Nana, gadis pemberani yang tengah berperang melawan penyakit kanker, tak disangka menemukan secercah keajaiban. Divonis dengan waktu terbatas, ia justru menemukan cinta yang membuat hidupnya kembali berwarna.
Seorang pria misterius hadir bagai oase di padang gurun. Sentuhan lembutnya menghangatkan hati Nana yang membeku oleh ketakutan. Tawa riang kembali menghiasi wajahnya yang pucat.
Namun, akankah cinta ini mampu mengalahkan takdir? Bisakah kebahagiaan mereka bertahan di tengah bayang-bayang kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34 Hari terakhir kemo
Nana menatap langit-langit kamar rumah sakit yang putih bersih. Suara detik jam dinding terdengar jelas di ruangan yang sunyi. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang makin kencang. Hari ini adalah hari kemoterapi terakhirnya.
"Lo pasti bisa, Na," bisiknya pada diri sendiri.
Pintu kamar terbuka perlahan. Seorang perawat masuk dengan senyum ramah.
"Selamat pagi, Nana. Udah siap buat kemo terakhir?" tanya si perawat.
Nana mengangguk lemah. "Siap nggak siap sih, Mbak. Tapi gue harus kuat."
Perawat itu menepuk lembut bahu Nana. "Itu baru semangat! Yuk, kita mulai persiapannya."
Selama prosedur kemoterapi berlangsung, Nana memejamkan mata. Pikirannya melayang ke hari-hari pertama dia didiagnosis kanker. Rasanya baru kemarin dia nangis di pelukan mamanya, takut menghadapi masa depan yang nggak pasti. Tapi sekarang, setelah berjuang selama berbulan-bulan, dia ada di sini. Di ujung perjalanan panjangnya.
Nana membuka mata, memandang cairan kemo yang mengalir melalui selang infus. Dia tersenyum kecil, teringat kata-kata sahabatnya, Rara.
"Lo tuh kayak superhero, Na! Cairan kemo itu senjata rahasia lo buat basmi sel-sel jahat di tubuh lo. Bayangin aja lo lagi main game, mau ngalahin boss terakhir!"
Ingatan itu bikin Nana terkekeh pelan. Rara emang selalu bisa bikin dia ketawa, bahkan di saat-saat paling berat.
Setelah beberapa jam yang terasa panjang, akhirnya prosedur kemo selesai. Nana merasa lelah banget, tapi ada rasa lega yang nggak bisa dia jelasin.
"Nah, udah beres," kata perawat yang tadi. "Sekarang lo istirahat ya. Nanti sore dokter Andi bakal dateng buat cek keadaan lo."
Nana ngangguk dan memejamkan mata. Dia tenggelam dalam tidur tanpa mimpi.
Sore harinya, Nana terbangun oleh suara ketukan di pintu. Dokter Andi, dokter yang udah nangani Nana sejak awal, masuk ke kamar dengan ekspresi tenang dan profesional.
"Selamat sore, Nana. Bagaimana kondisi Kamu hari ini?" tanya Dokter Andi sambil duduk di kursi sebelah ranjang Nana.
Nana nyengir. "Capek sih, Dok. Tapi lega juga. Akhirnya kelar juga rangkaian kemonya."
Dokter Andi mengangguk. "Saya mengerti, Nana. Kamu telah melalui proses yang cukup berat. Saya mengapresiasi ketahanan dan semangat Anda selama pengobatan ini."
"Makasih, Dok," balas Nana, tersentuh sama pujian dokternya.
"Baik, sekarang saya akan menjelaskan tentang langkah selanjutnya," ujar Dokter Andi. Dia membuka map yang dibawanya. "Kita sudah menyelesaikan rangkaian kemoterapi. Tahap berikutnya adalah biopsi."
Nana menelan ludah. "Biopsi? Itu... buat mastiin kankernya udah ilang, kan?"
"Benar sekali," jawab Dokter Andi. "Kita perlu mengambil sampel jaringan untuk diperiksa. Jika hasilnya positif, artinya pengobatan Anda berhasil. Dalam kasus tersebut, Anda hanya perlu melakukan pemeriksaan rutin setiap tahun."
Nana terdiam sejenak, mencerna informasi itu. "Kalo... kalo hasilnya nggak bagus, Dok?"
Dokter Andi menatap Nana dengan serius. "Nana, saya akan menjelaskan dengan sejujurnya. Jika hasilnya kurang memuaskan, kita mungkin perlu mempertimbangkan opsi pengobatan alternatif. Namun," dia berhenti sebentar, "berdasarkan perkembangan Kamu selama ini, saya cukup optimis hasilnya akan positif."
Nana menghela napas panjang. Ada campuran perasaan lega, takut, dan harapan yang berkecamuk di dadanya.
"Kapan biopsinya dilakukan, Dok?" tanya Nana.
"Biopsi akan dilakukan minggu depan. Kita perlu memberikan waktu untuk tubuh Kamu pulih dari efek kemoterapi," jawab Dokter Andi.
Nana ngangguk. "Oke, Dok. Saya... saya akan mempersiapkan diri."
Dokter Andi memberikan senyum meyakinkan. "Kamu pasti bisa melalui ini, Nana. Anda telah membuktikan bahwa Anda memiliki kekuatan yang luar biasa."
Setelah dokter Andi pamit, Nana meraih HP-nya. Dia buka grup chat keluarga dan mulai ngetik:
"Guys, gue udah selesai kemo terakhir. Minggu depan bakal ada biopsi. Doain gue ya..."
Nggak sampai semenit, HP Nana udah banjir notifikasi. Pesan-pesan dukungan dan doa dari keluarganya bikin mata Nana berkaca-kaca.
Nana memandang ke luar jendela. Langit sore berwarna oranye keemasan, indah banget. Dia teringat betapa dulu dia takut nggak akan bisa lihat matahari terbenam lagi. Tapi sekarang, di sinilah dia. Masih berjuang, masih berharap, dan yang paling penting, masih hidup.
"Apapun hasilnya nanti," Nana berbisik pada dirinya sendiri, "gue udah bersyukur bisa sampai di titik ini. Dan gue nggak akan nyerah. Never."
Nana memejamkan mata, membiarkan kehangatan sinar matahari sore membelai wajahnya. Besok adalah hari baru. Hari di mana dia akan mulai persiapan untuk biopsi. Tapi malam ini, dia akan istirahat. Merayakan kemenangannya atas rangkaian kemoterapi yang melelahkan.
"Thanks, Tuhan," bisik Nana lagi. "Buat kekuatan. Buat harapan. Buat kesempatan kedua."
Dengan senyum kecil di bibirnya, Nana pun terlelap.
.
yuk kak saling dukung #crazy in love