Bagi seorang anak baik buruknya orang tua, mereka adalah dunianya. Mereka tumpuan hidup mereka. Sumber kasih sayang dan cinta. Akan, tetapi sengaja atau tidak, terkadang banyak orang tua yang tidak mampu berlaku adil kepada putra-putri mereka. Seperti halnya Allisya. Si bungsu yang kerap kali merasa tersisih. Anak yang selalu merasa dirinya diabaikan, dan anak yang selalu merasa tidak mendapatkan kasih sayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
"Nah..., ini bajunya, coba kamu pakai" ucap Lia menyodorkan 4 pasang baju baru miliknya yang tadi siang di beli oleh wati kepada Mira, yang terdiri dari 2 pasang setelan tunik berwarna maroon dan Lilac, dan 2 pasang gamis berwarna hitam dan navi.
"Ok, kalau kakak maksa" ucap Mira seolah-olah tak butuh, sambil meraih baju tersebut dari tangan Lia dan mulai memakainya.
Melihat tingkah adiknya itu, Lia hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Cantik tidak kak?"
"Cantik, cocok sama kamu, kalau gitu baju itu buat kamu aja" Puji Lia kepada Mira yang tengah mencoba setelan tunik barwana Lilac.
"Makasih kakak cantik"
"Kira-kira kenapa ya mama, nggak belikan aku baju baru juga sama seperti kakak, padahal kan mama beli bajunya 4 pasang, kalau mama nggak mau kasih 2 untukku dan 2 untuk kakak, satu potong pun Mira nggak masalah kak. Yang penting ibu yang ngasih" sambung Mira, raut wajahnya yang tadinya bahagia kini berubah menjadi sedih.
"Elehhhh, ngapain ngarepin satu potong baju dari ibu, kalau kakakmu yang cantik ini bisa ngasih empat pasang sekaligus" sahut Lia, menghibur Mira.
"MMM, i love You kak"
"I love you"
"Kak"
"Iya"
"Gimana kalau aku pindah aja ke sekolah kakak?" Mira beranjak duduk disamping Lia, dan menatap Lia lekat-lekat, berharap Lia setuju dengan keinginannya tersebut.
"Kenapa?"
"Biar kita bisa bareng terus"
"Ngapain, orang kakak udah mau lulus kok"
"Tapi kalau aku sekolah tempat kakak, kemungkinan ibu bakal balik sayang sama Mira. Kerna ku perhatikan ibu berubah, semenjak Mira masuk SMP kak. Sepertinya ibu nggak suka kalau Mira sekolah di situ." Mata Mira berkaca-kaca memandang ke arah photo kelurga yang ada di dinding kamar. Melihat photo itu, rasanya ia ingin kembali menjadi anak kelas 1 SD, yang di peluk dengan kasih sayang oleh Wati.
"Siapa bilang? Ibu mana yang nggak bangga liat anaknya masuk sekolah unggulan, yang mana persaingannya sangat ketat di sana. Ibu itu bangga sama kamu Mira, kerna masuk sekolah unggulan, beda sama kakak yang otaknya nggak secerdas kamu."
"Tapi kenapa sikap ibu berubah sama Mira, ibu tu sering marah-marah sama Mira, suka cuekin Mira, kemarin saja pas penerimaan rapor ibu nggak mau ngambil rapor Mira"
"Nggak ada yang berubah Mira, ibu hanya sedang banyak fikiran saja. Kan kamu tahu sendiri kebutuhan pokok naik terus, jadinya ibu sering terbawa emosi. Mengenai pengambilan rapor kemarin, kan ibu memang lagi sibuk bantu-bantu di acara kenduri nenek, makanya ibu nggak bisa datang."
"Tapi emosinya hanya sama Mira aja kak, sedang sama kakak ibu nggak pernah tuh emosi"
"Siapa bilang, tadi pas cuci piring ibu marah sama kakak, minta bajunya dibakar aja"
"Ibu marah bukan karena kakak, tapi kerna aku. Ibu marah kalau bajunya kakak kasih sama aku"
"Sudahlah, jangan terlalu di fikirkan, ibu tu sayang sama kita, sayang sama kakak dan sayang juga sama Mira."
