Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
“Harum belum bangun?” tanya Nata pada Bi Jenah yang tengah menyiapkan sarapan untuknya dan Hangga.
“Sudah kok. Neng Harum ‘kan selalu bangun subuh karena harus solat Subuh,” jawab Jenah tanpa menghentikan kegiatannya.
“Ini yang buat sarapan bukan Harum?” tanya Nata lagi.
“Bibi yang buat sarapannya, Mbak.” Jenah menyiapkan menu lontong sayur untuk sarapan pagi ini.
“Mau ke mana, Nat?” tanya Hangga ketika Nata berdiri dari duduknya.
“Mau ajak Harum untuk sarapan bareng.” Nata beranjak menuju kamar Harum, lalu mengetuk pintu saat sampai di depan kamar Harum.
“Rum, sarapan, yuk!” seru Nata sembari mengetuk pintu kamar Harum.
“Duluan saja, Kak. Saya belum lapar,” sahut Harum yang tengah berbaring miring di atas kasur usai menumpahkan tangis.
“Bareng aja, Rum. Kita tungguin ya!” seru Nata lagi.
Tidak mau berdebat panjang, akhirnya Harum memilih untuk ikut sarapan juga bersama Hangga dan Nata, meskipun hatinya masih sangat sakit akibat kejadian subuh tadi.
Sebelum keluar kamar, Harum berdiri di depan cermin menatap bayangannya. Jejak-jejak tangisan begitu kentara di paras ayunya. Ia mengambil bedak lalu menepuk-nepuknya di wajah untuk menyamarkan bekas tangisnya.
“Kamu kenapa, Rum? Sakit?” tanya Nata di sela aktivitas sarapan mereka.
“Enggak kok.” Harum yang duduk di seberang Nata menjawab cepat.
“Kayak lesu begitu.” Nata mencondongkan wajahnya agar dapat melihat Harum dengan jelas. “Kamu habis nangis, Rum?” tanyanya saat menyadari raut wajah Harum yang seperti orang habis menangis.
“Enggak, Kak,” sahut Harum.
“Rum, anggap aku ini kakakmu. Kalau kamu ada masalah, jangan sungkan untuk cerita ke aku,” kata wanita cantik yang usianya tiga tahun di atas Harum.
Memandang Nata sekejap, akhirnya Harum mengangguk juga sembari mengulas sebuah senyum.
Di mata Harum, Nata adalah sosok yang baik hati. Madunya itu begitu baik memperlakukan dirinya. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sama sekali tidak keberatan menjalani pernikahan poligami ini. Menurutnya, pernikahan poligami ini akan berjalan baik jika saja Hangga dapat berlaku adil.
Tetapi, kenyataannya Hangga masih bersikap dingin kepadanya.
Apakah Hangga tidak mengerti bahwa seorang suami yang berpoligami, wajib memperlakukan istri-istrinya dengan adil.
“Mas, hari ini saya libur kerja. Saya izin mau main sama Nina,” ujar Harum saat Hangga hendak berangkat kerja.
“Kamu mau kerja, mau main, mau pergi ke mana, terserah. Lakukan apa yang kamu mau lakukan. Enggak perlu minta izin saya,” sahut Hangga datar.
“Iya, Mas.” Harum mengangguk.
Baru tiga ayun Hangga melangkahkan kaki, Harum berkata lagi. “Mas, kalau saya pulangnya sore, enggak apa-apa ya.”
Hangga menghentikan langkahnya. Menarik napas panjang, ia berbalik badan. “Saya‘kan tadi udah bilang terserah. Mau pulang siang, sore, malam, semua terserah kamu,” sahutnya.
“Iya, Mas.”
“Rum, kami berangkat kerja dulu ya,” ujar Nata.
“Iya, hati-hati.”
“Kamu juga hati-hati kalau mau keluar rumah.”
“Iya.”
Usai berpamitan pada Harum, Nata menggandeng tangan Hangga melangkah menuju mobil.
Harum hanya dapat memandang suami dan madunya itu dengan perasaan getir.
