Mencintai pria dewasa yang umurnya jauh lebih matang sama sekali tidak terbesit pada diri Rania. Apalagi memikirkannya, semua tidak ada dalam daftar list kriterianya. Namun, semua berubah haluan saat pertemuan demi pertemuan yang cukup menyebalkan menjadikannya candu dan saling mengharapkan.
Rania Isyana mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang sedang menjalani jenjang profesi, terjebak cinta yang rumit dengan dokter pembimbingnya. Rayyan Akfarazel Wirawan.
Perjalanan mereka dimulai dari insiden yang tidak sengaja menimpa mobil mereka berdua, dan berujung tinggal bersama. Hingga suatu hari sebuah kejadian melampaui batas keduanya. Membuat keduanya tersesat, akankah mereka menemukan jalan cintanya untuk pulang? Atau memilih pergi mengakhiri kenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18
Rania bergegas meninggalkan beranda, gadis itu berjalan cepat menuju kamarnya, lalu menguncinya rapat-rapat. Melempar tubuhnya ke ranjang dengan kepala sedikit berdenyut. Bisa-bisanya ia tidur dalam dekapan pria itu, memikirkannya saja rasanya sungguh aneh dan begitu ambigu, bahkan sekarang dirinya itu mempunyai pacar dan cukup setia.
"Yah sudahlah, nambah-nambahin pikiran aja, lagian nggak mungkin juga 'kan tuh domes suka sama gue, secara tuh cowok lagi galau, terus butuh ditenangin, please Rania, jaga jarak aman dan jangan baper," gumam Rania membentengi diri.
Biar bagaimana pun yang namanya bertemu setiap hari dalam intensitas yang begitu sering cukup menguji kesabaran hati dan perasaan. Saat ini dirinya bahkan tengah sibuk-sibuknya memikirkan tugas koas yang cukup membuatnya pusing dan tidak ada waktu untuk memikirkan asmara.
Gadis itu baru saja beranjak, hendak menyiapkan air untuk mandi teriba pintu kamarnya diketuk.
"Ra, tugas kamu hari ini mana Ra? Aku mau mandi!" pekik Rayyan dari balik pintu, lengkap dengan gedoran cukup keras.
"Bentar Dok, otw!" jawab Rania dari balik pintu. Rasanya sungguh membingungkan, apa iya betah dalam dua minggu ke depan, baru minggu pertama saja pria itu sedikit aneh dan kurang wajar.
Rania keluar dari kamar, menuju kamar Rayyan setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia langsung menuju kamar mandi, menyiapkan air hangat untuk pria itu.
Brak!
Rania hampir melompat kaget mendapati pintu kamar mandi yang tertutup dengan Rayyan ikut masuk ke dalam.
"Dok, jangan ditutup dulu, aku mau keluar!" ucap gadis itu sedikit meninggikan suaranya.
"Mandi sini aja Ra, kamu belum mandi 'kan?" ujarnya tersenyum tanpa dosa.
Owh no! Ini sudah tidak benar! Tenang Rania!
"Nggak boleh lah Dok, mandi bareng itu cuma buat pasangan yang sudah berlabel halal, sedang kita Dokter tahu sendiri 'kan? Bisa tolong minggir dari depan pintu, aku mau keluar!"
"Galak amad sih Ra, 'kan cuma nawarin, kalau nggak mau juga aku paksa! Hehehe." Pria itu nyengir tanpa dosa.
Sumpah demi apa pun saat ini Rania rasanya pengen nangis saja, takut lebih tepatnya.
"Ra, muka kamu pucet, kamu sakit?" Rayyan mengikis jarak, hendak memeriksa keningnya namun Rania menepis dengan kasar.
"Kenapa? Kok kasar gini? Aku cuma becanda Ra, aku tahu batasan kok," ucapnya lembut.
Rania tidak merespon, sedikit mendorong dada Rayyan berlalu melewatinya. Gadis itu sungguh kesal, ia merasa semua yang terjadi sudah kelewatan dan tidak benar.
Sementara Rayyan mandi, Rania menyiapkan pakaian ganti untuk pria itu lengkap dengan sepatu dan keperluannya. Setelahnya buru-buru Rania meninggalkan kamar Rayyan. Berjalan cepat menuju kamar pribadinya. Mandi dan bersiap-siap ke rumah sakit.
Gadis itu keluar dari kamar dengan tergesa, menuruni anak tangga dengan cepat berharap tidak bertemu dengan pria itu lagi pagi ini. Nihil, Rayyan bahkan sudah menunggunya di meja makan.
"Ra, sarapan dulu, aku udah beli bubur dua porsi, ini buat kamu," ucap pria itu perhatian.
"Makasih Dok, nggak usah, saya buru-buru dan harus segera sampai di sana."
Rania berjalan cepat menuju pintu utama, namun Rayyan sedikit berlari menarik tangannya dan membawanya ke meja makan.
"Nurut Ra, sarapan, aku minta maaf atas sikapku tadi yang kurang sopan, tolong jangan abai gitu aja, di rumah sakit tuh jadwal kamu padat, nanti kalau tidak sarapan kamu bakalan lupa karena saking sibuknya."
Ya, tentu saja semua dokter tahu, karena mereka mantan koas, susahnya sampai berdarah-darah, nangis-nangis dulu melewatinya, sehingga butuh support yang bagus dari orang sekitar.
"Nanti berangkatnya bareng sama aku, Ra, nggak ada penolakan!" ujar Dokter Rayyan sedikit maksa.
Malas berdebat membuat gadis itu akhirnya menurut dan pasrah. Rasanya minggu ini hidupnya dalam pengawasan orang, tidak bebas dan terlalu dapat banyak tekanan.
Rania segera menyuap bubur ayam dalam mangkuk yang telah disiapkan untuknya. Sebenarnya ia merasa risih ditatap sedemikian intens oleh seorang lelaki dewasa seperti sekarang ini yang telah Rayyan lakukan.
"Makan Dok, jangan lihatin aku terus!" tegur Rania sedikit kesal.
Rayyan bergeming, hanya mengalihkan tatapannya sebentar sebelum kembali lagi menatapnya begitu lekat, bahkan membuat yang ditatap bingung sendiri.
Mereka makan dalam diam, hingga isi dari mangkuk itu habis tak tersisa. Rania segera bangkit dari ruang makan, membersihkan mangkuk kotor miliknya lalu bergegas.
"Saya duluan Dok!" ujarnya beranjak.
"Ra, bareng aja Ra!" seru Rayyan menginterupsi.
Gadis itu sudah melesat cepat meninggalkan rumah, membuatnya tak sadar melupakan handphonenya di meja makan.
"Ra, handphonenya ketinggalan!" seru Rayyan berlari keluar.
Rania yang sudah keluar dari halaman berhenti lalu balik lagi mengambil apa yang tertinggal.
"Mana Dok saya buru-buru!"
Jovan calling