Trap Of Destiny

Trap Of Destiny

Lantai Terbengkalai

Hari ini kedai sedang ramai-ramainya karena akhir pekan. Banyak orang yang menghabiskan akhir pekan mereka di luar rumah. Berbeda dengan Nara, alih-alih menghabiskan waktu akhir pekannya dengan bersantai, ia malah mengurus kedai bersama ibunya. Menurutnya mendatangkan uang jauh lebih penting daripada menghabiskan uang.

TING!

TING!

TING!

Gadis itu langsung mengarahkan matanya ke arah sumber suara. Ada tiga pelanggan baru yang datang secara bersamaan. Ini berarti tiga keuntungan sedang menghampirinya. Tanpa basa-basi, ia lekas menghampiri ketiganya. Tapi sepertinya mereka bukan teman. Hanya kebetulan saja datang di saat yang bersamaan. Kelihatannya dua orang yang duduk di dekat pintu adalah sepasang kekasih dan sisanya tidak memiliki teman. Dia sengaja datang sendiri kemari.

"Selamat siang!" sapa Nara kepada sepasang kekasih itu.

"Ingin pesan apa?" tanya nya kemudian.

Si gadis yang sedang duduk itu menatap papan menu agak lama. Sambil memutuskan ingin memesan apa. Sementara pasangannya memesan lebih dulu. Wanita memang selalu begitu. Butuh banyak pertimbangan sebelum memutuskan sesuatu. Bahkan untuk hal terkecil sekalipun.

"Ayam goreng dengan saus pedas satu dan soda ukuran sedang satu," kata pria itu.

Nara kemudian mengangguk sambil menunggu gadis itu mengatakan pesanannya.

"Samakan saja pesananku dengannval" pungkas gadis itu.

"Baiklah," jawab Nara sambil tersenyum ramah.

Ia membaca ulang pesanan mereka untuk memastikan jika tidak ada yang keliru. Baru setelah itu ja akan memberikannya kepada ibunya untuk segera diproses. Mereka tak suka untuk membuat pelanggan menunggu terlalu lama. Semakin baik mereka melayani pelanggan, maka akan semakin betah pelanggan untuk datang kemari. Itu adalah salah satu faktor yang mendukung kelancaran bisnis mereka selain rasa makanannya yang sedap.

"Bu ayam goreng dengan saus pedas dan soda ukuran sedang! Masing-masing dua porsi!" celetuk Nara didepan meja kasir.

Dengan sigap, ia kembali pergi menghampiri seorang pria yang memilih untuk duduk di sudut ruangan sendirian.

"Selamat siang!" sapa Nara.

"Ingin pesan apa?" tanya nya kemudian.

"Ayam goreng original dan soda ukuran kecil satu," kata pria itu.

"Baiklah, ada tambahan lagi?" tanya Nara memastikan

"Tidak itu saja," jawabnya.

Nara lantas mengangguk kemudian meminta ibunya untuk segera memproses pesanan, yang terbaru.

Kesibukannya selama dua tahun belakangan ini selalu seperti ini, la menjalani rutinitas yang itu itu saja. Tak bisa dipungkiri jika ia sebenarnya merasa bosan dan ingin keluar dari zona nyamannya. Namun takdir mengatakan tak bisa. Mau bagaimana lagi. Mau tak mau, ia harus menerimanya.

Kini setiap pagi hingga jam makan siang, Nara harus membantu ibunya mengelola kedai milik keluarga mereka. Jika mempekerjakan karyawan dari luar, ibunya tak yakin jika bisa memberikan upah yang layak bagi mereka. Bisnis ini sudah berjalan sejak lama sebenarnya, namun tak pernah berkembang. Hanya begitu begitu saja. Tapi setidaknya ini cukup untuk menghidupi Nara dan keluarganya. Kehidupan mereka bergantung pada kedai ini sejak bertahun-tahun lalu.

"Ini pesanan anda," kata Nara lalu menata pesanan pria tersebut.

"Terima kasih," jawabnya.

Sambil tersenyum tipis. Nara kemudian, beranjak pergi. Ada beberapa pelanggan baru yang harus ia proses pesanannya. Kembali ke prinsip mereka tadi, bahwa tidak boleh membuat pelanggan menunggu terlalu lama.

Namun belum sempat ja beranjak dari sana, pria itu langsung menarik salah satu tangannya yang terulur. Membuat gadis itu jadi menghentikan langkahnya, secara tiba-tiba.

"Ada tambahan lagi?" tanya gadis itu dengan inisiatif.

Pasti setidaknya ada satu alasan yang membuat pria barusan menarik tangannya.

"Ku dengar ada kamar yang disewakan di gedung ini, boleh aku tahu lebih banyak soal itu?" tanya pria itu.

"Oh, tentu saja!" jawab Nara semangat.

Ada satu kamar di lantai tiga yang kebetulan kosong. Jadi kami menyewakannya. Lebih tepatnya kami menyewakan satu lantai itu kepada siapapun," jelas gadis itu.

"Sebab, lantai tiga jarang digunakan dan kebetulan kondisi kamarnya masih bagus," tambahnya.

"Berapa harga sewanya?" tanya pria itu.

"Hanya lima ratus ribu rupiah saja untuk setiap bulannya," jawab Nara.

Untuk sebuah kamar di daerah pinggiran kota, harga lima ratus ribu rupiah masih terbilang miring.

"Tapi anda boleh melihat-lihat lebih dulu jika mau," tawar Nara.

"Boleh, bagaimana jika setelah aku selesai makan kita lihat?" tanya pria itu.

"Tidak masalah, anda bisa memanggilku nanti kalau sudah selesai," ungkap Nara lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.

