Terima atau tidak, mau tak mau manusia harus menerima kenyataan itu. Bahwa mereka terlahir dengan apa adanya mereka saat ini. Sayangnya manusia tak bisa memilih akan dilahirkan dalam bentuk seperti apa. Kalau bisa memilih, mungkin semua orang berlomba-lomba memilih versi terbaiknya sebelum lahir ke dunia.
Terkadang hal istimewa yang Tuhan beri ke kita justru dianggap hal aneh dan tidak normal bagi manusia lain. Mereka berhak untuk berkomentar dan kita juga berhak memutuskan. Mencintai diri sendiri dengan segala hal istimewa yang Tuhan tuangkan dalam diri kita adalah suatu apresiasi serta wujud syukur kepada sang pencipta.
Sama seperti Nara, yang sudah sejak lama menerima kenyataan hidupnya. Sudah sejak dua tahun lalu ia menerima panggilan spiritual di dalam hidupnya, namun baru ia putuskan untuk menerimanya tahun lalu. Semua hal perlu proses. Termasuk peralihan kehidupan menuju hidup yang tak pernah ia jalani sebelumnya.
Sudah setahun terakhir ia menjadi ahli pembaca tarot.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Dipa Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keyakinan
Memang benar jika hal baik tak selalu datang dalam waktu cepat dan dekat. Terkadang beberapa memerlukan kesabaran dan penantian yang cukup lama. Terkadang untuk mendapatkan sesuatu yang amat berarti memang ada hal yang perlu dikorbankan. Entah itu tenaga untuk menunggu, atau kesabaran untuk waktu yang lama.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin kalau hal baik akan datang padamu?" tanya Nara.
"Cukup yakini saja," jawab Baron secara gamblang.
"Seberapa yakin jika berada dan menjalani hidup di kota ini akan membuatmu jauh lebih baik?" tanya gadis itu lagi.
"Sepenuhnya. Aku yakin akan firasatku lebih dari apa pun," jelas Baron.
Nara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun, bukan pertanda bahwa ia setuju. Ia hanya memberi respon positif.
Tapi tidak bisa dipungkiri jika Nara cukup kagum dengan pola pikir pria itu. Bagaimana dia bisa mempercayai dirinya dan takdirnya sepenuhnya. Tidakkah ia merasakan keraguan, ketakutan, kejanggalan atau semacamnya. Sebab gadis ini selalu merasakan hal-hal tersebut. Ia tak pernah benar-benar percaya pada dirinya.
"Habiskan makananmu, kita akan pulang," ucap pria itu secara tiba-tiba.
Ia berhasil membuyarkan isi kepala Nara. Gadis itu langsung melirik ke arah jam tangannya. Benda kecil yang melingkar di sana masih menunjukkan pukul tujuh malam. Bahkan matahari baru benar-benar tenggelam.
"Kenapa cepat sekali?" protes Nara tak terima.
"Kau lupa berapa lama perjalanan dari daerah ini ke rumahmu?" tanya pria itu balik.
"Hampir satu jam," ucapnya.
Baron dengan sukarela mengingatkan gadis itu kembali jika ia lupa.
"Lalu apa kau lupa dengan janjimu untuk bertemu Dokter Hara?" interupsi Baron lagi.
"Sudah lah, cepat selesaikan makanmu!" pungkasnya di akhir.
Nara memutar bola matanya dengan malas. Ia paling tak suka jika diatur-atur seperti ini. Tak ada yang bisa mengatur dirinya selain ibunya sendiri.
"Kita harus sampai di rumah sebelum jam delapan," ucap Baron.
Pria itu sudah selesai makan sejak tadi. Entah kapan dan bagaimana caranya ia menghabiskan semua makanan itu. Sejak tadi Nara hanya melihat pria itu sibuk mengobrol dan mendengarkan ceritanya. Entah kapan ia selesai. Nara sama sekali tak menduga jika pria itu akan mendahuluinya. Dan sekarang malah mengaturnya.
"Aku sudah selesai," ucap Nara lalu menyingkirkan mangkuk sup miliknya.
Masih ada sedikit kuah lagi yang tersisa di sana. Namun, isian pelengkan supnya susah habis semua. Sehingga ia menganggap jika makanannya sudah habis.
"Habiskan kuahnya!" perintah Baron.
"Aku sudah kenyang," tolak Nara secara mentah-mentah.
Pria itu lantas menghela napasnya dengan kasar. Ia ingin memprotes balik perkataan gadis di hadapannya. Namun Baron sudah bisa menebak jika akhirnya alan terlalu panjang. Omelan Nara tak akan berhenti dengan mudah.
