Di TK Pertiwi Masaran, Bu Nadia, guru TK yang cantik dan sabar, mengajarkan anak-anak tentang warna dengan cara yang menyenangkan dan penuh kreativitas. Meskipun menghadapi berbagai tantangan seperti balon pecah dan anak yang sakit perut, Bu Nadia tetap menghadapi setiap situasi dengan senyuman dan kesabaran. Melalui pelajaran yang ceria dan kegiatan menggambar pelangi, Bu Nadia berhasil menciptakan suasana belajar yang penuh warna dan kebahagiaan. Cerita ini menggambarkan dedikasi dan kasih sayang Bu Nadia dalam mengajarkan dan merawat anak-anaknya, menjadikan setiap hari di kelas menjadi pengalaman yang berharga dan penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan Tak Terduga
Setelah hari ulang tahun yang indah, Arman dan Nadia menikmati malam yang tenang. Mereka sedang duduk santai di ruang tamu, menonton televisi sambil berbicara ringan. Aldo sudah tertidur lelap di kamarnya, memberikan waktu untuk Arman dan Nadia menikmati momen kebersamaan mereka.
Namun, ketenangan itu tiba-tiba terusik.
Nadia, yang sedang bersandar di sofa dengan nyaman, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang aneh. Ada gerakan kecil di sekitar kakinya. Awalnya, dia mengira itu hanya rambut atau kain roknya yang bergesekan, tetapi perasaan itu makin jelas.
"Sayang, kok kayaknya ada yang gerak-gerak di bawah rok, deh," katanya sambil melirik Arman.
Arman yang sedang asyik menonton, langsung mengalihkan perhatian ke Nadia. “Hah? Apa maksudmu, Sayang? Mungkin cuma perasaanmu aja.”
Tapi sebelum Arman bisa melanjutkan perkataannya, tiba-tiba Nadia menjerit kecil, "Aaaah! Ada sesuatu yang masuk ke rokokku!"
Nadia langsung berdiri dengan cepat, wajahnya panik. "Sayang! Cepat! Cepat! Ada sesuatu di dalam rokokku!" teriaknya, sambil melompat-lompat panik.
Arman yang semula bingung, tiba-tiba melihat seekor kecoa keluar dari balik rok Nadia. Matanya terbelalak, menyadari apa yang sebenarnya terjadi. “Kecoa! Astaga, kecoa masuk ke rokmuuu!”
Arman langsung melonjak dari sofa sambil mencoba menahan tawa. Nadia berlari ke sana kemari di ruang tamu, berusaha menggoyang-goyangkan roknya agar kecoa itu keluar.
"Sayang, tolongin aku! Jangan cuma ketawa aja!" teriak Nadia, wajahnya campuran antara panik dan kesal.
Arman berusaha menahan tawanya, tapi gagal. Dia malah tertawa terbahak-bahak melihat Nadia yang melompat-lompat seperti orang kebingungan. “Hahaha! Sayang, kecoanya mungkin mau numpang, jangan galak-galak!”
Nadia tidak bisa menahan kesal, "Sayang! Serius, ini gak lucu!"
Dengan gesit, Arman akhirnya mendekat dan mencoba membantu Nadia. "Oke, oke, aku bantu, jangan khawatir," katanya sambil mendekat. "Coba tenang, biar aku lihat dulu."
Tapi sebelum Arman bisa berbuat banyak, kecoa itu muncul dari balik rok Nadia dan langsung terbang ke arah Arman. Sekarang giliran Arman yang kaget dan melompat mundur, wajahnya berubah pucat.
“Waaah, kecoanya terbang!” teriak Arman sambil melangkah mundur, membuat Nadia tertawa terbahak-bahak.
"Rasakan! Rasakan!" seru Nadia sambil masih tertawa, merasa sedikit lega melihat Arman juga panik.
Akhirnya, kecoa itu terbang keluar lewat jendela yang terbuka. Setelah suasana kembali tenang, mereka berdua terdiam sejenak. Arman duduk lemas di sofa, napasnya terengah-engah, sementara Nadia masih tersenyum geli.
“Wah, itu beneran kecoa yang luar biasa. Udah bikin kita panik seisi rumah!” kata Arman sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Nadia duduk di sebelahnya dan berkata sambil tertawa kecil, “Tapi lihat muka kamu tadi pas kecoanya terbang ke arahmu. Kamu lebih panik daripada aku, loh!”
