.
“Dad, Paman Kai pingsan. Tolong bantu Soya bagaimana ini?" Soya dilanda rasa khawatir. Langsung saja Stephen dan Kevin menggotong tubuh Kai.
“Baringkan ia di kamar tamu! Wajahnya pucat sekali, biar Mama yang memeriksa kondisinya," perintah Helen. Kevin dan Stephen langsung membawa tubuh Kai ke kamar tamu dan membaringkannya di sana.
“Bagaimana bisa ia pingsan?" Zizi bertanya merasa heran dengan Kai yang tiba-tiba pingsan, padahal sebelumnya ia seperti sehat-sehat saja.
“Ini semua karena Mommy, Mommy yang menyuruh Paman Kai makan racun tadi, aku sendiri pun tidak bisa membayangkan bagaimana spaghetti dengan saus kacang dipadukan dengan selai strawberry, pasti rasanya menjijikan sekali," Lulu berkata sambil menahan mual karena membayangkan makanan yang dibuat oleh Kai sendiri.
Raut wajah Zizi berubah sendu, merasa tak enak hati karena membuat calon menantunya tersiksa seperti itu, “Maaf, tapi ini permintaan adikmu."
“Jangan minta maaf padaku, Mom. Saat ini pasti Soya lebih merasa khawatir, secara mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih," ujar Lulu. Ia juga masuk ke kamar tamu guna melihat kondisi kekasih sang adik yang tampak memprihatinkan itu. Di sana juga sudah ada sang kekasih dan neneknya dari pihak sang ibu.
“Jadi bagaimana keadaannya, Grandma?"
“Kekasihmu mengalami gangguan pencernaan, Grandma sudah meresepkan obatnya, tolong tebus di apotek nanti, semoga diare dan mual muntahnya mereda setelah ini. Ah, untuk sementara tolong bilang pada pelayan, untuk membuat bubur, kekasihmu harus makan makanan cair seperti itu dahulu. Dan, Honey. Perbanmu juga harus diganti. Grandma tidak ingin kau terkena infeksi," ujar Helena usai memeriksa kondisi Kai yang tengah terbaring tak sadarkan diri.
“Biar aku dan Lulu yang menebus obatnya, Grandma. Soya di sini saja menunggu kekasihnya," Stephen menawarkan diri untuk menebus obat di apotek. Helena memberikan resepnya dan memberikannya pada Lulu.
“Kalian berdua, tolong bantu adik kalian, ya! Grandma tahu ini adalah pertama kali untuknya, merasakan kekhawatiran seperti ini. Bahkan ia tak pernah seperti ini kala berpacaran dengan pemuda itu, pria ini sangat beruntung bisa menaklukkan hati cucuku yang sangat keras itu," kata Helena sambil memandang Kai.
“Aku ... aku tidak cinta pada Paman ini. Aku hanya khawatir saja, Grandma. Kalau dia mati bagaimana?" Soya mengelak.
Beberapa orang yang berada di sana hanya menghela napas, sampai Stephen menjawab, “Kalau mati, ya dikubur."
“Kak Stephen!" pekik Soya merasa kesal pada calon kakak iparnya itu.
“Tampan," sahut Stephen.
“Sudah sana tebus saja obatnya!"
“Kau mengusir kami?"
“Kak Stephen, jika Kak Stephen bicara lagi aku bersumpah ... kau akan gagal menikah dengan Kak Lulu. Andai Kakak tahu yang tertarik dengan Kak Lulu itu banyak, lebih tampan pula," Soya memanas-manasi Stephen.
“Laki-laki mana yang berani menyaingi ketampananku. Hah ... mana ... mana?!" Stephen mulai kebakaran jenggot saat Soya berkata laki-laki yang berminat dengan gadisnya itu sangat banyak dan lebih tampan darinya.
Kevin melerai perdebatan mereka, “Sudahlah, Soya hanya menggodamu saja, Stephen. Dia tidak serius."
Stephen dan Lulu berpamitan pada orang tua yang ada di sana dan pergi ke apotek, sedangkan para orang tua keluar dari kamar tamu.
“Baby, ayo makan malam dulu," ajak Helen pada cucu kesayangannya itu.
Soya mendengus, “Bagaimana Soya bisa makan, tangan Soya sedang diperban, Grandma!"
“Daddy-mu akan menyuapimu, atau kau ingin disuapi oleh Granddad atau Grandpa?" tanya Helen.
“Granddad, Soya ingin disuapi, Granddad!" Soya memekik keras membuat John terkejut karena pekikan nyaring cucunya.
“Benar-benar copy-an Janice. Suaranya begitu melengking," John memandang sang cucu. Mereka menuju ruang makan dan dengan cepat Soya sudah duduk dengan manis di sebelah kakeknya. Wajahnya yang sangat imut dan menggemaskan itu membuat siapapun yang melihatnya memekik menahan gemas.
“Biarkanlah Granddad makan terlebih dulu, baru nanti menyuapi Soya," Kevin mengusulkan. Soya hanya mengangguk lucu.
Malam itu keluarga besar Dexter makan malam dengan tenang, Soya sendiri justru bermanja-manja dan bersandar pada Grandmom-nya.
“Hari ini kau manja sekali, Honey?"
“Grandmom tidak suka, ya?"
“Tidak, bukan begitu. Grandmom sayang padamu, Baby," Janice mencium puncak kepala Soya.
John yang sudah selesai makan langsung mengambil sepiring nasi sayur dan lauk pauk, dan mulai menyuapi sang cucu.
“Yeay, makan!" Soya memekik sembari mengangkat kedua tangannya ke atas.
John menyuapi cucunya dengan sabar, pipi gembil cucunya saat mengunyah makanan menjadi hiburan tersendiri untuknya.
“Kak Lulu belum pulang, ya?" Soya menengok ke arah ruang tamu menanti kedatangan sang kakak dan calon kakak iparnya.
“Kenapa? Kau khawatir dengan kekasihmu?" John bertanya dengan tatapan menggoda.
“Aku hanya khawatir, aku takut jika Paman itu mati mendadak karena makan spaghetti yang sangat luar biasa itu hingga membuat orang yang menyantapnya menderita gangguan pencernaan," Soya beralasan.
John menampilkan raut wajah kecutnya, “Cucu siapa sih, dirimu. Mengapa kau pandai berkelit?"
“Loh, aku jadi begini, kan karena keturunan Granddad juga. Granddad sangat pandai berkelit," Soya menjawab dengan wajah tanpa dosanya.
“Serius kau tidak mencintainya? Baiklah, kalau begitu Grandpa akan menyuruhnya pergi jika dia sudah sadarkan diri nanti," Hans menyahut percakapan John dan Soya.
“Kali ini aku setuju denganmu, Ge," John menimpali, sepertinya mereka berdua bersekutu untuk menggoda sang cucu.
“Jangan begitu, dia terlihat tidak baik-baik saja, kalau dia sekarat di jalan kemudian mati di tengah jalan bagaimana?" Soya khawatir. Mereka melempar pandangan satu sama lain, terlihat sekali bahwa cucu mereka ada perasaan yang tumbuh untuk pria berusia 28 tahun itu. Akan tetapi, sang cucu masih terus menyangkalnya.
“Terserah kau saja, Nak. Granddad lelah. Lain kali carilah kekasih yang benar. Masa kekasihmu tidak punya hidung begitu?!"
“John," peringat Janice. Ia kadang bingung sendiri dengan sang suami, mulut suaminya itu bagai sebilah pisau, ucapannya yang terkesan menusuk mampu membuat lawan bicara tak berkutik.
“Meskipun dia tidak memiliki hidung begitu, tetapi ia tampan, John. Aku tidak percaya bahwa cucuku pandai memilih pasangan," sahut Helena, ia tak sadar jika ucapan Helena yang penuh kekaguman akan pemuda itu membuat telinga sang suami merasa panas dibakar api cemburu.
“Ehem, tampan ya, Sayang?!" Hans bertanya dengan penuh penekanan. Helena melirik sang suami dan tertawa canggung. Sedangkan John dan Janice hanya menghela napas.
“Gege, bagiku kau adalah yang paling tampan dari seluruh pria tertampan di dunia ini, jangan marah dong!" Helena membujuk sang suami diakhiri dengan kedipan nakal.
“Ma, Pa. Please jangan banyak drama, kalian membuat Zizi malu," Zizi menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
“Diam dan minum susumu, Zivanna Louis!"
“Ralat, Ma. Zivanna Dexter, namanya bahkan sudah kuubah puluhan tahun lalu," Kevin menyela ucapan ibu mertuanya.
“Seleranya bahkan sama dengan Janice. Menyukai pria berkulit tan sepertiku, kekasih Soya saat ini pun juga demikian," ucap John penuh rasa bangga.
Janice tersenyum penuh makna, “Ya, kau benar cucu kita sama sepertiku, John. Namun, aku berharap semoga pria itu tidak juga bersikap bodoh seperti priaku!"
“Uh, seram," sindir Helena, mati-matian ia menahan untuk tidak meledakkan tawanya. Di saat para orang tua sedang terlibat perbincangan santai lain halnya dengan Soya yang sibuk menikmati suapan dari sang kakek.
Di tengah perbincangan mereka, Lulu dan Stephen sudah kembali dengan plastik berisi obat. Soya langsung menerjang sang kakak kala netranya bersirobok dengan mata rusa milik kakaknya dan menyambar plastik itu.
“Terima kasih," ucap Soya sambil mengecup pipi Lulu dengan sayang.
“Honey, satu suapan lagi, kau selesai makan!" John memangil cucu kesayangannya. Soya langsung menerima suapan terakhir dari sang kakek.
“Terima kasih, Granddad. Love you!" pekik Soya dan langsung berlari menuju kamar tamu.
Membuat para orang tua serta Lulu dan Stephen hanya menggelengkan kepalanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di bawah cahaya temaram sebuah kamar berselimutkan keheningan dan kesenyapan, Soya memandang lurus seorang pria yang tengah terbaring lemas di sebuah ranjang. Tangannya terulur menyentuh wajah sang pria, jemari lentiknya menari-nari indah di atas pahatan wajah yang sempurna milik Kai Devinter.
Alis yang berwarna hitam dan lebat seperti ulat bulu, lalu dilanjutkan lagi jemarinya mengusap mata indah yang tengah terpejam itu.
“Mata ini selalu menatapku dengan tajam, tetapi penuh kelembutan di sana."
Lalu jemarinya turun lagi di hidung yang tidak terlalu besar milik lelakinya itu. Sedikit terkekeh karena menemukan sebuah fakta jika hidung milik lelakinya itu termasuk minimalis.
“Ternyata apa yang dikatakan Jayden dan Bruzetta benar adanya, kau tidak memiliki hidung, Paman," ucap Soya seorang diri.
Jemari lentiknya kembali menyusuri wajah sang kekasih dan kali ini berhenti di bibir tebal nan seksi. Soya sedikit memberikan usapan lembut di bibir pria itu.
Sejenak rasa hangat menjalar ke seluruh wajahnya pipi Soya berubah menjadi kemerahan layaknya buah persik.
“Bibir ini selalu memberikan kehangatan tersendiri untukku," gumamnya sambil mengusap lembut bibir milik sang kekasih.
“Hei, Paman. Kau tidak mati, kan. Kenapa belum bangun juga, Paman tidak kasihan pada orang tua Paman, ya? Mereka pasti akan sedih jika anak jeleknya sudah tiada tanpa memberikan firasat apa pun."
“Mengapa jantungku berdegup kencang hanya karena memandang wajahnya. Apa benar aku sudah mulai mencintai Paman ini?" gumam Soya, jantungnya berdetak dengan kencang seperti suara genderang yang ditabuh dengan keras.
“Aku pasti sudah gila ... ya, benar. Aku pasti sudah gila, karena perasaan asing ini."
Malam semakin larut dan rasa kantuk semakin merengkuh kesadaran gadis itu hingga jatuh tertidur berbantalkan lengan Kai.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Waktu menunjukkan pukul tengah malam, nyanyian burung hantu yang terdengar merdu berkolaborasi dengan suara jangkrik menambah kesan sunyi. Di saat itu pula mata setajam elang itu terbuka, iris matanya langsung bekerja mengatur cahaya yang masuk ke dalam mata.
“Di mana aku?" batin Kai saat menyadari tempat ini bukanlah kamarnya. Matanya mengedar melihat ke seluruh penjuru ruangan. Sebelah tangannya terasa kebas, ditolehkan kepalanya ke samping, sedikit terkejut melihat gadisnya tertidur dalam posisi duduk.
“Viola?" batinnya.
Sekelebat ingatan bagai sebuah kaset rusak terputar di otaknya, kini ia mengerti di mana ia sekarang. Dengan perlahan Kai bangun dari tidurnya, berusaha tidak membuat gadisnya terbangun.
“Badannya pasti sakit tidur dalam posisi seperti itu dalam waktu lama," gumamnya. Kakinya menyentuh dinginnya lantai dan ia berhasil berdiri. Tangannya terjulur menggendong Soya dan menidurkannya di ranjang dan menyelimuti tubuh gadis itu.
Matanya menangkap sebuah obat dan segelas air di atas nakas, terdapat note kecil di sana.
Hei Paman Jelek. Jika kau sadar segera minum obatmu secara mandiri dan berhentilah membuat bayi kesayanganku khawatir padamu.
Tertanda
Luvita
“Jutek sekali gadis itu," dengus Kai. Lalu tangannya segera meraih obat dan meminumnya.
Setelahnya, Kai kembali tidur dengan memeluk erat gadisnya.
“Terima kasih telah mengkhawatirkanku, Baby," ucap Kai sambil mengecup pelipis Soya dengan sayang kemudian kembali memejamkan matanya.
typ typ😝
tapi karya ini bagus.. alurnya agak lambat sih mnurutku, tapi ada kejutan di tiap bab nya, jadi mencegah bosan. terutama tokoh wanitanya, digambarkan sebagai wanita kuat, kuat dari semua sudut.