Gilsa tak percaya ada orang yang tulus menjalin hubungan dengannya, dan Altheo terlalu sederhana untuk mengerti kerunyaman hidup Gilsa. Meski berjalan di takdir yang sama, Gilsa dan Altheo tak bisa mengerti perasaan satu sama lain.
Sebuah benang merah menarik mereka dalam hubungan yang manis. Disaat semuanya terlanjur indah, tiba-tiba takdir bergerak kearah berlawanan, menghancurkan hubungan mereka, menguak suatu fakta di balik penderitaan keduanya.
Seandainya Gilsa tak pernah mengenal Altheo, akankah semuanya menjadi lebih baik?
Sebuah kisah klise cinta remaja SMA yang dipenuhi alur dramatis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bibilena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flashback
"Kalian masih ingat tidak sama kasus kelas 10?"
"Yang grup chat itu?"
"Iya! Gilsa ternyata bayar guru untuk dapat modul materi pelajaran!"
"Hah? Kenapa harus sampai bayar segala? Itu kan kita catat di buku."
"Kamu percaya itu materi pelajaran? Pasti isinya kunci jawaban soal atau materi khusus."
"Wah, parah."
Kabar beredar secepat kilat, seolah diumumkan lewat mikrofon ruang jurnalis dan Gilsa menjadi sorotan hanya dalam beberapa detik. Dia sudah kembali dari ruang konseling, Pak Hans yang tadi mengajar menyelesaikan masalah dengan mengatakan akan memanggil Ayah Gilsa besok.
Benar, Gilsa mati hari ini.
Dia mengusak rambutnya yang sudah pendek dan berjalan dengan langkah kesal.
Masalah tak akan selesai hanya karena dia ditunda, justru malah makin membesar. Hampir satu sekolah tahu wajah Gilsa dan menuduhnya memakai orang dalam untuk mendapatkan juara umum. Beberapa kali dia berpapasan dengan murid lain dan reaksi mereka menunjukan bahwa mereka tahu siapa Gilsa. Gadis itu terus mengumpat dalam benak, dia habis hari ini. Bahkan di grup chat yang kemarin, orang-orang mulai beropini bahwa kabar itu benar dan Gilsa adalah orang teregois yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan nilai tinggi.
Image dia sudah seburuk itu sekarang.
"Hei, benar kamu pakai uang untuk mendapat nilai bagus?"
Gilsa baru datang ke kelasnya, dan orang-orang sudah seperti hyena yang melihat mangsa. Mereka mengerubunginya, menariknya ke tengah-tengah kelas lalu mendudukan Gilsa di salah satu kursi di sana. Hampir seluruh murid mengelilingi Gilsa saat ini.
"Kalian sungguh akan mengintrogasiku seperti ini?" Gilsa menatap wajah semua orang yang marah entah kenapa. Gadis itu tak merasa kemarahan mereka berdasar karena nilai itu, semuanya adalah hasil yang dia kerjakan tanpa curang sedikit pun.
"Kamu licik sekali."
"Gilsa, jujur saja, kalau begitu seharusnya yang juara 1 bukan kamu kan? Apa kamu tak kasihan dengan anak-anak yang kau rebut nilainya?"
"Sungguh, jangan jadi sejahat itu, Gilsa."
Gilsa menegakan tubuh dengan hembusan napas panjang yang keluar dari bibirnya.
"Sungguh, aku tidak membayar nilaiku, aku mengerjakan semuanya sendiri. Apa kalian pernah melihat aku menyontek atau berbuat curang selama ini?" tanyanya. Mereka semua menjadi diam. Itu kenyataannya memang, mereka langsung mendatangi Gilsa karena merasa tak adil tapi lupa bahwa selama ini mereka selalu mendatanginya ketika membutuhkan contekan atau bantuan mengerjakan soal. Selama ini tak pernah seorang pun melihat Gilsa berbuat licik saat mengerjakan tugas.
"Lalu modul itu apa?"
"Benar, kau ini pintar sekali berkilah."
Ah, Gilsa merasakan kepalanya sangat pening. Bagaimana dia menjelaskan ini?
"Ayahku membuatkannya untukku."
"Ayahmu?" Seseorang memojokannya dengan suara sinis. "Lalu kenapa kau beberapa kali pergi ke ruang guru dan kembali dengan membawa sebuah amplop cokelat?"
Gilsa terdiam.
Benar juga, ada hal sialan itu.
"Itu kunci jawaban kan?"
"Bisakah kau tidak menuduhku yang bukan-bukan?" Gilsa meninggikan nada suaranya. Air mukanya berubah marah.