Arman tertawa lagi, lalu memeluk Nadia. “Iya, iya. Kali ini kamu menang. Tapi tetap aja, kamu lucu banget tadi loncat-loncat kayak... kayak cewek ketakutan di film horor!”
Nadia hanya mencubit pinggang Arman dengan manja. "Dasar kamu, sukanya ngeledekin aku aja, Sayang!"
Setelah kejadian kecoa yang dramatis itu, mereka berdua kembali ke sofa, kali ini dengan tawa dan canda yang tak henti-hentinya. Meski malam yang tenang sempat kacau, mereka justru menikmatinya sebagai momen lucu yang akan selalu mereka ingat.
"Ini ulang tahun yang nggak akan pernah aku lupakan," kata Nadia sambil menyandarkan kepalanya di bahu Arman.
Arman tersenyum, "Ya, kecoanya juga pasti nggak bakal lupa hari ini. Hahaha."
Dan malam itu berakhir dengan tawa yang hangat, membawa mereka lebih dekat satu sama lain, meski lewat insiden yang tak terduga.
Kejadian Tak Terduga
Setelah insiden kecoa yang menyerang Nadia, malam seharusnya kembali tenang. Mereka berdua tertawa-tawa di sofa sambil mengenang betapa paniknya mereka sebelumnya. Aldo sudah tertidur lelap di kamar, meninggalkan Arman dan Nadia untuk menikmati waktu bersama.
Nadia menghela napas lega, menatap Arman dengan senyum kecil. "Sayang, itu kecoa tadi benar-benar bikin heboh ya."
Arman mengangguk sambil tersenyum lebar, masih terbayang momen kecoa terbang ke arahnya. "Iya, tapi lucu banget lihat kamu lari-lari panik. Kamu gemes banget, Sayang!"
Nadia hanya tersenyum manja, lalu menyenderkan kepalanya di bahu Arman. Namun, sebelum mereka bisa menikmati momen tenang itu, tiba-tiba Arman merasa ada sesuatu yang aneh di dekat mulutnya.
"Apa ini?" Arman meraba-raba wajahnya dengan tangan, tapi tidak menemukan apapun. Tapi saat ia membuka mulut untuk berbicara lagi, sesuatu terasa merayap di lidahnya.
Tanpa sempat berpikir, Arman langsung melompat dari sofa, tangan menutupi mulutnya. "Sayang, ada yang masuk ke mulutku!"
Nadia yang sedang santai mendadak panik lagi. "Apa? Apa yang masuk?"
Arman mencoba membuka mulutnya, tapi tidak bisa bicara dengan jelas karena lidahnya terasa geli. Tiba-tiba matanya melebar saat ia menyadari apa yang baru saja merayap di lidahnya.
“Kecoa!!” seru Arman, dengan suara tercekik.
Nadia langsung meloncat dari sofa, wajahnya pucat. "Hah? Kecoa? Masuk mulutmu?!"
Arman segera berlari ke kamar mandi, membuka keran dan langsung berkumur-kumur dengan air sebanyak-banyaknya. Suara kecipak air memenuhi ruangan, sementara Nadia berdiri di luar kamar mandi, bingung harus tertawa atau merasa jijik.
"Sayang, cepetan keluarin! Jangan ditelan!" Nadia berteriak panik.
Arman tidak menjawab, hanya terus berkumur dengan wajah tegang. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berhenti dan membasuh wajahnya. Dia menatap ke cermin dengan ekspresi ngeri, lalu berbalik ke arah Nadia yang masih menunggunya di luar.
Nadia memandang Arman dengan tatapan yang campuran antara panik dan ingin tertawa. “Kamu nggak apa-apa, Sayang?”
Arman, yang kini sudah lebih tenang, mengangguk. “Aku nggak apa-apa... tapi kecoanya tadi hampir aja... ugh!”
Nadia akhirnya tidak bisa menahan tawanya. “Hahaha! Ya ampun, kecoa yang sama atau kecoa lain lagi, Sayang?”
Arman menggeleng sambil tersenyum kecut. “Entahlah, mungkin itu saudara si kecoa yang tadi. Tapi serius, Sayang, ini benar-benar menjijikkan!”
Nadia tertawa semakin keras, sampai matanya berair. “Sayang, kamu beneran apes malam ini. Bayangkan, kecoa masuk ke mulutmu. Hahaha!”
Arman menatap Nadia dengan geli. “Ya, aku tahu ini lucu buatmu, tapi buatku ini mimpi buruk. Jangan sampai aku trauma gara-gara ini.”
Nadia menghampiri Arman dan menepuk pundaknya dengan lembut. "Hahaha, tenang, Sayang. Itu cuma kecoa. Lagipula, katanya kecoa itu sumber protein tinggi."
Arman menatap Nadia dengan ekspresi datar. "Sayang, tolong jangan bercanda soal itu sekarang."
Mereka berdua kembali ke ruang tamu, kali ini dengan hati-hati memperhatikan sekeliling. Meski perasaan ngeri masih menyelimuti Arman, tawa dan canda dari insiden tadi membuat mereka semakin dekat. Malam yang tenang berubah menjadi petualangan yang tak terlupakan.
"Ya ampun, Sayang... malam ini benar-benar aneh. Mulai dari kecoa di rokku, terus sekarang kecoa masuk mulutmu," ujar Nadia sambil mengelus pipi Arman dengan sayang.
Arman tersenyum, lalu memeluk Nadia erat-erat. “Iya, ini aneh, tapi selama kamu ada di sisiku, semuanya akan terasa lebih baik.”
Nadia tersenyum kecil, lalu membalas pelukan Arman. “Aku selalu di sini buat kamu, Sayang.”
Meski malam itu dipenuhi kejadian-kejadian tak terduga, keduanya akhirnya bisa duduk tenang di sofa, saling memandang dengan penuh kasih sayang. Mereka tahu, apapun yang terjadi, mereka akan selalu menghadapi segala tantangan bersama-sama—meskipun itu berarti melawan kecoa sekalipun.
Serangan Kecoa Lagi!
Malam yang tenang itu terasa damai setelah kecoa terakhir berhasil keluar dari mulut Arman. Mereka berdua akhirnya bisa bersantai, melepaskan ketegangan. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba terdengar jeritan dari kamar.
"AAAHHH!!"
Itu suara Aldo! Arman dan Nadia langsung berlari menuju kamar dengan panik. Di sana, mereka melihat Aldo yang duduk di atas tempat tidurnya, memegangi pahanya sambil menangis.
"Ada apa, Nak?!" tanya Nadia sambil melompat ke samping Aldo, mencoba memberikan kenyamanan.
Aldo terus menangis sambil menunjuk ke arah pahanya. "Kecoa, Ma! Kecoa gigit pahaku!" suaranya bergetar, seolah-olah dunia sudah runtuh di hadapannya.
Arman melihat ada kecoa yang masih menempel di paha Aldo, tampak dengan tenangnya bertengger di sana. "Oh tidak! Kecoa! Aldo, jangan bergerak!" Arman berteriak, berusaha tetap tenang.
Tanpa pikir panjang, Arman mencoba menyingkirkan kecoa itu dengan tangannya. Namun, kecoa tersebut tiba-tiba terbang dengan kecepatan kilat! "Astaga, terbang lagi!" seru Arman kaget.
Kecoa itu terbang liar di dalam kamar, dan sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, serangga itu mendarat tepat di wajah Arman. Arman terdiam sejenak, matanya membesar karena terkejut.
"Sayang, kecoanya di mukamu!" teriak Nadia, setengah ingin tertawa tapi juga panik.
Arman panik, mencoba mengibas-ngibaskan wajahnya untuk menyingkirkan kecoa tersebut. "Bentar, bentar! Aah, pergi kamu!" teriaknya sambil mengusap wajah.
Kecoa itu tampaknya lebih tertarik untuk berkeliling wajah Arman sebelum akhirnya terbang lagi—dan kali ini menuju leher Nadia!
"AAHH!!" jerit Nadia, memegang lehernya dengan kedua tangan, mencoba menyingkirkan kecoa yang dengan nyaman mendarat di sana. “Sayang, tolong!”
Arman yang masih sibuk membersihkan wajahnya, melihat kecoa itu menempel di leher istrinya. "Sial! Tunggu sebentar, Sayang!" Arman melompat ke arah Nadia, berusaha menyingkirkan kecoa itu, namun serangga tersebut malah berlari lebih cepat di sekitar leher Nadia, membuat Nadia semakin panik.
"Aaahh!! Geli!!" teriak Nadia lagi sambil melompat-lompat panik. Aldo, yang melihat orang tuanya heboh dengan kecoa, mendadak lupa akan rasa sakit di pahanya dan mulai tertawa terbahak-bahak melihat orang tuanya berlarian di kamar karena seekor kecoa.
"Papa, Mama! Kecoa itu lucu! Hahaha!" Aldo berusaha menahan tawa.
"Sini, Nak! Ini bukan saatnya tertawa!" Nadia berusaha mengingatkan, namun tawa Aldo tak bisa ditahan. "Iya, Aldo! Ini serius!" Arman menimpali sambil berusaha menangkap kecoa.
Akhirnya, kecoa itu terbang lagi, kali ini menuju lantai. Arman tak mau lagi kecoa itu membuat kekacauan, dan dengan sekali injak keras, dia berhasil membasmi kecoa tersebut.
Plak!
Kecoa itu kini tak bergerak lagi di bawah kaki Arman. Napas Arman dan Nadia terengah-engah setelah kejadian penuh adrenalin itu, sementara Aldo masih tertawa.
"Astaga, Sayang... kecoa itu kayak punya dendam sama kita ya," ujar Arman sambil mengusap keringat di dahinya.
Nadia mengangguk, masih terengah-engah dan memegangi lehernya. “Iya, kayaknya dia punya misi buat ganggu kita malam ini.”
Aldo, yang sudah mulai tenang, tiba-tiba berkata sambil tertawa. "Papa sama Mama lucu banget tadi! Hahaha!"
Arman dan Nadia saling pandang, lalu ikut tertawa geli. “Ya ampun, Sayang, kita diserang kecoa dan anak kita malah ketawa lihat kita ketakutan,” kata Nadia sambil mencubit pelan pipi Aldo.
"Nak, kamu jangan ketawa, ya! Kecoa itu kan mengerikan!" Arman berusaha berbicara serius.
"Iya, Papa. Tapi Papa sama Mama kelihatan kayak superhero yang melawan monster!" jawab Aldo sambil tertawa lagi.
Mendengar itu, Nadia tidak bisa menahan tawa. “Superhero yang ngorok dan takut sama kecoa, Nak! Kita tidak pantas disebut superhero!”
Arman tertawa lagi, “Iya, superhero gagal! Tapi yang penting kita selamat dari serangan kecoa itu.”
Setelah semua kembali tenang, mereka duduk di tepi tempat tidur, Aldo di tengah, sementara Arman dan Nadia saling berpegangan tangan.
"Ma, kok bisa sih kecoa itu masuk ke kamar kita? Apa dia mau jadi anggota keluarga?" tanya Aldo dengan polos.
Nadia tertawa geli. “Mungkin dia ingin ikut camping di sini, Nak. Kecoa juga butuh teman, kan?”
"Kalau gitu, kita kasih dia nama. Namanya Kecoa Joe!" Aldo berinisiatif, membuat Arman dan Nadia tertawa.
“Baiklah, kita resmi jadi keluarga Kecoa Joe! Tapi, kalau Kecoa Joe datang lagi, kita harus menangkapnya, ya!” ujar Arman sambil mengerutkan dahi.
“Iya! Kita tangkap Kecoa Joe dan kasih tahu dia bahwa dia tidak boleh mengganggu kita lagi!” jawab Nadia.
Mereka semua tertawa lagi, terbuai dengan imajinasi tentang Kecoa Joe. Namun, Aldo yang sudah mulai lelah tiba-tiba menguap.
"Papa, Mama, aku mau tidur lagi," ucapnya sambil mengusap mata.
“Iya, sayang. Tapi jangan lupa, jangan takut sama Kecoa Joe, ya!” Nadia menepuk punggung Aldo lembut.
"Enggak, Ma. Sekarang aku jadi pemberani! Kecoa Joe tidak akan pernah menang melawan aku!" Aldo menjawab dengan semangat.
Setelah Aldo tertidur lagi, Arman dan Nadia saling berpandangan, merasa lega bahwa malam itu akhirnya tenang kembali. Namun, kedamaian itu segera beralih menjadi kegembiraan.
“Sayang, kita harus bersyukur, ya. Kita bisa melewati semua ini dengan tawa,” kata Arman sambil tersenyum lebar.
Nadia mengangguk. “Iya, kita selalu bisa menemukan cara untuk melihat sisi lucu dari segalanya.”
