Alyssa tak pernah menyangka, kunjungannya ke rumah mertua justru menjadi momen paling menyakitkan dalam hidupnya. Di hadapan keluarga dan wanita lain yang ternyata calon istri baru sang suami, Reza, ia dijatuhi talak satu. Dalam hitungan menit, Alyssa resmi menjadi janda.
Alasan perceraian itu lebih menusuk lagi—Reza merasa Alyssa tidak lagi menarik karena tubuhnya yang membesar dan tak terawat. Padahal, di balik perubahan fisiknya, ada alasan yang sebenarnya adalah kesepakatan mereka berdua. Namun Reza menolak memahami. Ia tetap memilih pergi.
Kini, Alyssa harus menata hidup dari serpihan luka yang ditinggalkan. Mampukah ia bangkit dari keterpurukan dan menemukan kembali harga dirinya? Ikuti kisah perjuangan Alyssa dalam menghadapi kenyataan pahit dan menemukan jati dirinya yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saras Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 - Dasar Bos Aneh!
Suasana restoran malam itu sangat ramai. Hampir seluruh meja dipenuhi oleh pelanggan yang tengah menikmati hidangan mereka. Namun, perhatian seisi ruangan sontak teralihkan ketika sepasang pria dan wanita melangkah masuk.
Bagaimana tidak, pria itu adalah salah satu pebisnis muda paling sukses dan berpengaruh saat ini. Wajahnya nyaris selalu menghiasi sampul majalah bisnis, baik nasional maupun internasional. Ia adalah sosok yang dikenal bukan hanya karena kejeniusannya dalam dunia usaha, tapi juga karena penampilannya yang memesona. Rahang tegas, hidung mancung, alis rapi, dan bibir tebal yang justru menambah kesan seksi pada dirinya—semuanya membentuk daya tarik yang sulit diabaikan.
Di sampingnya, berdiri seorang wanita cantik dan anggun. Langkahnya seirama dengan pria itu, mengikuti dengan penuh percaya diri namun tetap menunjukkan rasa hormat.
Mereka adalah Darren dan Alyssa. Darren menggandeng Alyssa masuk lebih dalam, menuju sebuah ruangan eksklusif bertuliskan VIP. Ruangan ini biasa dipesan oleh pelanggan yang menginginkan privasi saat makan malam atau berkumpul dengan keluarga.
Seorang pelayan segera menghampiri mereka. Tanpa bertanya siapa mereka, ia langsung mempersilakan masuk ke salah satu ruang VIP yang telah dipesan sebelumnya. Tak perlu konfirmasi—siapa pun pasti mengenal Darren Allaric Cassius. Mungkin hanya manusia yang tinggal di dalam hutan saja yang belum pernah mendengar nama pria luar biasa ini.
Setelah membukakan pintu untuk Darren dan Alyssa, pelayan itu berdiri sopan dan mulai menanyakan pesanan mereka. Darren menatap Alyssa dengan pandangan tajam yang membuat wanita itu merasa gugup seketika. Tatapan intimidatif yang seolah menelanjangi pikiran lawan bicaranya.
Pelayan itu sabar menunggu, meski kedua tamunya justru larut dalam tatapan satu sama lain.
Hingga akhirnya, suara Darren yang berat memecah keheningan.
"Apa kamu nggak lihat? Dari tadi dia menunggu kita memesan."
Alyssa mengernyit bingung. "Saya tahu. Tapi Anda juga belum memesan apa pun, jadi saya pikir tidak sopan jika saya mendahului."
Darren melipat tangannya di depan dada. “Kamu yang pesan untuk kita berdua.”
Nada perintahnya tegas, seperti biasa. Tidak membuka ruang untuk ditolak.
Alyssa menghela napas pelan. Dengan wajah kesal, ia meraih buku menu yang sejak tadi sudah tergeletak di meja. Pelan-pelan ia membuka lembar demi lembar, mencari pilihan yang tepat. Untungnya, ia cukup sering menemani Darren dalam urusan kerja di luar kantor, jadi ia sedikit banyak tahu selera makanannya.
Melihat Alyssa terlihat ragu, Darren kembali membuka suara.
“Pilih yang kamu suka. Saya bukan orang yang pemilih.”
Alyssa langsung menatap pria itu dengan sorot penuh tanya. Tapi karena tidak mendapat penjelasan lebih lanjut, ia akhirnya memilih steak dan minuman hangat untuk mereka berdua.
Pelayan mencatat pesanan dengan cepat dan sopan, lalu undur diri setelah menutup pintu. Keheningan kembali menyelimuti ruangan berukuran 2x3 meter itu.
Alyssa merasa situasi ini sungguh aneh. Duduk berdua dengan bosnya di ruangan tertutup tanpa ada pembahasan pekerjaan membuatnya canggung. Apalagi, Darren sejak tadi tak berhenti menatap ke arahnya—tajam, penuh pengamatan, seakan hendak membedah isi kepalanya.
Setelah beberapa menit diam, Alyssa memberanikan diri bertanya.
“Maaf, Pak. Boleh saya tahu... tujuan makan malam ini apa ya? Karena rasanya tidak mungkin Anda mengajak saya tanpa alasan tertentu.”
