Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : Hukuman?
Begitu bel sekolah berbunyi, menandakan istirahat berakhir, suasana di kelas kembali menjadi riuh. Luna baru saja melangkah memasuki ruangan setelah menghabiskan waktu di kantin. Namun, langkahnya terhenti ketika dia mendengar namanya dipanggil melalui pengeras suara sekolah.
"Luna, harap segera datang ke ruang kepala sekolah, pak Wallace Smith," suara di pengeras suara terdengar jelas, cukup keras untuk memecah keramaian di sekitar.
Beberapa siswa langsung menoleh, berbisik dengan nada penasaran. "Wah, kayaknya Luna bakal dipanggil ke ruang kepala sekolah gara-gara berkelahi sama Emma di kantin," bisik beberapa murid dengan mata penuh rasa ingin tahu. Mereka menatap Luna dengan pandangan menghakimi, yang sudah terbiasa dengan bisikan semacam itu.
Luna hanya mendengus, seolah tak terlalu terpengaruh dengan pandangan mereka. "Hah, mau apa lagi kakek tua itu memanggilku?" gumamnya pelan, cukup keras agar beberapa orang di sekitarnya bisa mendengarnya. Suaranya mengandung nada sinis yang menciptakan suasana aneh. Beberapa murid saling bertukar pandang, mata mereka melebar. Bagaimana bisa Luna memanggil kepala sekolah yang dikenal keras itu dengan sebutan 'kakek tua'?
Luna hanya melangkah santai menuju ruang kepala sekolah, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saat dia tiba di depan pintu ruang kepala sekolah, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Pak Wallace Smith, kepala sekolah yang dikenal bijaksana namun agak ketat, sudah menunggunya dengan senyum lebar di wajahnya.
"Ah, Luna! Masuklah," kata pak Wallace dengan senyum hangat. "Ayo, duduk," tambahnya, mengarahkan Luna untuk duduk di kursi yang tersedia di hadapannya.
Luna melangkah masuk dengan langkah santai, matanya sedikit memandang dengan sinis pada ruangan yang terasa terlalu resmi itu. "Lama kita tidak bertemu pak Wallace" ucapnya, suaranya masih terkesan santai, namun di balik nada itu, ada sesuatu yang tajam, seolah dia sudah terbiasa berada dalam situasi seperti ini.
Pak Wallace tertawa pelan. "Kau benar, maafkan aku yang tidak bisa menghadiri pemakaman kakekmu. Aku sedang berada di luar negeri saat itu. Aku memanggilmu kesini karena ada yang ingin aku bicarakan" kata pak Wallace, nada suaranya terasa lebih lembut dan ramah dari biasanya. Itu tidak seperti dirinya yang biasa tegas dan lebih formal.
Luna sedikit mengangkat alisnya. “Bicara apa?” tanya Luna lagi, menyandarkan punggungnya ke kursi sambil memandang pak Wallace dengan tatapan yang sulit untuk dibaca.
Pak Wallace melanjutkan percakapan itu dengan santai, "Aku sudah mendengar tentang kejadian tadi, kau tenang saja, aku akan mengatur agar kau tidak terganggu dengan hal ini."
Luna mendengus pelan, merasa sedikit canggung, tetapi tetap melanjutkan percakapan itu dengan sikap yang seolah tak terlalu peduli. "Terima kasih, tapi aku harap tidak akan ada kejadian yang menggangguku lagi seperti ini. Aku lebih suka hidup tenang," jawab Luna sambil melirik pak Wallace.
Pak Wallace melanjutkan, "Aku ingin meminta satu hal darimu, Luna. Aku tahu kau luar biasa pintar. Jadi, aku ingin kamu menjadi juara satu dalam ujian tengah semester yang akan datang—juara satu di seluruh sekolah. Bisa kan?"
Luna mengernyitkan dahi. Dia menatap pak Wallace dengan pandangan sedikit bingung, seolah tidak percaya dengan permintaan itu. "Juara satu?" ulangnya, seolah mencoba mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya. "Pak Wallace, kau tahu kalau aku tidak menyukai hal-hal rumit seperti ini. Untuk membaca soal ujiannya saja membuatku malas"
Pak Wallace terlihat cemas, kedua tangan terlipat rapat di meja. "Tolong, Luna. Ini sangat penting. Aku tahu kau adalah gadis jenius yang bahkan ketua dewan pendidikan nasional saja ingin merekrutmu di fakultas kedokteran di universitas miliknya"
Luna memutar matanya, memikirkan betapa mudahnya dia bisa menjawab soal-soal itu. Dia sudah menguasai hampir semua mata pelajaran, bahkan bisa lulus ujian kedokteran jika dia mau. Tetapi entah kenapa, menulis soal essai panjang lebar itu seperti menyiksa dirinya. "Ugh, sepertinya kamu tidak mengerti, Pak Wallace," keluhnya, mengusap rambutnya frustasi. "Saya bisa menjawab soal itu dalam tidur sekalipun, tapi masalahnya adalah saya tidak ingin repot-repot menulis jawaban panjang."
Pak Wallace, dengan ekspresi wajah yang mulai putus asa, mengusap wajahnya dengan tangan. "Luna, tolonglah. Aku tahu kau bisa. Kalau kamu berhasil... Dan aku yakin kau pasti berhasil, aku akan mengabulkan semua permintaanmu."