*
“Tumben banget sih ngajak jalan. Sampai rela tukar hari libur segala,” ujar Nina saat Harum mendatangi kamar mes tempat tinggalnya. Mes khusus karyawan kedai itu terletak di halaman belakang kedai.
Saat Nina tengah memanjakan diri dengan tidur pulas selepas salat Subuh, gadis berambut ikal sebahu itu dikejutkan oleh kedatangan Harum.
Jadwal libur karyawan kedai memang tidak mesti hari Minggu, tergantung jatah liburnya masing-masing, kecuali Harum yang memiliki hak istimewa untuk libur di setiap hari Minggu.
“Saya lagi suntuk, Nin,” sahut Harum lesu.
“Suntuk kenapa? Lagi berantem sama suami?” lontar Nina dengan suara pelan, nyaris berbisik. Padahal di mes itu tidak ada orang lain kecuali dua gadis itu.
Harum menggelengkan kepalanya.
Bagaimana mungkin berantem, sedangkan mengobrol bersama Hangga saja adalah hal yang sangat langka. Bukannya berantem atau berdebat itu pasti diawali oleh interaksi dua anak manusia, minimalnya mengobrol.
“Rum, katanya kalau suami istri berantem itu wajar loh, anggap aja sebagai bumbu rumah tangga,” kata Nina.
“Saya enggak berantem, Nin.”
“Terus kenapa kamu malah milih libur hari ini? Padahal Mas Hangga ‘kan libur hari Minggu. Hayo?” cecar Nina penasaran.
“Pengen libur bareng kamu aja, Nin. Kangen soalnya. Kangen jalan-jalan bareng."
Nina tidak meyakini ucapan Harum. Ia meyakini Harum tengah ada, masalah dalam pernikahannya.
“Kita ‘kan sudah lama bersahabat, Rum. Nina tahu banget, wajahmu itu menyiratkan aura permasalahan yang pelik,” kata Nina dengan bergaya sok serius. Harum malah tertawa melihat ekspresi sahabatnya.
“Tapi kalau kamu belum mau cerita, ya sudah enggak apa-apa. Yang harus diingat, bahu Nina siap menopang keluh kesahmu. Jangan sungkan untuk bercerita, karena Nina ini sahabatmu, Rum.” Nina menepuk bahu Harum sembari tersenyum lebar.
“Meskipun terkadang Nina mudah marah seperti Squidward, kadang Nina juga egois seperti Tuan Crab, kadang Nina bodoh seperti Patrick, tapi Nina akan selalu ada untukmu seperti Spongebob,” sambung Nina lagi.
Mendengar penuturan Nina, Harum tergelak dalam tawa, disusul dengan Nina yang ikut tertawa.
“Terus kita mau jalan ke mana?” tanya Nina setelah mereka berhenti tertawa.
“Ngebakso, yuk!” jawab Harum penuh semangat.
“Jadi, kamu tukar libur demi ngajak Nina ngebakso doang.”
“Habis ngebakso kita ....”
Kedua gadis yang sudah bersahabat sejak di bangku SMP itu saling pandang lalu keduanya kompak berseru girang, “Naik busway!”
Sejak dipindah tugaskan ke kota Tangerang, keduanya memang berencana untuk jalan-jalan naik busway. Maklum alat transportasi masal tersebut tidak pernah mereka jumpai di kota asalnya, Cilegon. Tetapi, kesibukan membuat mereka belum bisa mewujudkan rencana keduanya.
“Cus lah kita jalan-jalan naik busway. Tapi, kamu yang traktir ya.”
“Iya, siap.”
“Oke, mari kita jalan-jalan biar gak bego. Abaikan mimpi buruk Nina semalam. Semoga mimpi itu bukanlah sebuah pertanda buruk,” ujar Nina.
“Kamu mimpi buruk apa, Nin?” Harum bertanya dengan ekspresi khawatir.
“Mimpi dikejar-kejar Kim Jong Un di Subway Surf,” canda Nina yang sontak memecah tawa Harum. Istri Hangga itu memukul-mukul sahabatnya dengan guling kempes.
