Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidur bersama
Freya duduk di sofa ruang tamunya dengan gelisah, tatapannya terpaku pada layar ponselnya yang diam tak kunjung memberikan kabar. Dia menggenggam erat ponsel tersebut, seolah berharap kabar dari Tama akan segera muncul di sana. Di sampingnya, Leyla duduk tenang, mencoba memberikan ketenangan pada sahabatnya.
“Kamu yakin Tama nggak apa-apa, kan?” suara Freya terdengar bergetar.
Leyla menatap Freya dengan lembut. "Tenang, Freya. Tama pasti baik-baik saja. Dia pasti akan menyelesaikan masalah Nisa."
Freya menggigit bibirnya. “Aku takut keluarganya menjebak dia. Aku tahu ayahnya tidak suka aku. Dan Tama sendiri sempat bilang kalau hubungannya dengan keluarganya semakin buruk.”
Leyla menghela napas. Dia tahu kecemasan Freya bukanlah tanpa alasan. Hubungan Tama dengan keluarganya, terutama ayahnya, sudah lama tegang, terutama sejak perjodohan antara Tama dan Nisa dibatalkan. Tapi, Leyla juga tahu bahwa Tama adalah pria yang kuat, dan dia tidak akan mudah tunduk pada tekanan keluarganya.
“Freya, aku mengerti kamu khawatir. Tapi Tama sudah berjanji, kan? Dia nggak akan membiarkan keluarganya menghancurkan hubungan kalian. Percaya sama dia, ya?”
Freya mengangguk pelan, tetapi hatinya masih dipenuhi kecemasan. Ia takut jika keluarganya menekan Tama, memaksanya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya, bahkan mungkin memisahkannya dari Freya untuk selamanya.
Waktu berlalu, dan malam semakin larut. Freya masih duduk di tempat yang sama, menunggu kabar yang tak kunjung datang. Leyla pun tetap berada di sana, menemaninya tanpa henti. Sesekali, Leyla mencoba mengalihkan perhatian Freya dengan pembicaraan ringan, tapi Freya sulit untuk tidak memikirkan kemungkinan terburuk.
“Gimana kalau mereka jebak Tama?” gumam Freya pelan. “Aku nggak bisa bayangin kalau Tama tiba-tiba dipaksa menikah dengan Nisa, di sekap atau diancam untuk pergi jauh dariku.”
Leyla meraih tangan Freya, menenangkannya dengan sentuhan lembut. “Kamu nggak sendiri dalam hal ini. Tama tahu apa yang dia inginkan, dan kamu harus percaya bahwa dia akan melakukan yang terbaik untuk kalian berdua.”
Freya terdiam, hatinya berperang antara ketakutan dan harapan. Meski gelisah, ada secercah kepercayaan dalam dirinya bahwa Tama akan kembali dengan kabar baik. Tapi sampai saat itu tiba, dia hanya bisa menunggu, berdoa, dan berharap apa yang dia takutkan tak akan terjadi.
Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu apartemen terbuka. Freya yang sedari tadi gelisah, langsung bangkit berdiri. Jantungnya berdegup kencang, dan tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah pintu. Saat dilihatnya sosok Tama berdiri di ambang pintu, tubuhnya langsung bergerak memeluk pria yang selama ini ia rindukan.
"Tama ..." suara Freya teredam dalam pelukan, emosinya meluap tanpa bisa ditahan. Pelukannya erat, seolah tidak ingin membiarkan Tama pergi lagi.
Tama balas memeluk Freya dengan lembut, membiarkan kehangatan itu menenangkan kekasihnya. "Aku di sini, Freya. Maaf sudah bikin kamu khawatir," bisik Tama, menenangkan.
Freya akhirnya bisa bernapas lega. Melihat Tama di depannya dengan mata kepalanya sendiri, semua kekhawatiran yang mengikat hatinya seketika terlepas. "Aku benar-benar takut sesuatu terjadi padamu. Aku takut keluargamu ..."
Tama menyela dengan suara lembut. "Aku tahu. Tapi aku nggak akan membiarkan mereka memisahkan kita. Aku sudah berbicara dengan ayahku, meskipun ... hasilnya tidak mudah."
Freya melepaskan pelukannya sedikit, menatap wajah Tama dengan penuh harap. "Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Nisa?"