Luna memandangi pak Wallace dengan tatapan setengah kasihan, setengah geli. "Baiklah, baiklah," katanya dengan suara datar, seolah tidak ada pilihan lain. "Aku akan lakukan itu, tapi ada syarat."
Pak Wallace langsung menatapnya dengan penuh harapan. "Syarat? Apa saja syaratnya, Luna?"
Luna melipat tangannya di depan dada, seperti seorang pengusaha yang sedang menegosiasikan kontrak besar. "Aku setuju untuk memenangkan ujian itu dan menjadi juara satu, tapi dengan satu syarat penting," kata Luna dengan suara yang penuh percaya diri. "Kau harus memberikan izin agar aku bebas tidak mengikuti pelajaran kapanpun aku mau. Aku tidak mau terikat dengan jadwal pelajaran yang ketat, Pak Wallace. Kalau aku merasa bosan, aku ingin bisa keluar kelas kapan saja tanpa harus dihukum."
Pak Wallace menatap Luna dengan mata terbelalak. "Kau... maksudmu benar-benar tidak mau mengikuti pelajaran?" tanya pak Wallace dengan heran, seperti baru saja mendengar permintaan yang sangat aneh.
Luna mengangguk tanpa ragu. "Iya, kalau kau ingin aku menjadi juara satu, kau harus membiarkan aku memiliki kebebasan itu. Aku tidak suka terjebak dalam rutinitas. Itu salah satu cara agar otakku tetap segar," katanya, dengan ekspresi serius yang bahkan membuatnya sedikit lucu.
Pak Wallace terdiam sejenak, mencoba memikirkan semua kemungkinan. "Hmm... sepertinya agak sulit, bagaimana kalau kau menghadiri kelas 4 hari saja," katanya akhirnya, menghela napas panjang.
"Dua hari" tawar Luna
"Tiga hari, tidak bisa lebih dari itu" jawab Wallace.
"Hahhh Baiklah kalau begitu, aku hanya akan hadir di sekolah selama 3 hari dalam seminggu" jawab Luna.
"Sepertinya aku memang tidak bisa menang melawanmu" kekeh pak Wallace.
Luna tersenyum puas, merasa sudah memenangkan pertempuran kecil ini. "Tenang saja, Pak Wallace. Aku akan melakukannya dengan santai, seperti biasa."
Pak Wallace hanya bisa menggelengkan kepala, tercengang dengan sikap Luna yang terlalu santai meski sedang berbicara tentang ujian penting. "Sungguh, Luna... kau ini benar-benar anak yang tidak bisa diduga"
Luna melangkah keluar dari ruang kepala sekolah dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan. Di luar, suara riuh murid-murid yang masih sibuk berbicara setelah istirahat terdengar samar, namun bagi Luna, semua itu seperti latar belakang yang tidak penting. Yang ada dalam pikirannya kini hanyalah satu tujuan: rencananya untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya. Rumah sakit milik kakek dan ibunya, yang sekarang dipegang oleh ayahnya, Douglas Heinrich.
Senyumnya semakin lebar. Bukan tanpa alasan dia menyetujui permintaan pak Wallace tadi. Semua itu bagian dari rencananya. Mengambil alih Imperial High School adalah hal kecil bagi Luna, tapi yang lebih penting adalah bagaimana dia bisa menancapkan taringnya pada rumah sakit itu. Dia tidak membutuhkan gelar siswa terbaik yang berhasil menjadi juara satu dalam pelajaran atau ujian yang membosankan. Yang Luna butuhkan adalah cara untuk menaklukkan dunia yang jauh lebih besar—dunia medis yang telah lama menjadi bagian hidupnya.
Namun, untuk itu, Luna tahu dia membutuhkan bantuan dari seseorang yang sangat berpengaruh di dunia medis. Seorang dokter yang juga memiliki koneksi di universitas-universitas besar. Dan orang itu bukan lain adalah ketua dewan pendidikan negeri ini, yang juga terkenal di kalangan medis sebagai seorang dokter yang berprestasi.
Luna sudah memiliki koneksi dengan orang tersebut sejak lama—Dr. Adrian Lowell. Seorang dokter ternama dan Ketua Dewan Pendidikan yang dikenal memiliki kedekatan dengan banyak pihak berkuasa, termasuk dewan universitas. Jika ada seseorang yang bisa membantunya masuk ke universitas kedokteran dengan memberinya surat rekomendasi untuk mengikuti ujian, itu adalah Dr. Lowell. Luna sudah memikirkan langkah-langkahnya dengan cermat.
Dia akan menemui Dr. Lowell dan memintanya untuk membantunya memberikan rekomendasi untuk mengikuti ujian masuk universitas. Tentu saja, dia tidak akan meminta bantuan secara langsung. Luna tahu betul bagaimana cara mendekati orang-orang berpengaruh, dan dia memiliki cara untuk membuat mereka merasa nyaman—dan tak jarang, tak bisa menolak permintaannya.
“Douglas, Claudia, Clara, bersenang-senanglah, sebelum aku mengambil semuanya dari tangan kalian” gumam Luna pelan, suaranya hampir tidak terdengar oleh orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Dia merasakan api semangat membara dalam dirinya. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, tidak hanya rumah sakit itu yang akan kembali ke tangannya, tetapi juga kontrol atas masa depannya sendiri. Luna tidak akan menjadi orang yang diseret-seret oleh keadaan lagi.
...****************...