Darren masih menatapnya, kali ini dengan nada yang terdengar lebih lembut meski tetap menyimpan kesan dominan.
“Tidak ada tujuan khusus. Saya hanya ingin makan malam dengan ditemani seseorang.”
Jawaban itu justru membuat Alyssa semakin bingung. Ucapan Darren terdengar ambigu—dan membuat pikirannya berputar-putar.
Untung saja tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Pelayan datang membawa troli berisi makanan mereka. Dengan cekatan ia menyajikan piring steak dengan tingkat kematangan medium well yang menggoda.
Setelah pelayan itu pergi, Alyssa bersiap menikmati makanannya. Ia melihat Darren sudah mulai memotong steaknya. Namun, sebelum sempat memotong steak miliknya sendiri, tangan Darren dengan tiba-tiba menukar piring mereka. Sekarang di hadapannya terhidang steak yang sudah teriris rapi, siap disantap.
Alyssa terkejut. Ia mendongak, menatap Darren dengan rasa tidak percaya.
"Kenapa Anda menukar piring kita? Itu tidak sopan."
"Belum saya makan, jadi tidak masalah. Sekarang makanlah."
Tanpa melihat ke arahnya, Darren menjawab tenang sambil terus memotong steak barunya.
Alyssa menggigit bibir, menahan jengkel. “Apa sebenarnya tujuan Anda?”
Tatapannya mulai berubah dingin.
Darren membalas dengan ekspresi tak kalah dingin. “Kamu cerewet sekali. Saya hanya ingin ditemani makan. Apa itu tidak cukup jelas?”
Alyssa tidak puas dengan jawaban itu. Tapi rasa lelah yang menumpuk membuatnya memilih diam. Ia segera menyantap makanannya, berusaha menghabiskan secepat mungkin agar bisa segera pulang.
Namun karena terburu-buru, ia tersedak. Alyssa terbatuk-batuk sambil memukul dadanya pelan. Darren sigap menyodorkan segelas air putih yang segera diminum Alyssa.
“Terima kasih,” ucapnya lirih setelah merasa lebih baik.
Darren menatapnya sebentar. “Makan pelan-pelan. Restoran ini tutupnya masih lama.”
Alyssa mendecak pelan, kesal. Dalam hati, ia menggerutu. Apa dia nggak sadar kalau aku pengin cepat-cepat pergi? Dasar manusia batu!
Lima belas menit berlalu. Makanan mereka telah habis. Alyssa duduk menunduk, memainkan ponselnya sambil menunggu Darren keluar lebih dulu. Tapi pria itu tetap duduk tenang di tempatnya.
Alyssa akhirnya mendongak, menatap Darren yang... sedang menatapnya.
“Kenapa Anda menatap saya seperti itu? Apa ada yang salah?”
“Saya menunggu kamu selesai main ponsel.”
Alyssa melongo. Menunggu aku selesai main ponsel? Jawaban itu terdengar konyol. Kalau memang ingin pergi, kenapa tidak langsung saja?
Setelah sadar dari keterkejutannya, Alyssa buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Kalau begitu saya sudah selesai. Boleh saya pulang sekarang? Maaf, bukan bermaksud tidak sopan. Saya hanya benar-benar lelah dan ingin beristirahat."
Tanpa menjawab, Darren berdiri dan melangkah keluar, meninggalkan Alyssa yang hanya bisa menatap punggungnya. Ia menghela napas lega.
Alyssa menyusul keluar beberapa saat kemudian, berharap Darren sudah pergi lebih dulu. Namun ketika sampai di depan restoran, sebuah mobil hitam—mobil yang sama yang mengantarnya tadi—terparkir di sana.
Ia mencoba mengintip ke dalam mobil, tapi kaca gelapnya menutupi pandangan.
Alyssa memutuskan berjalan melewati mobil itu. Namun, langkahnya terhenti saat suara yang sangat dikenalnya memanggil.
“Masuk. Saya antar pulang.”
Alyssa menoleh. Darren duduk di kursi pengemudi. Kali ini, ia sendiri yang akan menyetir. Saat datang tadi ada sopir, tapi sekarang... pria itu benar-benar membuatnya bingung.
“Ayo cepat masuk.”
Alyssa masih diam terpaku. Darren kembali bersuara, terdengar sedikit kesal.
“Harus saya bukakan pintunya juga?”
Alyssa menghela napas kasar. Akhirnya ia melangkah masuk ke mobil. Ia berharap perjalanan pulang akan tenang dan tidak ada kejadian aneh lagi malam ini.
Setelah pintu tertutup dan sabuk pengaman terpasang, mobil mulai melaju meninggalkan restoran mewah itu. Sepanjang jalan, Alyssa hanya menatap ke luar jendela. Namun satu hal mengganggunya—ia belum sempat menyebutkan alamat apartemennya.
Baru akan membuka suara, Darren sudah lebih dulu bicara.
“Aku tahu di mana apartemen kamu.”
Alyssa tertegun. Pria ini... seperti bisa membaca pikirannya. Tanpa sadar, ia melirik Darren dengan tatapan bingung sekaligus kagum.