Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengintai
Lelah menyelimuti. Ayu menghentikan motornya di depan sebuah warung kecil yang berdiri di tepi jalan. Tempat yang sederhana dan sepi pengunjung karena penjualnya sudah tua renta.
Mengusap peluh yang membasahi wajah lelahnya. Sesekali mengibas-ngibaskan tangannya.
"Es teh satu, Bu." Ayu mengucap dari ambang pintu lalu duduk di kursi kosong.
Beberapa menu makanan pun masih terlihat banyak dan dingin, sedangkan hari sudah mulai gelap.
"Biasanya tutup jam berapa, Bu?" Ayu mengambil es yang ada di depannya.
"Maghrib, Ning," jawab wanita tua yang duduk di dekat Ayu.
Tidak ada pelanggan lagi yang masuk.
"Makanannya selalu habis?" tanya Ayu ramah.
Sesama pejuang receh ia pun ingin tahu seberapa besar kesusahan yang dialami orang lain. Apakah masih banyak yang di bawahnya atau justru ia yang paling menderita di antara mereka yang juga kesulitan.
"Gak pernah habis, Ning. Setiap hari pasti ada sisa. Tapi alhamdulillah sudah cukup untuk biaya hidup," jelasnya panjang lebar.
"Alhamdulillah."
Ayu meneguk es yang mulai mengembun. Mencecap rasa es yang terlalu hambar, menurutnya.
"Ibu jualan sendirian?" Ayu mengambil uang pecahan dua puluh ribu dan memberikannya pada sang penjual.
"Ada cucu, tapi sekarang dia kuliah."
Ayu mengerutkan alisnya. Rasa ingin tahunya semakin besar mendengar penjelasan penjual itu.
"Dia juga kerja di restoran untuk memenuhi kebutuhannya, tapi sering membantu ibu saat libur."
Ayu manggut-manggut mengerti. Membayangkan saat tua nanti pasti ia juga membutuhkan anak-anak. Terlebih dalam hidupnya saat ini tidak ingin memiliki pasangan.
"Baiklah kalau begitu saya permisi, Bu." Ayu tidak menerima kembaliannya. Ia langsung pergi melanjutkan perjalanannya ke toko sebelum pulang ke rumah.
Kali ini ia melajukan motornya lebih cepat dari biasanya, khawatir dengan anak-anak yang ditinggal seharian penuh.
Setibanya di toko, Ayu masuk menghampiri beberapa karyawan yang juga bersiap pulang. Bahkan, sebagian dari mereka sudah meninggalkan tempat itu karena pekerjaannya sudah selesai.
"Ikut makan malam, Bu?" tanya Indah memastikan.
Ayu menepuk jidatnya. Ia lupa bahwa malam ini akan ada acara makan-makan di restoran mewah. Namun, ia tetap mengutamakan ketiga anaknya hingga menolak ajakan itu.
"Lain kali aku janji akan ikut. Tapi untuk sekarang belum bisa," ucapnya merasa bersalah. Ia masuk ke ruangan Irma. Memberikan hasil penjualan hari ini serta menerima bayaran nya.
"Makasih ya, Ir. Kamu mau menggaji harian, dengan begini aku bisa mencukupi kebutuhan anak-anak." Ayu memasukkan amplop dari sang sahabat.
Irma menautkan kedua tangannya dan menyandarkan di atas meja. "Semua orang yang bekerja di sini berhak menerima bayaran kapanpun.Terserah mereka, dan aku akan berusaha membuat pegawai di sini nyaman."
Sekali lagi Ayu berterima kasih pada wanita tersebut yang sudah membantunya berulang kali.
Sebelum pulang, Indah memberikan tiga bungkus makanan pada Ayu. Itung-itung itu adalah pengganti makan malam Ayu yang tertunda.
Sudah hampir setengah perjalanan, hati Ayu dirundung rasa cemas saat sebuah motor yang melaju dari arah belakang itu terus mengikutinya. Ia mencoba untuk mengalihkan perhatian, namun jalannya yang sepi membuatnya tak bisa leluasa melakukan itu.
"Kira-kira siapa dia?" tanya Ayu pada diri sendiri. Sesekali matanya melirik ke arah spion. Tapi juga tetap fokus dengan jalan.
Mudah-mudahan bukan orang jahat. Menghentikan motornya di tepi jalan.
