"Bisakah kita segera menikah? Aku hamil." ucap Shea Marlove dengan kegugupan ia berusaha mengatakan hal itu.
Tak ada suara selain hembusan nafas, sampai akhirnya pria itu berani berucap.
"Jangan lahirkan bayinya, lagipula kita masih muda. Aku cukup mencintaimu tanpa perlu hadirnya bayi dalam kehidupan kita. Besok aku temani ke rumah sakit, lalu buang saja bayinya." balas pria dengan nama Aslan Maverick itu.
Seketika itu juga tangan Shea terkepal, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelum ia gugup mengatakan soal kehamilannya.
"Bajingan kau Aslan! Ini bayi kita, calon Anak kita!" tegas Shea.
"Ya, tapi aku hanya cukup kau dalam hidupku bukan bayi!" ucapnya. Shea melangkah mundur, ia menjauh dari Aslan.
Mungkin jika ia tak bertemu dengan Aslan maka ia akan baik-baik saja, sayangnya takdir hidupnya cukup jahat. ......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35
****
Shea membuka matanya, dadanya terasa begitu sesak bahkan kepalanya juga terasa sakit. Shea menginginkan obatnya, untuk saat ini reaksi obat itu mulai mengusik Shea.
Nafas Shea terasa tercekik, beberapa kali ia memukuli dadanya sendiri.
‘Tidak! Jangan sekarang, kumohon.’ ucap Shea membatin.
Aslan tak ada disana.
Terlihat Shea turun dari ranjang itu, kakinya melangkah menuju ke kamar mandi. Perasaan Shea makin kacau, sakitnya seperti tak bisa Shea deskripsikan. Ia terduduk lalu memukul dada bahkan anggota tubuh lainnya.
Sakit!
Shea menoleh kemanapun, ia mencari apapun sampai memecahkan sebuah vas yang berada di kamar mandi itu.
Prang!
Mata Shea meraih belingnya, hampir saja benda itu Shea tusukan ke lehernya.
“Shea!” Aslan datang lalu menarik beling itu.
Tubuh bergetar Shea tampak Aslan peluk dengan erat.
“Tenang Shea tenang.” ucap Aslan.
Melihat Shea menderita membuat Aslan bisa merasakan betapa terpuruknya Shea selama ini.
“Menyakitkan sekali, kumohon berikan obat itu padaku.” pinta Shea.
Darah yang mengalir melalui telapak tangannya mulai mengurangi rasa sakit yang ada di tubuh juga kepala Shea.
“Tidak.” ucap Aslan.
Kini Shea kembali mengingat Aslan.
Aslan merasakan kalau saat ini Shea mencengkram kemejanya bahkan Shea sama sekali tak menolak pelukan Aslan.
“Aku semakin menderita saat menghindari obat itu, Aslan. Ketika aku terbangun, aku bisa melupakan siapapun… bagaimana jika aku akan selalu begini? Ini menakutkan Aslan.” ucap Shea pilu.
Aslan melepaskan pelukan itu, ia melihat noda darah menempel di kemejanya yang berasal dari tangan Shea.
Mata mereka saling bertatapan.
“Aku akan bersumpah akan mengembalikan semuanya seperti sedia kala Shea, kau akan pulih kembali.” ucap Aslan terdengar yakin.
Mata Shea terus meneteskan air matanya, kali ini Shea sama sekali tak menghindari tatapan milik Aslan untuknya.
“Yang tahu tentangku itu hanya aku, aku sendiri memahami seberapa menakutkan sakit yang aku rasakan Aslan. Tidak tahu sudah sejauh apa, namun sejak aku sembuh dari depresiku…aku mulai ketergantungan pada obat itu. Ketika aku melupakan meminum obat itu maka aku seperti monster. Terkadang aku bisa melupakan Putraku sendiri, setelahnya melukai diriku sendiri.” ucap Shea.
Shea masih memegang kemeja Aslan seolah ia mencari kekuatan untuk mengatakan apa yang ada di otaknya.