"Terserah kalian mau berpikir apa, kalian tidak akan pernah membuktikan kecurigaan kalian karena memang itu tak pernah terjadi!"
•••
Gilsa untuk pertama kalinya dalam hidup mendapatkan tamparan di wajahnya, lebih daripada sakit, dia merasa lebih tak karuan karena pelaku tamparan itu adalah Ayahnya sendiri.
Selama ini seberapa benci Ayahnya pada Gilsa pria itu tak pernah main tangan.
"Apa yang kamu lakukan sampai terlibat hal seperti ini, Gilsa? Apa kau tak mendengarkan ucapanku kemarin?"
Gilsa hanya diam, menunduk dengan menangkup pipinya yang berdenyut.
"Meskipun kau memang tak melakukannya, tapi apa yang orang lihat adalah kau membawa barang itu! Kau benar-benar membuatku malu! Untuk apa mencari masalah lagi dengan mereka?! Kalau kau tak bisa menjaga diri kenapa kau melakukan hal ceroboh seperti ini?!"
Gilsa bisa menduganya bahwa Ayahnya tahu dia dijebak dengan rokok elektronik itu, tapi sebagai orang yang melihat dari perspektif berbeda, Ayahnya mungkin mengira masalah ini tak bisa dibersihkan dengan benar karena dia sudah terlanjur dilihat orang dengan cara yang salah. Sekalipun Gilsa memenangkan kasus itu, nama baiknya tak akan pernah kembali, justru semakin buruk.
"Apa gadis itu? Orang yang kau lindungi kemarin? Seharusnya kau mendengarkanku!"
"Tapi dia temanku." Gilsa menatap Ayahnya, pria itu memiliki ekspresi kecewa dan marah secara bersamaan.
"Lalu dimana dia sekarang? Apa dia melakukan sesuatu atau hanya mengandalkanmu?!"
Gilsa diam lagi.
"Meskipun kita berhasil membujuk mereka untuk mencabut laporan terhadapmu, sekolah tetap harus memberimu sanksi, Gilsa. Apa kau memikirkan hal ini?"
"Aku bisa membuktikan bahwa aku dijebak."
"Tak akan ada yang mempercayai bukti itu."
"Kenapa Ayah pesimis sekali?"
"Karena aku memiliki anak bodoh sepertimu. Andai saja kau laki-laki, atau andai saja kau tidak membunuh adikmu aku tak akan sepesimis ini."
Gilsa kehilangan kata, dia benar-benar kecewa dan jijik dengan pemikiran Ayahnya ini. Orang itu malah membahas hal ini lagi, tanpa melihat situasi.
"Apa hubungannya itu dengan semua ini, Ayah? Bisakah sekali saja jika kita bertemu kau tak membandingkanku dengan dia?"
"Selama kau selalu membuatku khawatir, aku tak akan bisa percaya dengan apapun yang kau lakukan."
Gilsa terdiam. Dia terlihat sudah muak dalam mengatasi keras kepala Ayahnya soal memandang rendah perempuan. Dia benar-benar tak tahu mengapa Ibunya bisa tahan dan menikahi pria ini.
"Kembalilah, biar aku selesaikan masalah ini besok."
Gilsa menatap nanar punggung yang menjauh itu.
"Tak usah, jangan berani-beraninya Ayah datang ke sekolah menjadi waliku."
"Kau bicara apa?" Pria itu berbalik lagi pada sang anak.
"Terakhir kali Ayah juga tak menyelesaikan apa-apa, jadi untuk apa Ayah sok heroik lagi kali ini? Pada akhirnya Ayah hanya akan mencari keuntungan sendiri."
"Gilsa, jaga bicaramu!"
"Aku tak peduli, kapan Ayah akan bersikap seperti orang tua yang sebenarnya?! Ayah selalu saja mementingkan bisnis dan keuntungan, seolah hidup hanya tentang itu. Lalu apa artinya aku? Kapan terakhir kali Ayah menganggapku anak? Apa Ayah bahkan mengunjungi Ibu di rumah sakit? Aku muak dengan semua yang Ayah lakukan!"
"Apa yang kau bicarakan? Apa pantas kau mengucapkan itu pada Ayahmu? Kau--"
"Aku tidak peduli! Ayah lihat saja aku akan menyelesaikan semua masalah ini tanpa bantuan Ayah sedikit pun! Jadi jangan berani-berani datang ke sekolah!"
"Gilsa!"
Gadis itu melenggang pergi ke luar ruang kerja Ayahnya tanpa menutup pintu dengan langkah cepat yang penuh amarah.