Tidak lama-lama Nina berdandan, kedua gadis berjilbab itu keluar mes. Menggunakan motor Scoopy warna hitam merah milik Nina, mereka pergi ke sebuah kedai mi ayam bakso yang sudah disepakati. Namun, saat tengah dalam perjalanan, motor yang mereka naiki malah mogok.
“Kok berhenti di sini, Nin? Ini mah kantor leasing, bukan warung bakso,” lontar Harum saat tiba-tiba motor Nina berhenti tepat di depan kantor leasing.
“Bukan berhenti, Rum, ini mogok,” sahut Nina seraya turun dari motornya dan diikuti oleh Harum.
“Kok mogok, Nin?”
“Kan, udah bilang, semalam Nina mimpi dikejar-kejar Kim Jong Un.”
“Astagfirullah. Kenapa enggak mimpi dikejar Song Jong Ki sih,” gurau Harum.
“Kayaknya ini mogok karena bensin habis,” ujar Nina ketika melihat indikator bensin menunjukkan bahan bakar dalam tangki memang kosong.
“Gimana sih, Nin, harusnya tadi isi bensin dulu.”
“Nina forget, Harum Geulis.”
“Terus sekarang gimana, dong?” tanya Harum gelisah.
Nina mengetukan telunjuknya di dagu layaknya orang berpikir. Setelah berdiskusi, berdebat, menimbang dan memutuskan akhirnya disepakati bahwa mereka berdua akan mendorong motor sampai menemukan SPBU. Syukur-syukur jika menemukan penjual bensin eceran dalam beberapa langkah ke depan.
“Hadeuh, ampun deh mau jalan-jalan malah jalan beneran,” kata Nina yang tengah berjalan sembari mendorong motornya bersama Harum.
“Enggak boleh mengeluh, harus tetap bersyukur. Ingat, di balik sebuah musibah, biasanya terselip hikmah,” sahut Harum.
“Iya, Mama Dedeh,” gurau Nina. “Semoga aja cobaan yang berat ini mendapatkan balasan anugerah bertemu jodoh. Ya Allah, pertemukanlah segera Nina dengan jodoh Nina. Agar Nina tidak lagi memberi cinta kepada orang yang salah dengan percuma.” Nina bertutur sembari menengadahkan tangan, lalu menyeka keringat di dahinya sebelum melanjutkan perjuangan menemukan SPBU.
Harum hanya senyum-senyum melihat ocehan Nina yang selalu membuat hatinya segar, bahkan di saat hatinya telah layu.
Kedua gadis itu telah berjalan mendorong motor sejauh tiga ratus meter, saat sebuah motor sport berwarna hijau yang dikendarai seorang pria berhenti di dekatnya.
“Kenapa motornya?” tanya pria yang mengenakan helm teropong tersebut dari atas motornya.
“Mogok, Om. Kehabisan bensin,” sahut Nina.
“Tunggu di sini aja. Biar aku yang cari bensinnya,” ujar pria yang masih duduk di atas motornya.
“Serius, Om?” lontar Nina.
Bukannya tidak percaya, tetapi studi terbaru menunjukkan rasa empati dalam diri seseorang semakin langka, terutama di kota-kota besar. Menurut survey, sebanyak 65 persen orang zaman now bersikap tidak peduli alias kehilangan empati. Begitu yang pernah ia baca.
“Iya, tunggu ya. Jangan ke mana-mana!” seru pria yang mengenakan jaket hijau army berpadu celana jeans dengan helm teropong warna hijau masih membungkus kepalanya. Kemudian, pria itu langsung tancap gas.
“Rum, orang itu kira-kira benar gak mau nolongin kita?” lontar Nina setelah pria itu pergi.
“Semoga saja benar,” sahut Harum.
Dalam benaknya, ia tengah mengingat sesuatu.
Jaket hijau, motor sport warna hijau, dan helm teropong yang didominasi warna hijau.
Harum merasa sering bertemu dengan pria berpenampilan seperti itu akhir-akhir ini.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu