Siapa sangka niatnya merantau ke kota besar akan membuatnya bertemu dengan tunangan saudara kembarnya sendiri.
Dalam pandangan Adam, Emilia yang berdiri mematung seolah sedang merentangkan tangan memintanya untuk segera memeluknya.
"Aku datang untukmu, Adam."
Begitulah pendengaran Adam di saat Emilia berkata, "Tuan, apa Tuan baik-baik saja?".
Adam segera berdiri lalu mendekat ke arah Emilia. Bukan hanya berdiri bahkan ia sekarang malah memeluk Emilia dengan erat seolah melepas rasa rindu yang sangat menyiksanya.
Lalu bagaimana reaksi tunangan kembaran nya itu saat tau yang ia peluk adalah Emilia?
Bagaimana pula reaksi Emilia diperlakukan seperti itu oleh pria asing yang baru ia temui?
Ikuti terus kisah nya dalam novel "My Name is Emilia".
***
Hai semua 🤗
ini karya pertamaku di NT, dukung aku dengan baca terus kisah nya ya.
Thank you 🤗
ig : @tulisan.jiwaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hary As Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Pertemuan yang tak diduga
Pagi-pagi sekali Darius sudah siap dengan setelan jas nya. Seperti biasa ia akan ke kantornya di pagi hari. Sebelum berangkat ke kantor ia selalu menyempatkan diri untuk sarapan terlebih dahulu bersama Emelda.
“Aku berangkat sekarang. Kau baik-baik disini, ya. Jangan lupa siang ini kau harus check-up ke dokter. Nanti dari kantor aku akan langsung menjemputmu,” kata Darius sembari berdiri setelah menyudahi sarapannya.
Emelda ikut berdiri ingin mengantar Darius sampai depan pintu. “Iya, baiklah. Ngomong-ngomong berapa lama lagi project mu disini selesai? Kita harus segera pindah dari sini. Apalagi kau bilang pernah bertemu Emilia. Jangan sampai dia bertemu denganku dalam kondisiku seperti ini.”
“Mungkin 2 bulan lagi sudah selesai. Setelah itu kita akan pindah ke luar negeri dan memulai hidup baru disana sesuai janjiku padamu. Kau tidak perlu khawatir,” kata Darius berusaha meyakinkan Emelda.
“Baiklah, aku percaya padamu. Ya sudah, kau harus berangkat sekarang kalau tidak kau bisa terlambat,” kata Emelda.
“Oke, aku pergi dulu.”
***
“Semangat senin!” seru Serra seraya mengambil nampan yang berisi makanan yang akan diantar ke pelanggannya.
“Semangat senin! Semangat, semangat, semangat!” sahut Emilia yang juga melakukan hal yang sama seperti yang Serra lakukan.
Tidak hanya akhir pekan saja restoran tempat mereka bekerja ramai dikunjungi para pelanggan. Tapi biasanya hari senin juga. Sebab selalunya para pengusaha akan mengajak client mereka makan disana sambil membahas tentang bisnis yang mereka jalankan.
Emilia yang selalu bersemangat itu terlihat sangat cekatan mengantar pesanan makanan ke setiap meja, membersihkan meja yang ada tumpahan makanan dan minuman serta melayani pelanggan dengan sangat ramah.
Emilia tidak sadar ada seorang pelanggan wanita yang dari tadi asik memperhatikan ia bekerja. Wanita itu adalah Bu Anita, ibu dari Adam. Dari kemarin ia sudah sangat penasaran ingin bertemu dengan sosok wanita yang mampu menaklukkan hati anaknya itu, yang konon adalah kembaran Emelda. Setelah bertemu langsung, barulah ia percaya bahwa mereka memang kembar.
Emilia sedang mencatat pesanan dari pelanggan yang berada tepat di seberang meja Bu Anita. Setelah mencatatnya Emilia hendak kembali ke dapur untuk memberi catatan kepada chef disana. Bu Anita yang baru saja akan mengejarnya malah tersandung salah satu kaki meja yang membuat nya jatuh dan kakinya terkilir.
“Aduhhh,” ucap Bu Anita yang sudah terduduk di lantai.
Melihat ada salah satu pelanggan nya yang terjatuh, Emilia dengan sigap membantunya.
“Nyonya, apa Nyonya baik-baik saja? Mari saya bantu,” kata Emilia seraya memapah Bu Anita untuk kembali duduk di kursinya.
“Ini saya tidak sengaja tersandung meja. Kaki saya agak sakit mungkin terkilir,” jawab Bu Anita yang terlihat meringis menahan sakit.
“Nyonya tunggu disini sebentar, ya. Saya ambil minyak urut dulu sebentar. Saya khawatir nanti kaki Nyonya membengkak. Sebentar saja, tunggu ya Nyonya,” kata Emilia yang diangguki oleh Bu Anita.
Dengan cepat Emilia pergi ke belakang untuk mengambil minyak urut yang selalu ia bawa di tas nya. Setelah itu ia kembali lagi untuk mengobati kaki Bu Anita yang terkilir.
“Saya lepas sepatu Nyonya sebentar, ya. Saya urut sebentar. Tidak sakit kok, Nyonya. Saya akan lakukan perlahan.”
“Apa tidak merepotkan?” tanya Bu Anita.
Emilia tersenyum. “Tidak, Nyonya. Tidak apa-apa.”
Emilia mulai mengurut kaki Bu Anita secara perlahan dengan menggunakan minyak yang tadi diambilnya. Pijatan nya membuat kaki Bu Anita terasa lebih baik. Sepertinya Emilia sudah terbiasa melakukannya, pikir Bu Anita.
