Satu Biduk Dua Cinta
“Saya terima nikah dan kawinnya Nata ....”
““Hush. Hangga!” tegur perempuan paruh baya yang duduk di belakang sang mempelai pria.
Ini adalah teguran kali kedua kepada pria yang mengenakan jas pengantin warna putih tersebut. Sesaat sebelumnya, pria yang dipanggil Hangga itu pun telah salah mengucap nama sang pengantin wanita.
Bahkan, yang pertama tadi, sang mempelai pria menyebut nama wanita asing itu dengan lengkap. Natalia Friska, begitu tadi ia menyebutnya dalam lafal kabul.
“Harum Lestari binti Abdul Manaf. Kamu harus fokus, Hangga!” bisik perempuan paruh baya yang mengenakan kebaya model hijab. Perempuan yang tidak lain adalah ibunda sang mempelai pria.
“Astagfirulloh.” Pria tampan itu berucap lirih seraya mengusap wajahnya.
“Kita ulang sekali lagi ya,” sela penghulu.
“Mempelai pria dimohon untuk konsentrasi. Boleh tarik napas dulu biar lebih tenang dan tidak grogi. Jangan lupa baca taawuz dan basmalah dalam hati.” Penghulu itu berpesan lagi.
Beberapa tamu yang menghadiri acara sakral tersebut saling berbisik. Tentu saja kesalahan sang mempelai pria dalam menyebutkan nama sang mempelai wanita menjadi topik menarik sebagai bahan gibah.
Jika salah menyebut nama dari Ana ke Ani mungkin biasa, barangkali terpeleset lidah. Akan tetapi, bagaimana bisa nama Harum terpeleset menjadi Natalia.
Sementara di dalam kamar dengan dekorasi penuh bunga khas kamar pengantin, seorang gadis yang mengenakan kebaya pengantin warna putih lengkap dengan jilbabnya tengah duduk murung sembari menjalin jari-jemari. Senyum sumringahnya sontak memudar kala mendengar sang calon imam salah menyebutkan namanya dalam ijab kabul.
Dadanya mendadak sesak bagai dililit puluhan tali tambang. Buncah-buncah bahagia di hati meredup seketika. Berganti dengan rasa galau, resah dan gelisah.
Hatinya bertanya-tanya tentang siapakah perempuan yang disebutkan namanya oleh pria yang sebentar lagi resmi menjadi suaminya itu.
Harum Lestari adalah nama sang mempelai pengantin wanita. Telah menjadi yatim piatu sejak usia tujuh tahun. Kisahnya semakin nelangsa saat sebulan yang lalu neneknya meninggal dunia. Nenek adalah satu-satunya keluarga yang ia punya setelah kehilangan kedua orangtua kandungnya.
Takdir Ilahi membuatnya sebatang kara. Saat ia merasa menjadi manusia paling nelangsa, Bu Mirna—pemilik kedai tempat ia bekerja, datang memberikan embusan angin surga. Wanita paruh baya itu datang bersama suami dan anak laki-laki semata wayangnya, Hangga Yudistira.
Tanpa diduga, Bu Mirna dan suaminya—Pak Hendra datang untuk meminangnya. Meminta Harum agar mau menikah dengan Hangga, putra mereka satu-satunya.
Harum sempat tak mempercayai tentang keinginan Bu Mirna dan Pak Hendra. Namun, saat melihat Hangga yang duduk di hadapannya melemparkan senyum dan menganggukkan kepala, seolah membenarkan serta mendukung pinangan kedua orangtuanya, Harum akhirnya menyetujui dan menerima pinangan keluarga Hangga.
Mana mungkin Harum menolak Hangga, jika kenyataannya selama ini ia telah memendam rasa pada pria tampan berkulit coklat terang khas Indonesia itu. Entah rasa apa yang dirasakannya, ia tidak tahu pasti. Apakah sekedar kagum, naksir atau justru jatuh cinta. Ia sungguh tidak mengerti. Yang jelas jantungnya selalu berdegup tidak teratur semisal tidak sengaja berpapasan dengan pria yang telah dikenalnya sejak kecil itu.
Harum tidak akan pernah lupa kejadian saat kecil dulu. Ia yang saat itu masih duduk di bangku kelas 4 SD terjebak hujan saat petang sepulang kegiatan Pramuka.
Petir yang menyambar menggelegar membuat Harum ketakutan. Tubuh kecil Harum meringkuk di atas sebuah gazebo di depan pelataran sebuah rumah dekat sekolahnya. Rumah tersebut terhitung paling mewah di kampungnya.
