Dokter Fikri adalah seorang psikiater dari kepolisian. Dokter Fikri adalah seorang profesional yang sering menangani kriminal yang mengalami gangguan kepribadian.
Namun kali ini, Dokter Fikri mendapatkan sebuah pasien yang unik, seorang gadis berusia 18 tahun yang mempunyai riwayat penyakit kepribadian ambang (borderline).
Gadis itu bernama Fanny dan diduga membunuh adik tiri perempuannya yang masih berumur 5 tahun.
Apakah Dokter Fikri biaa menguak rahasia dari Fanny?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Racun
Tamara mundur beberapa langkah, meninggalkan senyuman tipis di wajahnya yang masih mengandung ancaman. Dia melangkah dengan tenang, penuh keyakinan seolah-olah sudah mengetahui hasil akhirnya. Aku menahan napas sejenak, menatap punggungnya yang perlahan menjauh, sebelum akhirnya kembali menarik napas dalam-dalam untuk mengendalikan detak jantungku yang tiba-tiba berdegup lebih cepat.
Tamara... namanya terus bergema di kepalaku, seperti bel peringatan yang tak kunjung berhenti. Dan kini, dia terang-terangan menargetkan Reino, sosok yang sudah lama berada dalam kendaliku. Aku tidak akan membiarkan siapa pun merebutnya dariku, apalagi seseorang seperti Tamara.
Aku melangkah ke arah ruang OSIS. Aku tutup pintu dari dalam, kemudian duduk di kursi dengan tenang, membiarkan pikiranku bekerja. Tidak ada satu pun yang boleh tahu betapa terguncangnya aku tadi, terutama setelah ancaman yang Tamara lontarkan. Aku harus tetap tenang, menjaga citra sebagai calon pemimpin yang tak tergoyahkan.
Namun, bayangan Tamara terus muncul dalam benakku, membuatku merasa gelisah. Aku tahu bahwa jika dia berhasil mendekati Reino, dia bisa merusak segala yang telah kubangun. Reino, meski terikat oleh darah, tetap menjadi alat dalam rencanaku yang tidak boleh direbut oleh siapa pun. Aku memegang kendali atas dirinya, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Tamara, mengacaukan kesempurnaan ini.
"Tamara, kamu benar-benar seperti pelacur! Kamu tidak tahu dengan siapa kamu berurusan," gumamku pada diriku sendiri, sambil menatap ke arah pintu yang tertutup rapat. Aku bisa merasakan kebencianku terhadapnya makin dalam, seperti racun yang perlahan menyebar ke seluruh tubuhku. Dia harus disingkirkan, sebelum dia berhasil merusak rencanaku yang selama ini berjalan sempurna.
Aku berdiri dari kursi, berjalan ke arah jendela, dan menatap ke luar. Sekolah ini, tempat di mana aku selalu memegang kendali, sekarang tiba-tiba terasa seperti medan perang. Aku harus bermain lebih cerdas, lebih kejam, lebih manipulatif. Aku tidak bisa membiarkan emosi menguasai diriku. Emosi adalah kelemahan, dan kelemahan adalah sesuatu yang tidak boleh dimiliki oleh orang sepertiku. Laura yang sempurna, karena mereka akan berada di bawah kakiku.
Benakku. Tamara mungkin kuat, tapi dia tidak sempurna. Dia pasti memiliki kelemahan, dan tugas utamaku sekarang adalah menemukan celah itu dan memanfaatkannya. Aku akan membiarkan dia merasa aman, merasa seperti dia memiliki kendali, sementara aku mengawasi setiap gerakannya. Dan ketika dia paling tidak menduganya, aku akan menyerang. Aku akan menghancurkan reputasinya, membuatnya jatuh ke dalam kehancuran yang begitu dalam sehingga dia tidak akan pernah bisa bangkit lagi.
"Aku adalah Laura," kataku pada diriku sendiri, meyakinkan diri bahwa aku masih memegang kendali. "Dan Laura tidak pernah kalah."
Aku tahu bahwa Reino masih memiliki ketergantungan emosional padaku, dan aku bisa menggunakan itu untuk keuntunganku. Aku akan menanamkan rasa takut dalam dirinya, membuatnya percaya bahwa hanya aku yang bisa melindunginya dari bahaya yang sebenarnya tidak ada.
Pertama-tama, aku harus mengisolasi Reino dari segala pengaruh luar. Dia harus merasa bahwa hanya aku yang ada untuknya, bahwa aku adalah satu-satunya orang yang bisa dia percayai. Aku tahu kelemahannya, dia selalu mencari persetujuan, selalu merasa tidak cukup baik. Aku telah bermain dengan ketakutannya selama ini, membuatnya percaya bahwa dia tidak akan pernah bisa bertahan tanpa aku.
Aku akan berbicara dengan Reino sepulang sekolah. Aku akan membuatnya merasa bahwa Tamara adalah ancaman yang sangat besar, bahwa dia mencoba untuk memanipulasi Reino demi keuntungannya sendiri. Aku akan menggunakan kata-kata lembut, seolah-olah aku hanya peduli padanya. Tetapi setiap kata akan disusupi dengan racun, racun yang akan perlahan-lahan merusak pikirannya dan membuatnya semakin bergantung padaku.