Baron baru saja pindah ke kota ini kemarin. Bahkan barusaja sampai kemarin malam, jadi ia memutuskan untuk menginap di hotel terdekat sementara waktu. Oleh sebab itu, ia harus menemukan tempat tinggal dalam waktu secepatnya. Baron tahu kalau pindah ke tempat lain tanpa tahu tujuan merupakan hal yang bodoh.

"Bu, pria yang duduk di ujung sana ingin melihat-lihat kamar ysng kita sewakan," ucap Nara.

"Sungguh?" tanya wanita itu tak percaya.

Nara kemudian mengangguk, mengiyakan perkataan ibunya barusan.

"Baiklah, kalau begitu nanti antarkan dia untuk melihat-lihat ruangannya ya!" perintah wanita itu.

"Iya bu," jawab Nara singkat.

Sebenarnya mereka sudah membuka iklan di depan kedai jika lantai tiga di sewakan dengan harga miring. Tapi, sejak tiga bulan lalu tak ada peminatnya. Seharusnya mereka merasa tertarik. Selain karrna harganya yang miring, lokasinya juga strategis. Tapi ternyata reaksi masyarakat malah sebaliknya. Tidak ada satupun dari mereka yang merasa tertarik. Baru hari ini ada yang bertanya sejak pertama kali iklan di pasang.

"Berapa total pesananku?" tanya Baron sambil berdiri di depan kasir.

"Semuanya tiga puluh ribu saja," kata Ibu Nara.

Baron lantas mengeluarkan beberapa lembar uang dengan pecahan pas. Sehingga ia tak perlu menunggu terlalu lama untuk kembalian.

"Kalau boleh tahu, dimana gadis yang bekerja di sini tadi?" tanya Baron.

"Oh? Apakah anda orang yang ingin melihat-lihat lantai tiga?" tanya wanita itu ingin memastikan.

"Ya, benar," jawab Baron.

Tanpa pikir lama, wanita itu segera memanggil Nara yang sedang mencuci piring di belakang. Kebetulan kedai sudah sedikit sepi, jadi ibunya bisa mengatasi semua pesanan sendirian.

"Temani tuan ini melihat-lihat lantai tiga ya," kata Ibu Nara.

Nara berjalan lebih dulu di depan Baron. Menunjukkan arah bagi pria itu. Pertama kali Baron kemari, suasana tempatnya memamg sedikit berbeda dengan lantai satu tempat kedai berada.

Mungkin karena sudah terbilang jarang digunakan, jadi terlihat sedikit tidak terurus. Tapi ini juga tidak terlalu buruk. Tidak kotor juga. Hanya perlu lebih banyak pencahayaan. Baron yakin jika jendelanya selalu dibuka, pasti akan jauh lebih terang dan segar.

"Sudah berapa lama ini tidak ditempati?" tanya pria itu penasaran.

"Sejak tiga bulan yang lalu," jawab Nara.

Baron berkeliling lantai tiga. Mengamati setiap sudut ruangan. Sementara itu, Nara berinisiatif menghidupkan lampu agar lebih terang. Jendelanya jadi sedikit lebih sulit untuk dibuka, karena sudah terlalu lama terjunci seperti ini.

"Kamarnya tidak terlalu luas, tapi cukup untuk satu orang. Kamar mandi ada di sudut sana. Jika ingin memasak bisa menggunakan dapur di belakang kedai," jelas Nara secara detail.

Dulunya tempat ini merupakan daerah kekuasaan Nara. Hanya ia yang tinggal di lantai tiga, sementara ayah dan ibunya berada di lantai dua. Namun, sejak ayahnya meninggal sekitar dua tahun yang lalu semuanya berubah. Ibunya sering mengalami gangguan gaib. Begitu pula Nara. Gadis itu kerap mengalami sakit yang tidak memiliki diagnosis dokter. Sehingga ia percaya bahwa dirinya mengalami sakit spiritual.

Sebenarnya ayah Nara juga mengalami hal serupa. Ia telah menderita sakit spiritual sejak lima tahun terakhir sebelum pada akhirnya meninggal dunia. Pria itu menolak panggilan spiritualnya, sehingga jiwanya sudah terlalu lemah untuk menahan hal tersebut.

Jika menurut garis keturunan yang ada di keluarga mereka, maka ayah Nara merupakan peramal dari generasi ketiga di keluarga mereka yang sudah ditakdirkan. Meski sudah ditakdirkan, ia tetap bersikeras menolaknya. Dan kini kekuatan spiritual itu telah diwariskan kepada anak perempuan mereka satu-satunya.

Awalnya Nara juga memiliki pikiran yang sama dengan ayahnya. Mereke berencana untuk menolak panggilan spiritual tersebut. Memutus garis kekuatan peramal di keluarga mereka. Tapi hal itu sia-sia. Segalanya sudah ditakdirkan. Sehingga, usaha sekeras apapun itu pasti akan berakhir sia-sia.

"Tempat ini sedikit pengap, tapi akan ku atasi nanti," celetul Baron tiba-tiba.

"Oh, ya! Jendelanya sedikit macet ternyata. Tapi kami akan segera memperbaikinya," ucap Nara.

"Bukan itu penyebabnya," sambung Baron.

Nara lantas mengernyit. Menatap heran pria di depannya.

"Ada hal lain yang membuat ruangan ini tetasa sedikit pengap dan sesak. Tapi akan ku atasi nanti," jelas Baron sambil tersenyum tipis.

"Jadi apakah aku bisa pindah hari ini juga? Aku perlu tempat tinggal dalam waktu cepat dan kurasa ini pilihan yang tepat," ujar Baron.

"Tentu saja, nanti akan ku bereskan tempat ini lebih dulu," balas Nara.

"Baiklah, kalau begitu. Aku juga akan segera membereskan pembayarannya hari ini," kata pria itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!