“Sekuat apa aku berusaha mengingatnya, maka pikiranku selalu kacau. Biarkan saja jadi seperti ini Aslan, kembalikan obatnya…aku…”
“Shea! Kau akan hancur jika terus mengkonsumsi obat itu! Aku yakin ada cara lain dan aku pasti bisa membuatmu kembali…”
“Lupakanlah! Aku hanya ingin tetap mengingat Sean sekalipun aku harus mati pada akhirnya, setidaknya nama Sean tetap aku ingat.” ucap Shea.
Aslan memegang kedua bahu Shea, air mata Aslan pun ikut menetes.
“Kau cukup percaya padaku Shea, aku berjanji akan membuat kehidupan yang lebih baik untukmu dan Sean.” ucap Aslan.
Kepala Shea menggeleng.
“Aslan, kau tak mengerti… aku bisa kapan saja melupakan banyak hal. Aku bahkan membenci diriku sendiri. Beribu kali aku berpikir, nyatanya aku tetaplah aku yang sekarang. Aku takut setiap kali aku terbangun, sesaat aku mengingat segalanya namun sesaat lagi aku lupa. Bagaimana jika kelak aku juga melupakan tentangku sendiri? Bagaimana Aslan?” tanya Shea.
Tangan Aslan menyentuh puncak kepala Shea, semakin mendengar penuturan Shea maka semakin hati Aslan terusik.
“Aku mencemaskanmu Shea, aku menyesali segalanya. Aku akan mengatakan apapun jika kelak kau sudah kembali pulih, tak masalah jika kau menganggapku brengsek bahkan membenciku, aku benar-benar tak masalah. Aku berharap kau pulih, aku hanya tak mau kau semakin terluka Shea. Maaf.” ucap Aslan.
Tatapan yang saling beradu itu terlihat sama-sama mengeluarkan air mata.
Shea memilih diam tanpa berkata apapun, membuat Aslan langsung menggendong tubuh Shea keluar dari kamar mandi itu.
Tubuh Shea diletakkan Aslan di ranjang.
“Aku akan mengobati tanganmu.” ucap Aslan.
Shea tetap diam, sekalipun begitu air mata Shea tampak terus menetes.
Aslan meraih kotak obat, ia melihat luka gores di telapak tangan Shea. Segera Aslan menutup luka itu dengan perban.
“Jangan terluka lagi, aku membenci diriku sendiri saat melihat kau menangis Shea.” ucap Aslan.
Shea hanya melihat bagaimana Aslan memperlakukannya dengan lembut.
Tak lama setelahnya Aslan terdiam sejenak, kepalanya masih menunduk menatap telapak tangan Shea.
Hingga…
“Aku takut kehilanganmu, setiap hari aku mencemaskanmu Shea. Bagaimana aku bisa hidup jika kau pergi dariku? Mengetahui kau sakit seperti ini membuat aku hancur, Shea.” ucap Aslan.
Nada suara itu begitu terluka.
Tangan Shea yang tak terluka tanpa sadar terulur, ia mengelus puncak kepala Aslan saat merasakan tetesan air mata Aslan berjatuhan.
“Kenapa kita harus punya takdir seburuk ini Aslan? Kenapa kita tak bersama saja tanpa harus terjadi hal seperti ini di masa lalu? Sekarang semuanya sudah banyak yang berubah, aku tak bisa dimiliki olehmu lagi jadi menyerahlah…jangan berada disisiku yang akan meninggalkanmu kapan saja.” ucap Shea.
Kepala Aslan terangkat, tatapan mereka kembali bertemu.
“Sayang.” ucap Aslan.
Shea benar-benar tak bisa menghindari tatapan Aslan.
“Kalau aku tahu cara berhenti untuk mengharapkanmu bersamaku maka sudah lama aku berhenti Shea, namun hatiku sudah terikat olehmu. Kau segalanya buat aku bahkan sekarang Tuhan membuatku mengetahui bahwa bukan hanya kau yang aku perjuangkan, tapi Putra kita juga.” ucap Aslan.
Shea terisak, mengingat hal itu membuat dada Shea sesak sekali.
“Aku mohon padamu Shea, percayalah padaku sedikit saja. Matthew bukan orang yang baik untukmu, jangan mencintainya. Kau mengkonsumsi obat itu juga karenanya.” ucap Aslan.
