Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Pertanyaan Pribadi
Pagi itu di kantor terasa sedikit lebih tenang dari biasanya. Adara mengamati jam di pergelangan tangannya, memastikan ia tak terlambat untuk pertemuan mingguan yang biasanya diadakan Arga setiap Senin pagi. Dia mengenal betul karakter bosnya itu—tegas, disiplin, dan penuh perhatian terhadap detail, terutama dalam hal bisnis. Tapi, hari ini ada sesuatu yang terasa berbeda. Arga tiba lebih awal dari biasanya, dan raut wajahnya terlihat sedikit lebih tenang, tidak sekaku biasanya.
Setelah mempersiapkan catatan, Adara berjalan pelan ke ruangan Arga. Sambil mengetuk pintu, ia menarik napas panjang. Mereka sudah bekerja bersama beberapa bulan, dan interaksi mereka sering kali terbatas pada hal-hal formal. Namun, di balik tatapan dingin Arga, Adara selalu merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan—sebuah rahasia yang sulit ditembus.
“Masuk,” suara Arga terdengar rendah namun tegas. Adara membuka pintu dan melangkah masuk, memegang beberapa berkas yang perlu ia bahas.
“Pagi, Pak Arga,” sapanya sambil tersenyum singkat.
Arga mengangkat wajahnya dari komputer dan menatap Adara dengan tatapan tajamnya yang khas. “Pagi, Adara. Silakan duduk,” katanya sambil menyilangkan tangan di atas meja. Adara duduk di kursi di depannya, mencoba bersikap profesional dan tenang.
Mereka mulai membahas agenda minggu ini, proyek-proyek yang sedang berjalan, dan hal-hal lain yang memerlukan perhatian Arga. Namun, di tengah diskusi, Adara menangkap beberapa kali Arga menatapnya dengan pandangan yang lebih dalam, seakan ada yang ingin ia katakan tetapi tak bisa ia ungkapkan. Adara merasa sedikit tidak nyaman, tetapi ia berusaha mengabaikan perasaan itu dan fokus pada pekerjaannya.
Saat pembahasan hampir selesai, Arga tiba-tiba menghentikan percakapan.
“Adara,” ia memanggil namanya pelan, nada suaranya sedikit berbeda dari biasanya, lebih lembut namun penuh arti. Adara terkejut dan mengangkat wajahnya, menatap mata Arga yang kali ini tampak lebih hangat daripada biasanya.
“Ya, Pak?” jawab Adara, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdetak lebih cepat.
“Apa yang sebenarnya membuatmu ingin bekerja di sini?” tanya Arga, membuat Adara sedikit terkejut. Pertanyaan ini bukanlah jenis pertanyaan profesional biasa; ada sesuatu yang lebih pribadi di baliknya.
Adara terdiam sejenak, mencerna pertanyaan itu. Selama ini, dia jarang berbicara tentang motivasinya, terutama karena alasan yang mendasarinya cukup rumit. Ia merasa bahwa pekerjaannya di perusahaan ini adalah bagian dari perjalanan untuk mencari jati dirinya, untuk membuktikan bahwa ia mampu berdiri sendiri.
“Sejujurnya, saya mencari pengalaman, Pak,” jawab Adara dengan tenang, berusaha menyusun kata-katanya dengan hati-hati. “Saya ingin belajar banyak hal, dan saya tahu bekerja dengan Anda bisa memberi saya banyak wawasan baru.”
Arga tersenyum tipis, seakan puas dengan jawaban itu, meskipun tatapannya menunjukkan bahwa ia tahu masih ada sesuatu yang Adara sembunyikan.
“Baiklah,” jawab Arga, tetapi nadanya masih terdengar mempertanyakan. “Saya hanya penasaran, karena... saya melihat kamu berbeda dari kebanyakan orang di sini.”
Adara tertegun mendengar ucapan Arga. Ini adalah pertama kalinya bosnya mengungkapkan sesuatu yang sedikit personal padanya. Perasaan aneh berdesir di dalam hati Adara, campuran antara bingung, penasaran, dan ketertarikan.
“Beda?” Adara mengulang kata itu dengan suara rendah, merasa ingin tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan Arga.
Arga mengangguk, menatapnya tajam namun lembut. “Ya, kamu berbeda. Kebanyakan orang di sini hanya fokus pada keuntungan atau jabatan, tetapi kamu sepertinya punya motivasi yang lain. Itu membuatku penasaran.”
Adara merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Tatapan Arga yang penuh intensitas itu, seolah mencari-cari sesuatu dari dalam dirinya, membuatnya merasa terpojok, tetapi juga terasa hangat.
