Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bumil
Calista melangkah ke dalam kelas dengan wajah kesal, merasakan tatapan aneh dari rekan-rekannya. Ketika dia memasuki ruangan, dua teman dekatnya, Jehana dan Riana, segera menyadari ekspresinya.
“Kenapa lo?” tanya Jehana, sedikit khawatir.
“Iya, masa dateng-dateng udah cemberut? Harusnya lo seneng tuh diantar suami lo!” Riana menambahkan dengan nada ceria.
“Gue tuh sebel! Masa pagi-pagi udah jadi bahan gosip sama orang?” jelas Calista, masih kesal.
“Yah, Cal, namanya juga hidup, pasti ada aja yang rusuh,” Lily, teman mereka yang lebih kalem, berusaha menenangkan.
“Emang di gosipin apaan sih?” tanya Riana, penasaran.
“Ya biasa, soal gue hamil, kayaknya udah nyebar. Lagi pula, kayaknya perut gue juga makin kelihatan sih,” jelas Calista sambil meraba perutnya.
“Perut lo harusnya masih bisa ditutupin. Tapi masalahnya badan lo ini kurus, jadi walaupun masih seumur jagung, tuh janin pasti nonjol,” ujar Jehana.
“Lagian, pede aja, Cal. Toh, harusnya lo bangga sama Kenneth karena dia mau bertanggung jawab. Sementara di luar sana, cowoknya kebanyakan lari dan nyuruh buat digugurin aja,” nasihat Lily.
Calista menghela napas, lalu mengelus perutnya. “Maafin mama ya, nak. Mama janji gak akan ngumpetin kamu lagi dari orang-orang, karena mama bangga punya kamu, titipan dari Tuhan.”
“Nah, gitu dong!” sahut Lily dengan ceria.
“Gue jadi nggak sabar nunggu anak Calista lahir. Pasti visualnya bukan main deh,” ujar Riana penuh antusias.
“Iya lah, liat aja si Calista sama Kenneth. Sama-sama kayak berlian,” Jehana setuju, dan mereka semua tertawa. Lily kemudian memberikan Calista makanan kesukaannya agar mood-nya bisa naik kembali.
Dengan senang hati, Calista menerima dan segera memakan pemberian Lily. Teman-temannya berharap Calista akan mencapai target berat badan yang diusulkan oleh dokter kandungan.
Namun, gossip tentang kehamilan Calista sudah menyebar luas. Teman-teman Calista juga sedang berusaha memberhentikan gossip tersebut agar tidak semakin parah. Meskipun mereka berusaha keras, Calista merasa terjebak dalam kerumunan yang terus membicarakannya.
Akhirnya, sore pun tiba. Calista, Jehana, Lily, dan Riana baru saja menyelesaikan jam kuliah mereka dan berniat untuk pulang. Mereka berempat berjalan beriringan menuju pintu keluar sambil mengobrol tentang banyak hal.
Calista sangat risih karena sejak tadi dia merasa ditatap dengan tatapan aneh dan sinis. Dia sudah berusaha untuk tidak peduli, tetapi semakin lama, perasaan tidak nyaman itu semakin mengganggu. Ketika mereka mendekati pintu keluar, segerombolan orang terlihat berdiri di sudut, merunduk dan berbisik sambil mencuri pandang ke arah Calista.
Calista yang sedang berjalan pun tiba-tiba berhenti, membuat ketiga temannya bingung. Dia menengok ke arah segerombolan orang yang tadi menatapnya.
“Apa?! Ngapain liat-liat?! Norak lo semua, kayak gak pernah liat cewek hamil aja! Sekali lagi lo pada ngeliatin gue, gue tusuk mata lo pake jari nanti!” teriak Calista kesal.
“Udah, udah, tahan, ibu emosi-nya…” Lily menarik Calista dan berusaha menenangkannya.
“Gak bisa! Gue gak bisa diem terus!” ujar Calista, tak terima.
Melihat Calista yang semakin emosi, Riana, Jehana, dan Lily segera membawa Calista keluar kampus dengan cepat.