Kemudian, Arman meraih tangan Nadia dan menggenggamnya erat. "Aku sangat mencintaimu, Sayang. Kecoa mungkin datang dan pergi, tapi kita tetap bersama, kan?"
Nadia tersenyum. "Tentu saja! Kita akan selalu bersama, menghadapi apapun, termasuk kecoa-kecoa nakal."
Malam itu, mereka berdua akhirnya bisa beristirahat dengan tenang, dikelilingi oleh tawa dan cinta, sambil mengingat betapa lucunya mereka menghadapi situasi yang tak terduga.
Suara Kuntilanak
Setelah malam yang penuh kegembiraan dan ketegangan dengan Kecoa Joe, Arman dan Nadia berusaha untuk tidur. Namun, suasana malam yang damai tiba-tiba berubah ketika suara aneh mulai terdengar dari luar jendela kamar.
"Sayang, suara apa itu?" tanya Nadia, membelai punggung Arman dengan lembut, sementara Aldo sudah tertidur pulas di samping mereka.
Arman menegakkan badan dan mendengarkan lebih teliti. Suara itu datang dengan nada melengking, seolah-olah ada yang merintih di kegelapan. "Sepertinya... suara kuntilanak, ya?" jawab Arman dengan nada bergetar, berusaha tetap tenang.
Nadia menatap Arman dengan mata membesar. “Kuntilanak? Kamu serius, Sayang? Ini malam yang tenang, kenapa jadi ada suara itu?”
"Aku juga nggak tahu, mungkin kita hanya kelelahan," Arman berusaha meyakinkan Nadia, meski di dalam hati dia pun merasa sedikit takut. Namun, suara itu semakin mendekat, dan terasa semakin jelas.
"Hiii hiiii hiiiiiii..." suara itu melengking dari luar, membuat bulu kuduk mereka merinding.
“Sayang, dengar itu! Suara itu tidak berhenti,” Arman berkata, suaranya mulai bergetar.
“Aku mau tutup jendela!” Nadia berdiri, berusaha melindungi diri. Namun, saat ia melangkah ke jendela, suara itu tiba-tiba menghilang, diikuti oleh keheningan yang mencekam.
Ketika mereka kembali mendengar suara itu, mereka merasakan ketegangan semakin meningkat. "Hiii hiiii hiiiiiii..." suara itu datang lebih dekat, seolah-olah ada yang mengawasi mereka.
"Sayang, kita tidak bisa terus begini! Kita harus melakukan sesuatu!" Nadia berkata dengan tegas, berusaha menjaga semangat.
Arman, yang sebenarnya juga merasa bingung dan takut, mencoba mengambil napas dalam-dalam. “Baiklah, bagaimana kalau kita cari sesuatu untuk membuatnya pergi?”
“Apa yang bisa kita lakukan?” Nadia bertanya, wajahnya menunjukkan kepanikan.
“Mungkin kita bisa baca doa? Atau nyalakan lilin?” Arman memberikan saran.
“Ya, kita butuh sesuatu! Ayo kita cari!” Nadia berkata sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar. Mereka berdua mulai mencari-cari di dalam kamar, mengumpulkan lilin dan dupa yang tersisa dari perayaan sebelumnya.
Sementara itu, suara kuntilanak semakin mendekat, membuat hati mereka berdebar. “Hiii hiiii hiiiiiii…” Suara itu seolah meresap ke dalam pikiran mereka, membuat perasaan takut semakin dalam.
“Sayang, kita tidak bisa terus begini! Kita harus keluar, kita harus melihatnya!” Arman merasa adrenalin bergejolak. “Kalau tidak, kita akan terus terjebak dalam ketakutan!”
“Aku tidak mau!” Nadia merengut, namun di dalam hatinya, rasa ingin tahunya mulai muncul.
“Tapi kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawab Arman, berusaha meyakinkan Nadia.
Setelah berdebat sejenak, mereka memutuskan untuk perlahan-lahan membuka pintu kamar. Dengan hati-hati, mereka melangkah keluar, mengendap-endap menuju sumber suara.
Ketika mereka sampai di teras, mereka melihat bayangan putih di kejauhan, berdiri di antara pepohonan. Suara itu semakin jelas, terdengar melengking seolah memanggil.
“Di mana dia?” Nadia bertanya, matanya melirik ke sekeliling.