Ia hampir saja menangis sebab teramat takut ketika seorang anak laki-laki dengan membawa payung datang menghampirinya lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Setelah hujan reda, baru anak laki-laki itu mengantarnya pulang.
Anak laki-laki berwajah tampan itu adalah Hangga. Saat itu Hangga sudah duduk di bangku SMP. Informasi tersebut diketahui Harum karena beberapa kali berpapasan dengan Hangga yang memakai celana seragam warna biru.
Sejak saat itu, Harum sudah mengagumi Hangga yang usianya terpaut lima tahun dengannya.
Keluarga Harum dan keluarga Hangga tinggal di satu kampung yang sama, meskipun jarak rumah mereka cukup jauh karena berbeda RT.
Sejak kecil Harum sudah merasakan kebaikan keluarga Hangga. Bu Mirna dan Pak Hendra—orangtua Hangga, rutin memberikan bantuan finansial kepada neneknya.
Saat duduk di bangku SMA, Harum yang ingin mendapatkan uang tambahan untuk membantu kehidupannya bersama sang nenek, diizinkan untuk bekerja di kedai sop duren milik Bu Mirna.
Bahkan selepas tamat SMA, ibunda Hangga itu juga menyuruhnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah. Bu Mirna memberikan kelonggaran waktu kerja kepadanya agar dapat kuliah sambil bekerja. Bu Mirna juga banyak membantu biaya kuliahnya.
Terkadang Harum merasa heran kenapa Bu Mirna baik sekali kepadanya. Ia pernah bertanya hal itu kepada sang nenek. Nenek hanya menjelaskan jika Bu Mirna adalah sahabat almarhumah ibunya. Sehingga tak salah jika Bu Mirna begitu menyayanginya seperti anaknya sendiri.
Namun, anggapan itu ter patahkan saat Bu Mirna meminangnya untuk Hangga, sang putra tercinta.
“Rum!” Tepukan lembut di pundak, memberaikan lamunan Harum.
"Sudah sah loh, Rum!” seru Nina dengan senyum lebar, selebar jidatnya. Syukur saat ini Nina—sahabat Harum itu memakai jilbab sehingga jidat yang selebar lapangan tenis itu tidak tampak.
“Hah?” Harum terperangah. Rasa syok yang mendera membuat dirinya tidak fokus. Syok karena mendengar Hangga menyebutkan nama wanita lain saat ijab kabul.
“Kamu enggak dengar ya pas tadi ijab kabul?” lontar Nina.
Harum bergeming menatap sahabatnya itu. Ia tengah menerka-nerka apakah Nina juga mendengar saat Hangga salah menyebut nama wanita yang akan dinikahinya.
Semoga saja tidak.
Kalau iya, rasa malunya melebihi luas Maluku pastinya.
Harum seketika merasa menjadi pengantin wanita paling menyedihkan. Sungguh menyedihkan dan ... memalukan.
“Rum, kamu sudah sah jadi Nyonya Hangga loh. Ciye, ciye,” goda Nina. “Ayo senyum!” Gadis itu mencolek dagu Harum. Refleks bibir Harum melengkung mengukir senyum.
Bukankah pengantin harus banyak senyum.
“Ayo, pengantin wanitanya boleh keluar sekarang,” ujar seorang ibu muda sambil melonggokkan kepalanya di pintu kamar pengantin.
Harum tidak begitu mengenal ibu muda tersebut, ia hanya tahu bahwa wanita itu adalah salah satu keluarga Hangga.
Wajar jika ia tidak mengenal satu per satu dari keluarga besar Hangga, sebab tidak ada proses penjajakan maupun pacaran sebelum terjadinya pernikahan.
Boleh dibilang ini adalah pernikahan dadakan. Sekaligus juga, pernikahan perjodohan.
“Ayo, Rum!” Nina berdiri dan meraih tangan Harum. Mau tidak mau, Harum turut berdiri.
Oke Harum, keep positif thinking, tidak usah baperan. Belum tentu nama wanita yang disebutkan Hangga tadi adalah siapa-siapanya Hangga. Bisa jadi wanita itu hanya ...
Ah, sudahlah. Semangat Harum. Gumam gadis itu menyemangati diri sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
guntur 1609
aku singgah ya thor. mudah2an crtnya bagus
2023-11-27
0
Hanipah Fitri
mampir
2023-05-29
1
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
mampir lagi di karya kak yen inka
ehh salah kak yeni ika setelah GBK dan MSC yaaa🙏
2023-03-03
0