Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.
Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.
Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HC 16
"Akhirnya aku bisa merasakan makan siang diluar bersamamu," tutur Efran setelah hidangan pesanannya disajikan. "Kenapa kau hanya memesan salad buah dan muffin, Del? Kau sedang tidak diet, 'kan?" Tambahnya penasaran.
"Tidak. Hanya sedang tidak selera dengan makanan berat aja."
"Kenapa keliatan murung seperti itu? Apa yang terjadi? Apa Rafael masih tidak bisa membuka hatinya untukmu?" Efran memotong steak yang ia pesan.
"Aku rasa memang sampai kapan pun dia tidak akan bisa membuka hatinya, Fran." Tutur Adeline seraya memainkan garpu yang berada dalam genggamannya.
"Kenapa begitu? Bukankah kau pernah bilang jika batu yang keras saja bisa hancur jika terus menerus terkena air? Lalu, apa sekarang kau menyerah menjadi air itu?" Kini Efran menatap Adeline yang terlihat tidak bersemangat. "Sudah hampir 6 bulan usia pernikahan kalian. Apa dia benar-benar tidak menunjukkan perasaannya sama sekali?" Tambahnya lagi.
"Ternyata sudah selama itu ya aku menikah dengannya?" Adeline tersenyum miris. "Semakin lama kami tinggal bersama, justru dia seperti seseorang yang selalu menghindariku. Dia seakan sedang berusaha untuk membangun dinding yang kokoh nan tinggi dan tidak membiarkan orang lain untuk meruntuhkan pertahanannya." Ucapnya lirih.
Tatapan sendu itu dilihat pertama kali oleh Efran, tatapan yang menyimpan luka dan ingin rasanya ia membawa wanita itu ke dalam pelukannya, namun ia tidak berani untuk melakukannya, bukan karena status Adeline yang sudah menyandang sebagai seorang istri, melainkan karena hal lain.
"Del, jika kau sudah merasa lelah dengan semuanya, beritahu aku. Jika kau ingin pergi dari kota bahkan negara ini, beritahu aku. Kirimkan pesan 'bawa aku', maka saat itu juga aku akan membawamu pergi sampai orang yang kau kenal tidak bisa menemuimu, bahkan Rafa sekalipun."
Adeline menatap Efran setelah mendengar pernyataannya. Kedua mata Efran seakan menegaskan bahwa yang di ucapkan olehnya adalah sebuah kebenaran. "Percayalah, Del. Jika kau terluka, ada orang yang lebih terluka lagi. Karena itu kau harus selalu bahagia." Efran tersenyum seraya mengusap puncak kepala wanita dihadapannya.
Jam makan siang yang sudah hampir selesai membuat Efran dan Adeline bergegas meninggalkan restaurant, lalu kembali ke rumah sakit. Saat keduanya hendak berjalan keluar, terlihat para pelayan restaurant seperti sedang sibuk dan saling berbisik ketika sebuah mobil terparkir didepan halaman restaurant tersebut.
Pintu masuk restaurant terbuka dan seorang pria beserta satu pria lagi membuat para pelayan wanita disana seakan sedang melihat seorang idol. "Kak Rafa?" Gumam Adeline spontan saat melihat pria yang baru saja memasuki restaurant yang sama dengannya.
Mencoba mengatur senyumnya, Adeline berjalan menghampiri pria itu. Efran sangat terkejut melihat respon Adeline yang tiba-tiba berlari ke arahnya, bukan hanya itu, dia juga terkejut saat dengan mudahnya Adeline merubah suasana hatinya.
Apakah senyum itu palsu? Ternyata adikmu sangat pintar melakukan sandiwara, ya. Jika saja kau melihat ini, kau pasti akan menghabisi Rafa dalam sekali tinju.
Selain Efran yang terkejut, para pelayan disana pun memiliki respon yang sama seperti Efran. Tidak sedikit dari mereka yang mencibir tindakan Adeline yang terkesan tidak sopan karena mendekati seorang pengusaha muda yang terkenal dikota tersebut.
"Setelah ini, tuan Rafa pasti akan menghubungi tempat kerjanya dan meminta managernya untuk memecat wanita itu." Celetuk salah seorang pelayan.