Shea memilih diam, isakannya mulai terdengar. Shea benar-benar butuh pelukan, ia mau sedikit tenang. Semakin Shea berpikir maka kepalanya akan terasa sangat sakit.
Aslan kembali memeluk Shea, tangan Aslan dengan lembut mengusap punggung Shea.
“Aku akan menjagamu.” bisik Aslan.
Semakin Aslan mengatakan kata-kata baik, maka semakin Shea menangis dengan kuat.
Tangis Shea tak kunjung mereda sampai Aslan kembali berucap.
“Aku mencintaimu, hanya kau yang paling aku cintai Shea.” ucap Aslan.
Kenapa? Kenapa nada suara Aslan sangat lembut dan tulus? Shea merasa semakin sesak dan terluka. Apakah Aslan tak bisa melepaskan Shea saja? Shea berharap Aslan mau merelakan Shea untuk tidak disisi Aslan lagi.
“Aslan.” ucap Shea dalam posisi dirinya masih dipeluk oleh Aslan.
“Aku tak bisa bersamamu, hidupku sudah hancur. Hubungan kita sudah lama berakhir, tujuanku hanya Sean.” ucap Shea.
“Aku bisa tetap berada disisimu dan disisi Putra kita Shea, aku menjamin itu.” ucap Aslan.
Kali ini Shea mulai merasa lebih tenang, ia keluar dari pelukan Aslan.
Terlihat dua mata itu saling menatap lagi.
Shea mundur dari Aslan, perlahan Shea bangkit berdiri dengan tatapan mata yang masih tertuju pada Aslan.
Shea mengingat momen baik ia dan Aslan di masa lalu.
Senyum terbit di bibir Shea. Aslan yang melihat senyum itu merasa sesak, ia adalah penyebab dari segalanya.
“Apa kau tahu apa yang lebih sulit didunia ini?” tanya Shea menatap Aslan.
Tiba-tiba tangan Shea terulur untuk menghapus air mata Aslan.
“Bagiku yang sulit itu bukan karena tidak mempunyai seseorang sejak awal, melainkan saat kita kehilangan seseorang yang sebelumnya ada dan hal itu membuat kita jadi gila.” ucap Shea.
Aslan hanya bisa diam tanpa berkata apapun.
“Aku pernah mencintaimu, bahkan sangat mencintaimu namun semuanya telah sirna. Hidupku bukan lagi tentang cinta.” ucap Shea.
Perlahan Shea semakin mundur, ia menjauhkan tangannya dari wajah Aslan.
“Setelah semuanya terlalui, aku selalu takut Aslan. Takut jika pada akhirnya, aku tak lagi mengenali diriku sendiri.” ucap Shea.
Usai mengatakan hal itu, Shea pergi dari kamar itu.
Aslan langsung menutup wajahnya, air matanya tak bisa berhenti.
Ada Aron yang membuka pintu kamar.
“Tuan…”
“Aron, aku tak bisa berhenti untuk menangis. Aku tak tahu sejauh apa luka Shea selama ini, dia menyimpannya seorang diri dan bodohnya selama ini aku hanya diam seolah aku yang paling terpuruk. Aku adalah pria brengsek!” ucap Aslan.
Aron tak merespon apapun, ia bahkan tak bisa memberikan ucapan selain diam.
****
Aslan melewatkan sarapan pagi.
Yang berada di ruang makan hanya Shea dan Sean.
“Mom, makanlah yang banyak.” ucap Sean membuat Shea tersenyum.
“Hmm, dan kau juga Jangan membuat Mommy cemas, karena saat kau sakit maka Mommy akan terus menangis.” ucap Shea.
Sean berdecak.
“Itulah yang sangat menyebalkan, aku membenci saat Mommy menangis karena Mommy sangat jelek jika menangis.” ucap Sean.
Shea tertawa membuat Sean menatap Shea.
Tangan Sean menggeser ponsel milik Shea.
“Jangan bersedih, apapun yang terjadi aku akan selalu disisi Mommy.” ucap Sean seraya menyuap makanan miliknya.
Shea berdecak pelan.
“Kau selalu berucap seperti orang dewasa.” balas Shea.
Mata Sean sesekali memperhatikan Shea, hingga Sean berucap.