“Terima kasih, Pak. Mungkin memang karena saya punya tujuan pribadi, tapi saya lebih suka menjaganya untuk diri saya sendiri,” jawab Adara dengan suara pelan, namun tegas. Ia tak ingin terbuka sepenuhnya, terutama tentang alasan-alasan pribadi yang terlalu dalam untuk dibagikan.
Arga tersenyum tipis, dan menganggukkan kepala seolah menghargai jawabannya. Namun, pertanyaan berikutnya lebih mengejutkan.
“Apakah kamu sudah menikah, Adara?”
Pertanyaan ini membuat Adara terdiam sejenak, tak menyangka Arga akan bertanya tentang kehidupan pribadinya. Arga selama ini selalu profesional dan menjaga jarak dalam segala hal. Kenapa tiba-tiba ia ingin tahu hal seperti itu? Meskipun terkejut, Adara mencoba menjawab dengan nada yang tetap tenang.
“Belum, Pak. Saya belum menikah,” jawabnya singkat.
Arga mengangguk perlahan, tampak merenung sejenak. Ada sesuatu di balik tatapannya yang kali ini terlihat berbeda, seakan ia sedang mempertimbangkan sesuatu yang penting. Lalu, tanpa sadar, Arga mengajukan pertanyaan lain yang membuat suasana semakin hangat.
“Kamu percaya pada cinta?” tanyanya, nadanya sedikit berbisik, nyaris seolah bertanya pada dirinya sendiri. Namun, matanya yang menatap Adara mengatakan bahwa ia benar-benar ingin tahu jawabannya.
Adara sedikit tersentak mendengar pertanyaan itu. Dia tidak menyangka pertanyaan sepersonal itu akan keluar dari mulut Arga. Namun, ia merasa bahwa pertanyaan ini lebih dari sekadar keingintahuan; ada sesuatu yang tersembunyi di balik pertanyaan itu, sebuah luka atau pengalaman yang mungkin pernah dilalui Arga.
“Saya percaya, Pak,” jawab Adara pelan, sambil menatap mata Arga. “Saya percaya cinta itu ada, meskipun kadang mungkin tidak semua orang beruntung menemukannya.”
Arga tersenyum samar, dan menundukkan wajahnya sejenak. Ada sesuatu di balik senyum itu, sesuatu yang menyimpan luka, atau mungkin kenangan pahit. Adara merasa iba, tetapi ia tidak berani mengungkapkan perasaannya itu, karena ia tahu batasan antara bos dan karyawannya tetap harus dijaga.
“Apakah Anda sendiri percaya pada cinta, Pak?” Adara balik bertanya, terkejut pada dirinya sendiri karena berani menanyakan hal itu.
Arga terdiam sejenak, tampak merenung dalam-dalam. “Pernah, dulu. Tapi sekarang, mungkin sudah berubah.”
Adara merasakan ada kesedihan dalam suara Arga, dan ia mulai memahami bahwa pria di depannya ini menyimpan beban yang begitu besar, yang mungkin tak terlihat dari luar. Tanpa sadar, Adara merasakan perasaan empati yang mendalam terhadap bosnya ini, sebuah rasa ingin mengerti dan mendukung.
Mereka terdiam sejenak, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ruangan itu penuh dengan keheningan, tetapi keheningan itu justru terasa hangat, seakan mereka berdua berbagi sesuatu yang tak perlu diucapkan. Adara merasa bahwa mungkin Arga ingin menceritakan sesuatu, namun ia terlalu ragu untuk membuka diri.
Akhirnya, Arga menghela napas panjang dan kembali mengangkat wajahnya, menatap Adara dengan senyum yang samar. “Maaf, mungkin pertanyaan saya terlalu pribadi.”
“Tidak masalah, Pak. Kadang kita semua butuh seseorang untuk bicara,” jawab Adara dengan lembut, mencoba memberi ruang bagi Arga untuk terbuka, jika itu yang memang dibutuhkannya.
Arga menatap Adara dengan tatapan penuh makna, dan untuk pertama kalinya, Adara merasa bahwa pria di depannya ini bukan hanya seorang bos yang dingin dan penuh aturan. Ada sisi lain yang rentan, yang tersembunyi di balik kekuatan dan ketegasannya.
“Terima kasih, Adara,” kata Arga singkat, tetapi Adara merasakan ketulusan dalam kata-katanya. Pertemuan mereka pagi itu berakhir tanpa perbincangan lebih lanjut, tetapi perasaan yang muncul di antara mereka seolah memberikan janji bahwa sesuatu yang lebih mendalam mungkin akan terungkap di waktu yang akan datang.
Saat Adara meninggalkan ruangan itu, ia merasakan jantungnya masih berdebar. Ada sesuatu yang berubah—baik dalam dirinya maupun dalam hubungannya dengan Arga.