Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepatu Kaca Biru Untuk Siapa?
Bab 22
Lili merapikan gaunnya sekali lagi, merasa gugup. Ketukan di pintu membuatnya sedikit melompat. Ia melirik ke arah maminya.
“Mungkin itu papi, Mi. Papi datang menyusul supaya kita cepat-cepat.”
Meralda menghela napas panjang, mencoba menenangkan putrinya. “Jangan panik dulu, Sayang. Biar mami yang buka.”
Meralda berjalan menuju pintu dan membukanya dengan hati-hati. Sosok di luar pintu bukanlah Tuan Asher seperti yang mereka duga. Wajahnya asing bagi Meralda, tapi pemuda itu berdiri dengan sopan, mengenakan kemeja rapi.
"Anda siapa ya? Ada perlu apa?" tanya Meralda.
Namun, sebelum orang itu menjawab, Lili, yang penasaran, ikut mendekat. Ketika melihat sosok tersebut, ia langsung mengenalinya.
“Samir? Ada apa?” tanya Lili, terkejut.
Samir tersenyum tipis, lalu mengangkat sebuah kotak kecil yang dipegangnya. “Saya hanya ingin memberikan ini. Katanya sepatu ini mungkin dibutuhkan. Coba dulu, siapa tahu cocok.”
Lili tertegun, menatap kotak itu dengan ragu. “Sepatu?” gumamnya. Dia langsung mengambil barang itu dan melihat isinya.
"Mami! Ini sangat indah!" seru Lili, menunjukkan benda itu pada Maminya.
Kebetulan seperti ini terasa terlalu aneh. Bagaimana Samir tahu mereka sedang membahas sepatu? Dan mengapa dia membawakan sepatu, apalagi sepatu kaca biru yang terlihat begitu mewah?
Samir tersenyum, lalu berkata, “Coba saja dulu, Nona. Saya akan menunggu di sini. Kalau tidak cocok, sepatu ini bisa saya bawa kembali.”
Meralda, jadi antusias, “Benar kata dia, Nak. Coba saja dulu, Lili. Tidak ada salahnya.”
Meski ragu, Lili akhirnya mengambil isi dari kotak itu. Sepatu kaca biru itu terlihat berkilau, begitu anggun namun terasa sedikit asing baginya. Ia mengerutkan kening.
“Ini... ukurannya seperti kebesaran, Mi,” katanya sambil memandang sepatu itu.
“Tapi coba saja dulu,” desak Meralda dengan lembut. “Waktunya sudah mepet.”
Lili akhirnya duduk di kursi, melepas sepatu lamanya, dan mencoba sepatu kaca biru itu. Ketika ia berdiri, Meralda berseru dengan takjub, “Lihat, Lili! Sepatu itu pas di kakimu. Dan... cantik sekali!”
Lili melirik ke cermin, masih merasa tak percaya. Sepatu itu memang terlihat sempurna di kakinya, seolah-olah dibuat khusus untuknya.
“Terima kasih, Samir,” kata Lili akhirnya, meski masih ada kebingungan di wajahnya.

Samir mengangguk. “Saya senang kalau itu cocok. Saya pamit dulu.” Setelah itu, ia berbalik dan pergi dengan langkah tenang.
"Eh, tunggu!" Lili memanggil Samir tapi sudah jauh.
Meralda dan Lili saling menatap, seakan-akan apa yang ada di benak mereka sama. Asal usul sepatu ini dan kenapa Samir tahu tentang kesulitan mereka.
###
Sementara itu, di ruang pertemuan, diskusi kolega tim Asher sudah dimulai. Tuan Asher memimpin pertemuan tanpa menunggu kehadiran Lili. Waktu yang semakin sempit membuatnya memutuskan untuk segera memulai.
“Lili bisa menyusul nanti,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Di sisi lain, Diaz duduk di ujung meja, mendengarkan namun pikirannya melayang. Dia merasa gelisah.
'Kenapa aku menawarkan sepatu itu pada Lili? Bukankah aku sudah berjanji untuk dicoba Eriva?' pikir Diaz, sedikit frustrasi dengan dirinya sendiri.
Diaz juga teringat mendiang mamanya, wanita anggun yang pernah memakai sepatu kaca biru itu. Mamanya lebih tinggi dan berisi dibandingkan Lili, yang tubuhnya mungil dan ramping. Kenangan itu semakin membebani pikirannya.
“Nak Diaz, bagaimana pendapat Anda?” suara Tuan Asher memecah lamunannya.