“Mom.” ucap Sean.
“Hm ya?” balas Shea.
Tangan Sean menunjuk foto Aslan yang berada di atas meja.
“Bukankah Uncle itu tampan? Tidak bisakah dia menjadi Daddy ku? Dia terlihat mirip denganku.” ucap Sean.
Shea terkejut mendengar ucapan Sean.
“Sean…”
“Bukan berarti aku tak menginginkan Daddy Matthew, hanya saja Daddy Matthew tampak seperti bukan Daddy ku dan….Mom, maaf.” ucap Sean saat melihat Shea menundukkan kepalanya. Terlebih tangan Shea terkepal.
Bicara soal Matthew, Shea malah merasa bersalah. Selama ini hanya Matthew yang selalu ada buat Shea dan Sean.
“Mommy aku tak bermaksud seperti itu. Aku hanya…”
“Tak masalah Sean, apapun itu berpikirlah dengan pikiranmu sendiri. Bagi Mommy kau sudah sangat dewasa.” ucap Shea.
Shea bangkit berdiri lalu mendekati Putranya itu, bibir Shea singgah di puncak kepala Sean.
“Mommy tak pernah marah denganmu. Mommy sangat menyayangi Sean.” bisik Shea.
Sean menyelesaikan makannya.
“Mom, aku kembali ke kamar.” ucapnya dengan nada datar, begitulah sifat Sean.
Sean pergi membawa buku di tangannya.
Tiba-tiba mata Shea tertuju pada ponsel miliknya.
Untuk apa Sean memberikan ponsel pada Shea? Bukankah ponsel Shea sudah ditangan Aslan waktu itu?
Tampak Shea membuka ponsel itu.
Baru saja Shea melihat, malah ada biodata milik seseorang dengan nama Daniel dan Matthew.
“Apa ini?” tanya Shea bingung.
Merasa penasaran Shea langsung duduk lalu melihat semua isi ponselnya.
Beberapa saat setelahnya, Shea terkejut dengan semua yang baru saja ia baca.
“Sebentar…apakah Sean yang melakukan semua ini?” tanya Shea terkejut sekaligus penasaran.
Baru saja Shea bangkit berdiri dari posisinya, ia malah bertemu dengan Aslan.
“Sayang.” ucap Aslan.
Shea segera menyembunyikan ponselnya, bisa jadi Aslan mau mengambilnya lagi.
Aslan tampak menyipitkan matanya melihat reaksi Shea.
“Apa yang kau sembunyikan dariku? Lihatkan padaku Shea.” ucap Aslan.
“Tidak, bukan apa-apa… aku…”
“Daddy.” ucap seseorang yang tak lain adalah Sean.
Langkah Sean mendekat melihat wajah Aslan yang terkejut.
Sean menarik ujung baju Aslan.
“Bolehkah belikan aku sesuatu? Kata Mommy aku boleh berpikir apapun termasuk menyebut Uncle sebagai Daddy ku, selama Daddy kaya maka kau lebih baik dari apapun.” ucap Sean.
Aslan tercengang mendengar ucapan Sean.
Perlahan Aslan berjongkok di hadapan Sean.
“Katakanlah apa yang kau mau, dengan bayaran kau terus memanggilku Daddy.” ucap Aslan.
Ini kesempatan bagi Aslan mendekatkan dirinya pada Sean.
“Tolong berikan aku satu laptop dan juga ponsel yang baru.” ucap Sean membuat Shea angkat bicara.
“Sean. Apa maksudmu itu? Kau masih sangat kecil, itu bukan mainan untuk Anak kecil dan…”
“Mom, barusan Mommy mengatakan bahwa aku tampak dewasa. Aku hanya ingin bermain, lagi pula sekecil ini aku bahkan sudah bisa membaca buku.” ucap Sean.
Shea hendak mendekati Sean namun ia masih mengingat ponsel di tangannya, Aslan jelas tak boleh tahu hal itu.
Senyum Aslan terbit mendengar perdebatan Shea dan Sean.
Shea terlihat baik-baik saja kalau efek samping obat itu sedang tak mengusik Shea.
Terlihat Aslan menggendong Sean dalam gendongannya.