Tanpa pikir panjang dan juga tak ingin semakin memperkeruh suasana, Baron lantas segera mengambil mangkuk sup di hadapannya. Meneguk sisa kuah sup yang tersisa dan sudah tak begitu hangat lagi.
Pria itu berdiri lebih dulu, kemudian di susul oleh langkah Nara di belakangnya. Mereka berjalan menuju kasir untuk membayar tagihannya. Baik Nara mau pun Baron sama-sama membuka dompetnya. Keduanya memiliki keinginan yang sama besarnya untuk membayar.
"Berapa mas?" tanya Baron.
"Totalnya tujuh puluh lima ribu rupiah mas," ujar kasir tersebut.
Dengan cepat Baron mengeluarkan uang pecahan lima puluh ribu, dua puluh ribu dan lima ribu rupiah. Masing-masing sebanyak satu lembar. Jumlah yang pas dan sesuai dengan total pesanan mereka. Sehingga Baron tak perlu menunggu lama untuk diberi kembalian.
Sementara itu di sisi lain, Nara menatap pria di sebelahnya dengan tatapan kesal. Ia susah membuka dompetnya dan mengambil selembar uang seratus ribu rupiah. Namun dengan cepat Baron menghentikannya. Entah bagaimana caranya pria itu bisa tahu padahal dia sama sekali tak melihat ke sini.
"Ternyata insting alami seorang dukun benar-benar kuat," gumam Nara di dalam hatinya.
"Ya, begitulah kami hidup dengan menggunakan insting kami," ucap Baron secara tiba-tiba.
Sontak mata gadis itu terbelalak lebar. Ia melongo tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Menurutnya ini benar-benar gila. Baron benar-benar menggunakan insting alaminya dengan sangat baik.
"Apa kau baru saja mendengar isi hatiku?" tanya Nara dengan perasaan tak percaya.
"Memangnya bagaimana menurutmu?" tanya pria itu balik.
"Wahh…," balas Nara dengan penuh kagum.
Sejak tadi ia tak berhenti mengagumi Baron. Pria itu selalu saja memiliki terobosan terbaru dalam setiap aksinya. Ia sungguh benar-benar tahu bagaimana cara memikat hati lawan jenisnya tanpa perlu mengeluarkan usaha lebih.
"Ayo!" ajak Baron sesaat setelah ia menerima bukti pembayaran.
Tanpa menjawab atau bereaksi apa pun, Nara lekas membuntuti langkah pria itu dadi belakang. Ia masih merasa tak percaya jika Baron benar-benar bisa mengetahui apa isi hatinya. Di satu sisi itu sungguh luar biasa dan patut diapresiasi. Tak semua orang bisa melakukan hal yang sama. Namun, di sisi lain kemampuan itu juga memiliki dampak yang tak terlalu baik bagi Nara. Itu artinya Nara tak bisa lagi berbohong kepadanya. Karena pada dasarnya Baron sudah mengetahui segalanya sejak awal.
"Ini bus terakhir kita, jadi jangan sampai terlambat," peringati Baron.
"Masih setengah jam lagi," balas Nara sambil melirik ke arah jam tangan miliknya.
Jika berdasarkan jadwal di papan keberangkatan tadi, seharusnya Nara benar. Jadwal bus paling akhir yang berangkat dari halte ini masih setengah jam lagi. Mereka tak perlu terburu-buru. Lagi pula perjalanan ke halte dari kedai makan ini juga tak sampai sepuluh menit jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Namun Baron sepertinya tampak tak sabaran. Ia ingin lekas sampai di halte tanpa alasan yang jelas. Nara menyusul langkahnya dari belakang dengan tertatih-tatih. Sementara Baron sama sekali yak menghiraukan hal tersebut.
"Apa kau tidak bisa berjalan dengan santai saja?!" protes Nara.
Gadis itu sudah tidak sanggup mengimbangi langkahnya. Ia sudah tertinggal jauh dari pria itu.
"Arghh!" gerutu Nara kesal.
Baron sama sekali tak menghiraukannya. Gadis itu lantas memilih untuk berjalan santai di belakang Baron. Lagi pula ia masih hapal dengan jalanannya. Jadi tak perlu khawatir akan tersesat. Meski pun tertinggal jauh dari Baron, sama sekali tak menjadi masalah baginya. Ia bisa menemukan jalannya sendiri.
Nara membiarkan Baron untuk berjalan lebih dulu. Jauh di depannya.
"Nara!" sahut seseorang dari belakang.
Gadis itu lantas mengalihkan pandangannya ke belakang.
"Baron?" gumamnya.
Dahi gadis itu berkerut kebingungan. Kedua alisnya tampak menyatu. Ia jelas-jelas melihat jika Baron sudah berjalan di depannya tadi. Mengapa sekarang tiba-tiba berada di belakang, jauh tertinggal dari dirinya.