"Gadis bodoh. Apa dia sedang main-main dengan tuan Rafa kita?"
Rafael sedikit tidak menyangka akan bertemu dengan Adeline ditempat itu. Sedangkan Adeline yang sudah berdiri dihadapan Rafael hanya tersenyum sumringah, tapi tidak dengan Rafael.
"Kak, apa..."
"... maaf Del aku harus segera menemui client ku. Jika ingin bicara nanti saja." Ucap Rafael yang langsung berjalan melewati Adeline.
Rafael melihat keberadaan Efran yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri, dan ia hanya menatap Efran dengan tatapan tajam nan mengintimidasi.
Para pelayan di restaurant menahan tawanya melihat Adeline seperti sedang dipermalukan. Bagaimana tidak? Adeline menghampiri Rafael seolah dirinya kenal akrab, namun akhirnya harus dihiraukan oleh Rafael. Namun, Alvaro yang berada disisinya itu mematahkan tanggapan pemikiran orang-orang disana.
"Aku mencicipi masakan mu, lho. Tetapi tidak banyak, karena Rafa tidak pernah ingin berbagi bekalnya denganku. Lain kali bawakan satu ya untukku." Ucap Alvaro dengan nada yang sedikit ditinggikan agar orang-orang yang beranggapan negatif pada Adeline bisa segera bungkam.
Di kota Bern, bukan hanya Rafael semata yang terkenal, baik Alvaro dan Daren pun dikenal di seantero Bern, karena ketiganya di juluki sebagai Trio of Business.
**
**
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam waktu Bern. Alvaro dan Daren yang sudah memutuskan untuk pulang itu pun masih menatapi Rafael melalui kaca transparan ruangannya yang terlihat tidak ada tanda-tanda untuk pulang. Daren menatap rekannya dan mengangguk bersama.
Keduanya berjalan memasuki ruangan Rafael. Pria itu tampak sedang melamun seraya memandangi foto Rachel yang berada dalam bingkai yang selalu ditempatkan dimeja kerja pria itu. Meski kejadian tersebut sudah berlangsung lama, Rafael seakan tidak membiarkan kenangan tentangnya pergi meninggalkan ingatannya.
"Ini sudah malam, sebaiknya kau pulang. Beberapa hari ini kau terus pulang malam tanpa melakukan apapun disini." Daren membuka suara lebih dulu.
"Apa yang sedang kau pikirkan? Soal tender itu atau soal Rachel?" Kini Alvaro pun menyahut.
"Jika soal tender, kau tidak perlu begitu memikirkannya, Raf. Aku yakin strategi yang kita buat sudah sesuai dan aku sangat percaya jika kita bisa memenangkannya. Tapi jika ini menyangkut soal Rachel, bisakah kau membuka matamu? Pulanglah. Apa kamu tidak kasihan dengan Adel yang setiap malam menunggumu? Bagaimanapun dia adalah istrimu sekarang, terlepas kau mengakuinya atau tidak."
Enggan mendengar ocehan kedua temannya lebih banyak lagi, Rafael memutuskan untuk bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan ruangannya sekaligus dua sahabatnya. Pergi tanpa mengucapkan apapun hanya membuat kedua pria disana menghela napasnya secara bersamaan.
"Hati jika sudah dibutakan oleh cinta ya seperti itu. Pelangi indah didepan mata saja seakan tidak ada warnanya." Ucap Alvaro seraya mendesah kasar.
"Besar cinta Rafa lah yang membuat dia seperti itu." Balas Daren.
Diwaktu yang bersamaan, Adeline yang masih terjaga diruang tengah sedang harap-harap cemas menunggu kepulangan Rafael. Dirinya bahkan berjanji tidak akan tidur sebelum Rafael tiba dirumah.
Beberapa waktu ini, Rafael memang sering pulang larut malam, meski begitu, Adeline selalu membuatkan makan malam untuk suaminya dan walaupun dirinya selalu tertidur sebelum Rafael tiba, ketika pagi menjelang Adeline bisa melihat jika pria itu akan selalu makan masakannya tanpa meninggalkan sisa sedikit pun. Itulah kenapa ia tetap mau membuatkan makan malam untuk Rafael meski pria itu pulang larut sekalipun.