“Aron, belilah laptop dan juga ponsel terbaru. Jangan lupa pakaian Anak laki-laki bahkan pakaian perempuan.” ucap Aslan memberi perintah.
Aron langsung mengangguk patuh.
“Baik Tuan, saya akan langsung berangkat.” ucap Aron.
Seperginya Aron, Aslan malah menatap wajah Sean dengan posisi dekat seperti saat ini.
“Ternyata kau tak setampan aku, Uncle.” ucap Sean.
Aslan mengerutkan dahinya. Apa-apaan Sean, baru saja disetujui akan dibelikan laptop dan ponsel tampaknya Anak itu kembali memanggil Aslan dengan sebutan Uncle.
“Panggil aku Daddy.” ucap Aslan.
Sean menggeleng.
“Tidak akan.” balas Sean.
“Kau…”
Sean tiba-tiba berbisik dengan sangat pelan sampai Shea pun tak mendengar apapun.
“Aku hanya akan memanggil Daddy pada pria yang menikah dengan Mommy ku. Selama kau orang asing maka sampai kapanpun kau hanya Uncle yang baru aku kenal.” ucap Sean.
Aslan tak habis pikir melihat Sean bisa bicara dengan sangat menggemaskan layaknya orang dewasa.
Bibir Aslan membentuk seringai kecil.
“Akan aku kabulkan maumu bocah.” bisik Aslan pula.
Sean memberikan tatapan permusuhan saat Aslan menyebutnya bocah.
“Turunkan aku Uncle, aku perlu membaca buku ku.” ucap Sean.
Aslan menurut pada ucapan Sean.
Saat Sean sudah berdiri tampak tangannya meraih tangan Shea.
“Mommy milikku, aku tak suka Mommy berdekatan dengan Uncle. Jangan merebut Mommy dari sisiku, kau hanya bisa membuat Mommy ku bersedih.” ucap Sean.
Shea tersenyum mendengar ucapan Sean, tampak tangan Shea ditarik lembut oleh Sean menuju ke kamar.
Lihatlah, Sean bahkan membawa Shea ke kamar utama. Kamar yang harusnya ditempati oleh Aslan dan Shea.
Itu hanya harapan Aslan.
Aslan menggeleng pelan, kenapa mendadak hidupnya jadi berwarna? Aslan pikir ia akan mendapatkan penolakan yang hebat dari Sean, ternyata Anak itu malah terlihat mudah dibujuk.
Seorang pria mendekati Aslan.
“Tuan, apa Tuan sibuk? Kita sudah membuat beberapa cairan obat yang mungkin bisa mengatasi rasa sakit Nyonya Shea untuk beberapa saat.” ucapnya.
“Apa kau sudah yakin untuk itu? Apa Shea akan segera pulih?” tanya Aslan.
Pria itu ragu menjawab dan Aslan paham.
“Untuk saat ini cairan obatnya hanya untuk memenangkan rasa sakit Nyonya, tapi saya sangat yakin bahwa pemilik obat sebelumnya sudah pasti punya penawarnya pula.” ucap pria itu.
Aslan mengepalkan tangannya.
“Aku mengerti, aku akan segera menemui pria dengan nama Matthew itu.” ucap Aslan.
Pria itu menyerahkan satu botol cairan obat pada Aslan membuat Aslan menerimanya.
****
**
Sedangkan di sisi lain.
Arthur tersenyum memutar obat yang selalu Shea konsumsi selama ini.
“Shea, Shea. Andai saja kau tak terlibat maka kau akan baik-baik saja. Namun sayangnya Aslan jatuh cinta pada wanita rendahan sepertimu, kau melancarkan jalan yang sudah aku atur dengan baik.” ucap Arthur terkekeh kecil.
Pintu terbuka menampilkan seorang perempuan membawa secangkir minuman.
“Arthur, aku membawakanmu teh herbal.” ucapnya.
Ya, dia Inara Istri Arthur.
“Masuklah.” ucap Arthur.
Inara melangkah mendekati Arthur lalu meletakkan gelas itu ke meja.
“Kau tampak senang, apa yang membuatmu senang sekali? Aku dengar Daniel dan Matthew bertengkar di ruang kerjamu.” ucap Inara.