Motor yang ada di belakang Ayu terus berjalan hingga tertutup kegelapan malam.
Mungkin saja hanya kebetulan. Melanjutkan jalannya dan kembali membelah jalanan dengan hati-hati.
Ayu bernapas dengan lega setelah tiba di area kontrakan. Ia tidak lagi melihat orang yang mencurigakan seperti tadi. Keadaan aman dan membuatnya tenang.
Semoga besok-besok aku bisa pulang lebih awal.
Menoleh ke arah rumah Ninik yang tertutup rapat. Memarkirkan motornya di teras lalu membuka pintu. Meletakkan tas dan jaketnya. Kembali keluar untuk menjemput anak-anak.
"Mama…" teriak Adiba sebelum Ayu tiba. Bocah itu berlari menghampiri Ayu dan berhamburan memeluknya.
Hanan dan Alifa menyusul dari belakang. Setiap melihat mereka bertiga mata Ayu berkaca-kaca. Berharap dia bisa menemani mereka setiap hari.
"Kangen mama, nggak?" Mengusap pucuk kepala Alifa dengan lembut serta mencium kening bocah itu.
"Kangen." Ikut duduk di samping Adiba, sedangkan Hanan memeluknya dari belakang.
"Mama kok tumben malam sih pulangnya?" protes Hanan.
Ini pertama kali ia melihat sang mama terlambat pulang.
"Kerjaannya bertambah, Nak. Jadi mama pulang telat, tapi mama akan usahakan besok bisa pulang lebih cepat.''
Ayu mengucapkan terima kasih pada Ninik. Memberikan sekantong kresek makanan pemberian Irma.
Sebab, ia dan anak-anak juga tidak menghabiskan semuanya.
Baru saja berbalik badan, Ayu menangkap seorang pria memakai helm mengintip di balik dinding rumah salah satu tetangga.
"Siapa itu?" pekik Ayu.
Ninik yg hampir masuk pun terpaksa keluar lagi. Mengikuti arah jari Ainaya menunjuk.
"Siapa, Yu?" tanya Ninik panik.
Ayu menunjuk seseorang yang berlari keluar dari gang.
"Apa perlu aku panggilkan keamanan?"
"Gak usah, Bu. Mungkin ia salah orang saja.''
Ayu tidak mau gegabah. Ia ingin memastikan siapa sebenarnya orang yang mengintainya. Dan apa tujuan orang itu mengintip, sedangkan tidak ada benda yang berharga dimilikinya.
"Ayo Nak, kita masuk!" ucap Ayu menggiring anak-anak masuk ke rumah. Ia mengunci pintu. Menyuruh ketiga anaknya masuk ke kamar supaya lebih aman.
Apa itu orang suruhan mas Ikram? Tapi untuk apa membuntuti ku. Bukankah aku dan dia tidak ada urusan lagi?
Ayu sedikit cemas, takut orang itu berbuat macam-macam terhadap anak-anaknya yang masih sangat kecil.
Seorang pria melepas helmnya setelah tiba di ujung jalan. Mengatur nafasnya yang tersengal karena berlari.
Merogoh ponsel yang ada di saku celana kemudian menempelkan di telinganya.
"Ada apa?" tanya suara berat dari balik telepon.
"Namanya Ayu, Tuan. Dia janda dan mempunyai tiga anak. Dia juga bekerja di toko irama Shop merangkap jadi kurir. Rumahnya sederhana, dan ada yang paling penting," ucap Pria itu penuh teka-teki.
"Apa?" tanya orang yang ada di balik telepon itu semakin penasaran dengan identitas Ayu selengkapnya.
"Dia mantan istrinya Ikram."
Kedua bola mata orang yang ada di balik telepon membulat sempurna.
Ia tak menyangka orang yang dikagumi saat pandangan pertama itu adalah jandanya seorang Ikram. Salah satu klien yang kini memiliki hutang besar di perusahaannya.
Pria itu hanya bisa memandangi ****** ***** yang ada di depannya. Betapa malunya mengingat sikapnya yang angkuh pada Ayu.
"Apa dia tahu tentang ini?" Menjewer salah satu benda miliknya yang berwarna hitam.
Kemudian, menepisnya lagi dan berharap Ayu lupa dengan kejadian tadi siang.
nambah kesni nambah ngawur🥱