Diaz tersentak, mencoba memusatkan perhatian. “Maaf. Saya pikir rencana ini cukup strategis. Dengan memperkuat tawaran kita, tanah TPU pasti bisa menjadi milik tim kita,” jawabnya singkat, namun tegas.
Diskusi akhirnya ditutup dengan kesimpulan bahwa tim Mahendra harus menjadi yang terkuat dalam lelang nanti. Semua yang hadir sepakat untuk mendukung kekuatan harga tawaran mereka.
###
Di ruang lelang, suasana sudah penuh dengan orang-orang yang bersiap untuk memulai.
Lili dan Meralda akhirnya tiba, tepat waktu. Penampilan Lili dengan gaun beige klasik dan sepatu kaca biru menarik perhatian beberapa orang. Bahkan Tuan Asher terlihat bangga melihat putrinya tampil sempurna, meski ia tidak menunjukkan emosinya dengan jelas.
'Dia... Nona Lili?' batin Diaz, tatapannya terpaku pada sosok Lili.
Di sudut lain, Papanya Diaz, Tuan Mahendra, memandang anaknya dengan tatapan tajam. Ia tidak suka melihat Diaz bekerja sama dengan tim pesaing.
“Seharusnya dia mendukung perusahaan keluarganya sendiri, bukan berdiri di sisi lawan,” gumamnya dengan nada dingin.
Namun bagi Diaz, profesionalisme adalah segalanya. Ia tidak ingin mengikuti jejak papanya yang kerap mencampur aduk urusan pribadi dengan bisnis. Baginya, proyek ini adalah tentang kepercayaan dan tanggung jawab—terutama karena Lili juga terlibat. Hari ini, semua keputusan akan dimulai di ruang lelang ini.
Diaz tersadar saat Lili semakin dekat. Untuk menghilangkan kegugupannya, dia beranjak dari duduknya, sebab lupa belum menyapa Kakek Guru.
“Kakek, bagaimana keadaan Anda sekarang?” tanya Diaz dengan nada penuh perhatian. Ia teringat betapa paniknya Eriva semalam ketika mendengar kabar sang Kakek jatuh sakit.
Kakek Guru tersenyum lemah. “Usia memang tak bisa dibohongi, Diaz. Kadang kesehatan ini turun tanpa peringatan.”
"Diaz, titip Kakek dulu ya. Aku lupa isi air minum," ucap Eriva.
Sementara itu, wanita bergaun biru dengan rambut disanggul, bangkit dari kursinya, bermaksud untuk mengambil air hangat bagi Kakek Guru.
Namun, langkahnya tersendat ketika hak sepatu yang dikenakannya patah mendadak. Tubuhnya oleng, hampir terjatuh. Diaz yang refleks hendak menolong langsung menghentikan langkahnya ketika melihat beberapa asisten Kakek Guru bergerak lebih cepat.
Eriva duduk kembali dengan wajah sedikit kesal. Ia menatap sepatu rusaknya lalu mendesah pelan.
“Bagaimana ini, sepatu ini tidak bisa kupakai lagi,” keluhnya sambil mengamati hak yang patah.
Diaz mendadak teringat pada sepatu kaca biru yang diberikan kepada Lili. Dia merasakan kegelisahan yang sulit dijelaskan.
Sepatu kaca biru itu tadinya akan dicoba pada Eriva. Tapi mengapa Lili yang akhirnya mendapatkan kesempatan lebih dulu. Apakah ini takdir?
Eriva merasa teringat sesuatu. "Em, Diaz. Apakah kau bawa sepatu yang semalam? Bisa aku pakai sekarang?"
Diaz terdiam, dia bingung harus menjawab apa.
"Oh, iya. Nanti aku tanya Samir."
"Baiklah, aku tunggu."
Diaz betulan menghubungi Samir lewat pesan, tapi bukan menanyakan sepatu untuk dibawa ke sini. Akan tetapi, menanyakan sepatu yang dipakai Lili.
"Iya, Diaz. Itu sepatu yang kau bawa," jawab Samir, pasti.
"Benar-benar pas. Atau sedikit longgar?"
"Yang aku tahu ukurannya pas. Lihat saja saat Nona Lili berjalan, begitu santai. Tidak terlihat kesulitan atau ada hal yang mengganggu."
Diaz tiba-tiba tersenyum, meskipun tipis. Namun, perubahan wajah itu bisa terbaca oleh Eriva.
"Ada apa Diaz. Apakah sepatunya dibawa?" Eriva bertanya lagi.
Diaz tersadar, rupanya Eriva sejak tadi memerhatikan dia dan menunggu jawaban.
Bersambung...