Arthur mengangguk, ia mengukir senyum.
“Ya, mereka bertengkar karena hal kecil. Lalu, aku memang sedang senang Inara. Semuanya berjalan dengan baik. Namun kebahagiaanku belum lengkap sebelum wanita yang sangat Aslan cintai mati, terlebih Sean yang berasal dari benih Aslan harus menjadi budak kecilku.” ucap Arthur.
Inara menatap wajah kepuasan Arthur.
“Arthur, apakah ini tidak berlebihan? Haruskah kau juga meniadakan wanita…”
“Ya, karena Aslan mencintainya maka dari itu wanita bernama Shea Marlove itu harus tiada.” ucap Arthur.
Inara mendekati Arthur, tangannya sampai ke puncak kepala Arthur lalu mengelusnya dengan lembut.
“Aku tahu ini dendam, aku pun sama denganmu. Aku juga membenci keluarga Maverick yang membuat kehidupan kita hancur tapi…”
“Inara, jika kita bertindak sudah pasti tak boleh hanya setengah jalan saja. Aslan berhak menderita atas dosa orang tuanya dan aku akan senang melihat Yumna menangis darah saat menyaksikan Aslan semakin jadi pemberontak bahkan melepaskan diri dari Keluarga Maverick.” ucap Arthur.
“Apa kau yakin untuk melukai Anak kecil bahkan Mommy dari…”
“Inara, aku tak peduli tentang meraka. Jangan lupa bahwa selama ini kita lebih menderita.” ucap Arthur.
Arthur bangkit berdiri, ia menarik Inara masuk ke pelukannya.
“Jangan terlalu banyak berpikir, biarkan aku yang menyelesaikan ini semua. Aku akan jadi pemenangnya, percaya denganku Inara. Ini adalah balas dendam terbaik.” ucap Arthur.
Inara hanya bisa membalas pelukan suaminya tanpa bisa mengubah keputusan suaminya itu.
****
Berbeda cerita dengan malam itu.
Shea membiarkan Sean tertidur pulas bersama elusan tangan Shea yang betah membiarkan Sean terlelap.
~Ceklek~
Pintu kamar itu terbuka, Aslan masuk dengan pakaian tidurnya.
“Sayang, malam seperti ini kenapa matamu masih terbuka hm?” tanya Aslan.
Aslan pikir Shea sudah tertidur, jika iya maka Aslan akan ikut tidur memeluk Shea namun dugaan Aslan salah.
“Lebih tepatnya aku tak mau tidur.” jawab Shea.
Aslan mendekati Shea sampai ia berdiri di sisi Shea.
Bahu Shea tampak disentuh Aslan lalu diusapnya pelan.
“Apa yang kau pikirkan hm? Apa kau cemas akan sesuatu?” tanya Aslan.
“Ya, aku takut jika aku terbangun maka aku kembali lupa pada banyak hal.” ucap Shea.
Tangan Shea terkepal, ia mengingat semua isi yang ada di ponselnya. Shea tak mau melupakan hal itu. Banyak sekali informasi disana mengenai Matthew, bahkan Matthew telah merencanakan pembunuhan pada orang tua angkatnya yaitu Aunty dan Uncle nya Jane.
“Jangan melamun Shea, aku kesini membawa obat yang lebih baik. Ini milik anggotaku, mereka membuatnya bahkan…”
“Apa aku tak akan melupakan segalanya jika disuntik dengan cairan itu?” tanya Shea.
“Mungkin saja.” balas Aslan membuat Shea memberikan lengannya pada Aslan tanpa ragu.
“Lakukanlah.” ucap Shea.
Shea meringis saat Aslan menyuntiknya, obat itu terasa perih saat masuk ke tubuh Shea.
Cup!
Aslan memberikan kecupan di bibir Shea kala mata Shea terpejam.
Senyum Aslan terukir.
“Aku mengantuk Aslan.” ucap Shea.
“Tidurlah sayang.” balas Aslan.
Shea merebahkan dirinya, ia memeluk Sean membuat Aslan ikut menyusul. Aslan memilih tidur disamping Sean, mereka seperti keluarga yang harmonis.
Bersambung…