Tiba-tiba, bayangan putih itu bergetar dan kemudian menampakkan sosok yang sangat mirip dengan seorang wanita, mengenakan gaun putih panjang, rambutnya tergerai.
“Hiii hiiii hiiiiiii…” suara itu terdengar lagi, membuat Arman dan Nadia tertegun.
“Siapa kamu?” Arman bertanya, berusaha menahan rasa takutnya.
“Ini… ini hanya mimpi,” suara itu menjawab pelan. “Aku tidak ingin mengganggu.”
Nadia merasa bingung, “Jadi kamu bukan kuntilanak?”
Sosok itu menggeleng. “Aku adalah penjaga tempat ini. Tidak ada yang perlu ditakutkan.”
Akhirnya, Arman dan Nadia saling berpandangan, merasa lega. “Jadi kamu hanya ingin memberikan peringatan?” tanya Arman.
“Ya. Terkadang suara-suara ini muncul untuk mengingatkan,” jawab sosok itu.
“Mengingatkan tentang apa?” Nadia penasaran.
“Bahwa setiap malam memiliki ceritanya masing-masing. Dan kalian harus menghargai waktu yang kalian miliki bersama,” sosok itu menjelaskan.
Akhirnya, setelah mendengar penjelasan itu, Arman dan Nadia merasakan ketegangan di antara mereka mereda. Mereka berterima kasih kepada sosok itu dan menyadari bahwa malam ini bukan hanya tentang ketakutan, tetapi juga pelajaran tentang cinta dan kebersamaan.
“Terima kasih atas pengingatnya, Sayang,” kata Nadia dengan tulus.
Sosok itu tersenyum lembut sebelum menghilang ke dalam kegelapan. Arman dan Nadia berdiri di teras, merasakan kedamaian yang baru.
“Kita harus lebih menghargai waktu bersama, Sayang,” ucap Arman sambil merangkul Nadia.
“Iya, aku setuju, Sayang,” jawab Nadia, tersenyum, merasa lebih tenang.
Dengan perasaan lega, mereka kembali ke dalam kamar, siap untuk tidur, mengabaikan semua ketakutan yang pernah ada. Aldo tetap tertidur pulas, sementara Arman dan Nadia saling berpegangan tangan, bersyukur atas malam yang penuh pelajaran.
Waktunya Kelon
Setelah malam yang menegangkan dengan suara kuntilanak, Arman dan Nadia kembali ke dalam kamar. Suasana sudah tenang, dan Aldo masih terlelap di tempat tidurnya. Arman mematikan lampu dan hanya menyisakan cahaya remang-remang dari lampu tidur, menciptakan suasana hangat dan intim.
“Sayang, aku ingin waktu kita berdua,” kata Arman sambil memeluk Nadia dari belakang, menciptakan kenyamanan di antara mereka.
Nadia merasakan sentuhan lembut Arman dan membalas pelukan itu. “Iya, aku juga kangen,” jawabnya dengan nada mesra. Ia membalikkan badannya dan menatap wajah Arman, merasakan kehangatan di dalam hatinya.
Arman memperhatikan wajah Nadia, matanya yang bercahaya dalam kegelapan membuat hatinya berdebar. “Kamu tahu, setelah semua yang terjadi, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu,” katanya dengan lembut.
“Setuju. Rasanya kita sudah melalui banyak hal malam ini, ya,” Nadia menjawab sambil tersenyum. “Sekarang, saatnya kita menikmati momen ini.”
Tanpa ragu, Arman mendekatkan wajahnya ke wajah Nadia, merasakan aroma wangi dari rambutnya yang tergerai. “Kamu selalu membuatku merasa tenang,” ucapnya.
“Dan kamu selalu tahu bagaimana cara membuatku merasa istimewa,” balas Nadia sambil tersenyum.
Arman menggenggam tangan Nadia, jari-jarinya melingkari jemari lembut Nadia. Ia merasakan jantungnya berdegup kencang. Dalam momen intim itu, mereka saling tatap, merasakan getaran yang sama di antara mereka.
“Kita harus menjaga hubungan ini, Sayang,” Arman berkata dengan penuh keyakinan.
“Pastinya. Aku tidak ingin ada yang merusak momen-momen seperti ini,” Nadia menjawab, kemudian ia menggigit bibirnya dengan genit.