Setelah hari sekolah yang terasa lebih panjang dari biasanya, aku pulang ke rumah lebih awal. Aku tahu Reino akan segera tiba. Dengan hati-hati, aku menyiapkan ruang tamu agar terlihat hangat dan ramah. Tidak ada yang lebih efektif daripada menciptakan suasana yang membuat orang merasa aman, hanya untuk kemudian menghancurkannya perlahan-lahan.
Ketika Reino masuk ke rumah, aku bisa melihat kelelahan di wajahnya. Seperti biasa, dia tersenyum kecil ketika melihatku, tapi ada sesuatu yang mengganggunya, sesuatu yang aku tahu harus kumanfaatkan.
"Reino, ada yang ingin aku bicarakan," kataku lembut sambil mempersilakannya duduk di sofa. Aku membuatnya merasa seperti ini adalah percakapan biasa, padahal ini adalah awal dari yang akan terjadi ke depannya.
Reino duduk dengan ragu, matanya memandangku dengan sedikit kekhawatiran. Aku bisa merasakan kebingungannya, dan itu membuatku merasa lebih kuat.
"Ada apa, Kak?" tanyanya, suaranya penuh perhatian seperti biasa.
Aku tersenyum tipis, mencoba tampak seakan-akan aku juga sedang memikirkan sesuatu yang sulit. "Reino… belakangan ini aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku khawatir tentangmu."
Matanya membesar, menunjukkan ketertarikan dan rasa cemas. "Apa maksud Kakak? Aku baik-baik saja."
Aku menundukkan kepala sedikit, menciptakan kesan bahwa aku sedang mencoba menyusun kata-kata. "Ini tentang Tamara."
Saat aku menyebut nama itu, aku melihat kilatan keraguan di matanya. Dia tahu sesuatu tentang Tamara, dan itu membuatnya waspada. Sempurna. Aku memutuskan untuk terus bermain dengan emosi ini.
"Ada apa dengan Kak Tamara? Setahuku dia adalah wanita yang baik kak," Reino bertanya, suaranya lebih rendah, seperti dia tidak yakin apakah ingin tahu jawabannya.
"Tamara... dia berbahaya, Reino," aku berkata dengan nada suara yang lebih tegas, meskipun masih tampak lembut. "Aku tidak ingin melihatmu terluka. Aku hanya ingin melindungimu."
Aku melihat keraguan semakin dalam di matanya. Reino tidak mudah percaya dengan mudah, tapi aku tahu dia mempercayai naluriku lebih dari apa pun. Aku adalah kakaknya, satu-satunya orang yang selalu ada untuknya.
"Aku tahu Tamara mungkin tampak seperti orang baik, tapi aku sudah lama mengawasinya. Dia berusaha mendekatimu Reino. Dia hanya ingin sesuatu darimu, entah apa itu, tapi aku bisa merasakannya. Mungkin saja dia ingin menjadikanmu budaknya," Aku menatap matanya dalam-dalam, memberikan kesan bahwa aku sangat peduli.
"Tapi… dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda seperti itu, Kak," Reino berusaha membela, meski aku bisa merasakan keraguan dalam suaranya.
"Tentu saja dia tidak akan menunjukkan tanda-tanda itu, Reino," aku menimpali, tidak memberikan ruang baginya untuk berpikir. "Dia pintar. Dia tahu bagaimana menyembunyikan niat sebenarnya. Kamu adalah segalanya bagiku, Reino, dan aku mengenalmu lebih baik daripada siapa pun. Aku bisa merasakan bahaya, bahkan jika kamu belum bisa melihatnya."
Reino terdiam, matanya sekarang menatap kosong ke arah karpet di bawahnya. Aku tahu aku telah memecah benteng pertahanannya. Sekarang adalah saat yang tepat untuk memberikan pukulan terakhir.
"Aku hanya tidak ingin kau terluka, Reino," kataku dengan suara hampir berbisik, membuatnya terasa lebih personal, lebih intim. "Kita hanya punya satu sama lain. Aku selalu ada untukmu, kan? Kita selalu bisa saling percaya. Aku tidak ingin orang lain merusak hubungan kita."
Reino mengangguk pelan, masih tenggelam dalam pikirannya. Aku bisa melihat bahwa dia mulai menerima kata-kataku sebagai kebenaran, bahkan jika dia belum sepenuhnya menyadarinya. Aku mengulurkan tangan, menyentuh lengannya dengan lembut, memberikan rasa aman yang semu.
"Aku hanya ingin yang terbaik untukmu," aku mengakhiri dengan nada suara yang penuh kasih, memastikan bahwa Reino merasa dipahami dan dilindungi.
"Aku juga ingin yang terbaik untuk Kakak," Reino akhirnya berkata, suaranya terdengar sedikit goyah.
Mata kami bertatapan, diakhiri dengan kecupan di bibir yang penuh kehangatan. Tamara, kamu tidak akan pernah bisa menang dariku.
aarrrrgh~~~