“Tuh, suami lo udah nungguin,” kata Jehana sambil melirik Kenneth yang sudah menunggu di pintu mobil, tampak sabar meskipun raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
Tanpa berbicara apa pun, Calista akhirnya menghampiri Kenneth dengan wajah kesalnya.
“Udah selesai?” tanya Kenneth, berusaha menyapa dengan lembut.
“Udah,” jawab Calista jutek, suaranya menahan amarah.
“Cal! Jangan galak-galak sama Kenneth! Nanti Kenneth di kamar jadi maung loh!” teriak Jehana sambil menggoda.
“Udah yuk, masuk!” suruh Kenneth sambil membukakan pintu mobil untuk Calista. Calista pun segera masuk ke dalam mobil, mengabaikan tatapan heran dari orang-orang di sekitarnya.
“Hati-hati, Ken! Temen gue lagi galak!” teriak Lily dengan nada menggoda, dan Kenneth hanya bisa tersenyum, mengangguk tanda mengerti.
Begitu Kenneth duduk di kursi pengemudi dan menjalankan mobil, Calista masih terdiam. Dia merasa campur aduk antara marah dan sedih. Ketika mobil melaju menjauh dari kampus, dia akhirnya memecah keheningan.
“Gosip-nya nyebar…,” kata Calista tiba-tiba, suara keraguan terdengar.
“Terus gimana? Tapi kamu nggak dijauhin sama yang lain, kan?” tanya Kenneth khawatir, mencuri pandang ke arah Calista.
“Nggak sih, tapi mereka natap aku aneh... Kayak seakan-akan aku itu perempuan yang nakal,” jawab Calista, suaranya meredup, sedih dan tertekan.
“Udah, jangan dipikirin. Yang terpenting, kamu kan nggak ngerugiin mereka,” balas Kenneth sambil mengelus lengan Calista, mencoba memberikan ketenangan.
“Aku tahu, tapi kadang, rasa risih itu bikin aku pengen teriak. Rasanya kayak semuanya salah paham,” jawab Calista, napasnya berat.
Kenneth mengangguk paham. Dia tahu betul betapa sulitnya posisi yang dihadapi Calista. Keduanya sama-sama tahu bahwa kehamilan di usia muda seperti ini seringkali menjadi sorotan.
“Kalau mereka tetap ngomong, biarin aja. Aku akan selalu di sini untuk kamu, Cal,” kata Kenneth, menatapnya dengan penuh pengertian.
Calista tersenyum kecil, merasakan kehadiran Kenneth yang selalu memberinya dukungan. Dia merasa lebih tenang saat berada di dekat suaminya.
Saat mobil melaju menuju rumah, Calista merenungkan banyak hal. Dia tahu bahwa kehamilannya akan membawa banyak perubahan dalam hidupnya, baik dari segi sosial maupun pribadi. Dia harus bersiap menghadapi lebih banyak gosip, lebih banyak tatapan, dan mungkin lebih banyak lagi tantangan di depan.
Namun, satu hal yang membuatnya tenang adalah Kenneth, suaminya, yang selalu ada di sampingnya. Meskipun hidup mereka tak sempurna, dan banyak orang yang tak mengerti, Calista tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjalanan ini.
Ketika mereka tiba di rumah, Calista melangkah keluar dari mobil dan melihat ke arah Kenneth. “Makasih ya, Ken. Aku tahu ini semua bikin kamu capek juga,” ujarnya lembut.
“Gak apa-apa, Cal. Yang penting kamu baik-baik aja,” balas Kenneth, mengulurkan tangan untuk meraih tangan Calista, menuntunnya masuk ke dalam rumah.
Di dalam, suasana hangat menyambut mereka. Calista merasa lebih bersemangat, dan saat itu dia bertekad untuk menghadapi dunia luar dengan keberanian. Meskipun banyak yang akan berbicara dan menilai, dia akan menjalani hidupnya dengan penuh rasa bangga atas anak yang akan lahir.
“Siapa pun yang mau ngomong, biar saja! Yang penting ada kamu dan anak kita,” pikirnya dalam hati. Dengan semangat baru, Calista bersiap untuk menghadapi tantangan yang akan datang.