Arman tidak bisa menahan diri. Ia mengarahkan wajahnya lebih dekat, dan tanpa ragu, ia mengecup lembut bibir Nadia. Ciuman itu penuh kasih sayang, menyalurkan semua kerinduan yang terpendam di hati mereka. Nadia membalas dengan penuh cinta, merasakan semangat yang membara di dalam dirinya.
“Mmm, kamu tahu bagaimana cara membuatku terbakar, ya?” Nadia berbisik, matanya berkilau penuh semangat.
Arman tersenyum nakal, “Oh, ini baru permulaan, Sayang.” Dia menggoda, lalu mulai mengecup leher Nadia perlahan.
Nadia merasakan sensasi hangat mengalir di seluruh tubuhnya, membuatnya ingin lebih dekat dengan Arman. “Ayo, kita nikmati momen ini sepuasnya,” kata Nadia dengan suara bergetar, semangatnya semakin berkobar.
Dengan gerakan lembut, Arman menarik Nadia lebih dekat, merangkulnya dengan penuh gairah. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak merangsang Nadia, dan tanpa sadar, tangannya mulai menjelajah punggung Nadia, merasakan kehangatan kulitnya.
“Sayang, ini terasa sangat baik,” Nadia berkata sambil menutup mata, menikmati setiap detak jantung yang berdentum kencang.
Arman melanjutkan dengan lembut, merasakan detak jantungnya berpadu dengan detak jantung Nadia. Dalam suasana intim itu, mereka saling membiarkan rasa kasih sayang mengalir.
“Setiap detik bersamamu adalah berkah,” kata Arman sambil memandang dalam mata Nadia, mencoba menyampaikan perasaannya yang mendalam.
Nadia tersenyum lembut, “Dan aku tidak ingin kehilangan momen seperti ini.” Ia menambahkan dengan lembut, “Ayo kita buat kenangan malam ini menjadi yang tak terlupakan.”
Arman mengangguk setuju. Ia mencium kening Nadia dengan penuh kasih sayang, merasakan kedamaian di hatinya. “Kita akan selalu membuat kenangan indah, sayang,” katanya.
Nadia merasakan kebahagiaan yang meluap, dan dalam momen itu, mereka berdua saling berpelukan erat. Arman menggenggam tubuh Nadia, menghangatkan suasana di antara mereka.
“Malam ini kita bisa bercerita hingga larut malam, bagaimana?” Arman mengusulkan dengan antusias.
“Ide yang bagus! Cerita apa yang ingin kamu bicarakan, Sayang?” tanya Nadia, penasaran.
“Aku ingin mendengar semua impian dan harapanmu untuk kita ke depan,” jawab Arman dengan serius.
Nadia merenung sejenak, “Aku ingin kita membangun keluarga yang bahagia, membesarkan Aldo dengan penuh cinta, dan mungkin suatu saat nanti, memiliki lebih banyak anak.”
Arman mengangguk dengan penuh perhatian. “Aku juga ingin itu, sayang. Kita akan melewati semua tantangan bersama.”
Setelah berbagi impian, mereka melanjutkan dengan canda tawa, membahas hal-hal lucu yang pernah terjadi dalam hidup mereka. Ketika momen berlanjut, kedekatan fisik dan emosional mereka semakin dalam, seolah semua ketakutan dan kekhawatiran lenyap dalam pelukan mesra.
Malam semakin larut, namun mereka berdua tidak merasa mengantuk. Canda tawa di antara mereka membuat suasana semakin hangat, dan akhirnya, tanpa disadari, Arman dan Nadia semakin tenggelam dalam cinta mereka.
“Sayang, aku ingin kamu tahu satu hal,” kata Nadia tiba-tiba, membuat Arman menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Apa itu?” tanya Arman.
“Aku mencintaimu lebih dari yang bisa kamu bayangkan,” jawab Nadia dengan tulus, membuat hati Arman berdegup kencang.
“Dan aku mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku,” Arman membalas dengan penuh keyakinan, menyatakan perasaannya yang sebenarnya.
Ketika mereka berdua saling tatap, merasakan ikatan yang semakin kuat, mereka tahu bahwa malam ini adalah sebuah kelon, pelukan mesra yang akan selalu mereka ingat. Dan malam itu, mereka berdua tidak ingin mengakhiri kebersamaan, hingga mereka terlelap dalam pelukan satu sama lain, dikelilingi oleh cinta yang tak terbatas.