"Ibu cuman sayang sama kakak, hampir setiap saat Mira perhatikan kakak curhat curhatan sama ibu. Tapi kalau aku mau nimbrung ibu pasti menghindar pergi, atau menyuruhku yang pergi ntah kemana yang penting nggak ikut nimbrung sama kakak dan ibu. Kadang tiba-tiba disuruh ambil inilah ambil itulah, cuci piring lah, pokoknya ada saja yang dia suruh agar aku nggak bisa nimbrung sama kakak dan ibu. Padahal aku juga mau di dengarkan, aku juga mau ceritanya di dengarkan. Aku juga mau cerita gimana aku di sekolah, gimana hari hariku, aku juga mau ibu tahu, aku juga mau cerita, bukan hanya kakak saja." Ucap Mira kesal, seraya melepas baju yang tadi ia coba. Dan memasukkan semua baju yang diberikan oleh Lia ke dalam lemari kembali tanpa melipatnya terlebih dahulu.
"Sudah, kalau begitu sekarang cerita sama kakak, kakak dengarkan sampai pagi." Ucap Lia, beranjak dari tempat tidur mendekati Lia yang berdiri di depan Lemari.
"Sudahlah kak, aku ngantuk, mau tidur" ucap Mira menghindar dari Lia.
Mira pun berbaring di atas kasur dengan posisi membelakangi Lia, dan menarik selimut menutupi seluruh dirinya.
"Selamat tidur Mira, jangan lupa berdo'a, Allah tau yang terbaik" ucap Lia, kemudian ikut berbaring dengan posisi memunggungi Mira.
Mira mencoba memejamkan matanya, namun satu-persatu kata kata menyakitkan yang keluar dari mulut ibunya yang ditujukan kepadanya kembali terngiang ngiang di telinganya, seperti belati yang mengiris-ngiris hatiny. Sesak sekali rasanya, jika ia harus mengingat hal itu. Air matanya menetes membasahi bantal. Semakin lama tangisnya semakin menjadi. Ia mencoba menutup mulutnya agar suara tangisnya tak didengar oleh Lia. Pipinya rasanya sudah panas, karena sedari tadi tangannya melap kasar air matanya.
Namun, ternyata di balik selimut Lia mengetahui adiknya tengah menangis, tapi ia sengaja mendiamkannya, agar Mira lega meluapkan rasa sedihnya. Namun, suara tangis yang tertahan, semakin jelas terdengar di telinga Lia, yang membuatnya memutuskan untuk menenangkan adiknya.
"Kau menangis?" tanya Lia sambil memegang lengan Lia dari belakang.
Mira tak menjawab, ia hanya menggeleng saja.
"Kalau kau tak menangis, kenapa tak melihat kakak, kakak sedang ngomong sama kamu loh, nggak baik kalau orang ngomong di belakangi begini"
"Aku mau tidur, ngantuk" ucap Mira dengan suara parau karena menahan tangis.
"Sekali saja liat kakak" bujuk Lia
Tanpa menjawab Mira langsung bangun dan memeluk Lia, "aku capek kak, setiap hari di omelin mama, semua yang ku kerjakan salah, aku capek di beda- bedakan terus. Aku iri kalau kemana mana yang diajak cuman kakak, sedang aku tak pernah. Aku capek, aku capekkk kak" ucap Mira meluapkan tangisnya di pelukan Lia. Rasanya hanya bahu ini lah, yang mau menampung segala keluh kesahnya. Sudah hampir satu tahun ini, Wati berubah sikapnya kepada Lia. Entah apa sebabnya.
"Sabarrrr, ibu begitu kerna ia sayang sama Mira. Mira di suruh nyapu, di suruh masak, itu biar Mira jadi anak mandiri. Nggak seperti anak bungsu lainnya yang sering kali manja. Ibu mau Mira itu jadi anak bungsu yang mandiri, yang serba bisa," ucap Lia sambil mengusap usap punggungnya
"Tidak, ibu cuman sayang kakak, sedang ibu nggak sayang sama aku"
"Jangan ngomong gitu, ibu sayang sama kamu, buktinya ibu ngelahirin kamu, ibu ngerawat kamu, ibu biarkan kamu hidup, ibu nggak bunuh kamu, kalau ibu nggak sayang sudah pasti kamu sudah di bunuh saat masih bayi."
"Kalau begitu, mending aku memilih tidak di lahirkan, lebih baik aku di bunuh saja sewaktu bayi, daripada harus seperti ini"
"Istighfar Mira, istighfar "
"Ada apa ini malam ribut-ribut" ucap Wati datang ke kamar Lia dan Mira. Ternyata suara Mira terdengar sampai kamar orang tua mereka. Maklum saja, rumah mereka tidaklah luas.
"Siapa tadi yang ngomong lebih baik mati saja" sambung Wati bertanya dengan intonasi suara marah.
Mira dan Lia menunduk. Mira takut kalau dirinya akan di marahi oleh ibunya lagi, begitu pula dengan Lia, ia takut kalau ibunya marah kepada Mira.