Tama menghela napas, terlihat lelah namun tenang. "Sangat parah. Nisa benar-benar sangat menderita. Dia melihatku tadi, aku hanya takut memberikan harapan palsu untuknya. Tapi aku sudah tegaskan kepada kedua orang tuanya tadi."
Freya menatap Tama dalam diam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Aku percaya sama kamu."
Tama mengusap rambut Freya lembut, lalu kembali memeluknya erat. Leyla yang menyaksikan momen itu dari kejauhan tersenyum lega. Akhirnya, sahabatnya bisa bernapas lega setelah segala kegelisahan yang menyelimuti hatinya.
Malam itu, setelah semua ketegangan dan kecemasan mereda, Freya dan Tama memutuskan untuk beristirahat. Keduanya berbaring di tempat tidur, dan Freya tidak melepaskan pelukannya dari Tama, seolah ingin memastikan bahwa dia benar-benar ada di sana bersamanya. Kehangatan tubuh Tama memberikan rasa aman yang sudah lama tidak Freya rasakan. Tangannya menggenggam lengan Tama erat, seakan-akan takut jika melepaskannya, Tama akan hilang.
“Aku nggak mau kamu pergi lagi,” bisik Freya di antara keheningan malam, suaranya lembut namun penuh emosi.
Tama menggeser tubuhnya sedikit, agar bisa lebih dekat dengan Freya, lalu membelai rambutnya dengan lembut. "Aku di sini, Freya. Aku nggak akan pergi ke mana-mana. Kamu bisa tenang sekarang."
Freya memejamkan mata, mendengar suara Tama yang menenangkan hatinya. Meskipun ada banyak hal yang masih harus mereka hadapi, keluarga Tama, tekanan dari luar, bahkan masa depan yang belum pasti, malam ini, hanya ada mereka berdua. Semua rasa takut dan gelisah yang menyelimuti hati Freya selama ini perlahan-lahan menghilang, tergantikan oleh kedamaian yang ia temukan dalam pelukan Tama.
Dalam keheningan malam yang penuh kehangatan itu, Freya akhirnya bisa tertidur dengan tenang, masih memeluk erat pria yang dicintainya. Tama memandang Freya yang sudah terlelap, lalu mengecup keningnya perlahan. "Aku janji, aku akan selalu di sini untukmu," bisik Tama pelan sebelum dia pun menutup matanya, membiarkan malam membawa mereka ke dalam mimpi yang lebih damai.
***
Sementara itu, di rumah Tama, suasana jauh berbeda. Rini, ibu Tama, sedang duduk di ruang tamu bersama suaminya, Arman. Wajah Rini terlihat tenang, tetapi di balik ketenangan itu, ada tekad kuat yang sudah lama ia pendam. Arman duduk di kursi berlawanan, wajahnya terlihat keras, masih menyimpan kekesalan karena Tama menolak perjodohan yang telah ia atur.
"Kamu harus menerima kenyataan, Mas," suara Rini memecah keheningan. "Tama sudah memilih Freya, dan itu adalah haknya. Kamu nggak bisa memaksakan kehendak."
Arman mendengus, menatap istrinya dengan tajam. "Dia memilih perempuan yang nggak jelas asal-usulnya. Keluarga kita sudah punya nama, Rini. Apa kamu nggak peduli sama reputasi kita?"
Rini menghela napas panjang, lalu memandang suaminya dengan tatapan lembut namun tegas. "Aku peduli, Mas. Tapi aku lebih peduli sama kebahagiaan anak kita. Kamu tahu Tama bukan anak kecil lagi. Dia sudah bisa memilih apa yang baik untuk hidupnya. Kalau kita terus memaksanya, kita hanya akan kehilangan dia."
Kata-kata Rini membuat Arman terdiam lebih lama. Dalam hatinya, ia tahu bahwa apa yang dikatakan istrinya ada benarnya. Tama memang semakin menjauh, dan setiap kali mereka bertemu, yang ada hanya ketegangan dan pertengkaran. Arman merasakan rasa bersalah yang perlahan-lahan menyelinap ke dalam hatinya.
"Kamu nggak ingin kehilangan anak kita, kan?" Rini melanjutkan, matanya kini penuh dengan kelembutan. "Freya mungkin bukan yang kamu inginkan, tapi dia adalah pilihan Tama. Kalau kamu benar-benar sayang sama Tama, kamu harus mulai menerima pilihannya."