“Kaki saya terasa lebih baik. Kau pintar sekali memijat,” puji Bu Anita.
“Terimakasih, Nyonya. Dulu saya terbiasa memijat almarhum ibu saya kalau beliau mau tidur atau kaki beliau merasa sakit atau lelah,” kata Emilia.
“Kau anak yang baik. Orang tuamu pasti bangga punya anak sepertimu yang sangat perhatian pada orang tuanya.”
“Itu sudah kewajiban seorang anak, Nyonya. Waktu anak masih kecil, orang tua lah yang merawat dan mengasihinya. Lalu setelah anak tumbuh dewasa dan orang tua semakin tua, anak yang harus menjaga dan merawat orang tuanya dengan penuh kasih sayang juga.”
Bu Anita tersenyum dan mengangguk tanda setuju dengan apa yang dikatakan Emilia barusan. Baru sekejap bertemu tapi ia sudah sangat tertarik dengan kepribadian yang Emilia miliki. Wajar saja kalau anaknya juga dengan cepat jatuh hati pada Emilia. Wanita ini sangat tulus dan penuh kasih sayang. Dan tak kalah penting sangat hormat kepada orang yang lebih tua.
Setelah merasa kakinya baik, Bu Anita meminta Emilia menyudahi pijatannya. Lalu Emilia pun melanjutkan pekerjaannya kembali. Ia masih belum tau bahwa wanita yang ia tolong itu adalah ibu kandung dari Adam.
Emilia kembali mengantarkan pesanan kepada para pelanggannya. Tapi tiba-tiba perutnya terasa ngilu. Nampan berisi makanan yang baru akan ia bawa, ia letakkan lagi di atas meja. Ia meringis sambil memegang perutnya.
“Kenapa Emilia? Apa kau baik-baik saja?” tanya manajer restoran nya saat melihat gelagat Emilia yang sepertinya kesakitan.
“Iya, Tuan. Perut saya terasa sakit,” jawab Emilia sambil satu tangannya memegang perutnya.
“Kau sakit maag? Atau ada penyakit lainnya?” tanya manajer itu lagi.
“Tidak ada, Tuan. Mungkin ini bekas jahitan di perut saya yang terasa sedikit sakit,” jawab Emilia.
“Ya sudah, kalau begitu kau periksa saja dulu ke rumah sakit. Kau bekerja setengah hari saja hari ini. Pulanglah dan periksakan dirimu.”
“Tidak, Tuan. Saya tidak apa-apa. Lagipula saya baru bekerja disini, saya tidak enak kalau harus ijin terus.”
Tapi kalau kau kenapa-napa bisa-bisa aku yang bermasalah dengan Tuan Adam Emilia. Tuan Adam sudah memperingatkanku agar jangan membuatmu terlalu lelah bekerja apalagi sampai sakit. Gumamnya dalam hati. Manajer restoran itu masih ingat kata-kata Adam saat ia meminta ijin untuk Emilia kemarin.
“Tidak apa-apa. Pulanglah dan periksakan dirimu. Kau juga tidak bisa bekerja dengan baik kalau masih sakit. Besok kau datang lagi bekerja kalau sudah sembuh. Sudah sana cepat pulang! Jangan khawatir, saya memberimu ijin.”
Mau tidak mau Emilia harus menuruti perintah manajer nya itu. Memang seharusnya ia melakukan check-up lagi untuk memeriksakan bekas jahitan di perutnya. Tapi karena terlalu sibuk bekerja ia jadi mengabaikannya.
Dari restoran tempat nya bekerja ia langsung pergi ke rumah sakit. Emilia memeriksakan bekas jahitannya. Tidak ada yang begitu serius. Hanya saja memang Emilia tidak boleh beraktivitas terlalu banyak dan mengangkat benda-benda berat sementara waktu.
Setelah menebus vitamin dan obat yang diresepkan oleh dokter, Emilia berencana untuk pulang. Tapi siapa sangka ia malah bertemu dengan seseorang yang ia ketahui telah meninggal dunia beberapa bulan lalu. Dan yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah wanita itu bersama seseorang yang ia jumpai di pesta dengan Adam, yaitu Darius. Meskipun wanita itu menggunakan topi dan sweater panjang, tapi Emilia dapat mengenali saudara kembarnya itu dengan baik.
“Em-emelda...” gumamnya pelan dengan suara terbata. Ia benar-benar terkejut dengan apa yang dilihatnya sekarang.
Emilia mendekat ke arah mereka berdua tapi tak langsung menghampirinya. Ia bersembunyi di balik dinding rumah sakit. Ia ingin mendengar pembicaraan mereka dengan salah satu perawat di rumah sakit itu.
“Kami sudah buat janji sebelumnya. Kenapa dokter nya malah membatalkan begitu saja?” tanya Darius.
“Maaf Tuan, Nyonya. Saat ini dokter sedang ada operasi darurat mendadak. Jadi jadwal pemeriksaan Nyonya dialihkan besok pada jam yang sama. Sekali lagi kami minta maaf atas ketidaknyamanan ini,” ucap si perawat.
“Baiklah kalau begitu besok kami akan datang lagi.”
“Baik Tuan, Nyonya. Saya permisi dulu.”
Perawat itu pun pergi meninggalkan mereka berdua disana. Darius melihat Emelda yang sepertinya agak kesal dengan jadwal pemeriksaan nya yang diganti menjadi besok.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Besok aku akan mengantarmu lagi untuk memeriksakan kandunganmu,” ucap Darius.
Mendengar perkataan Darius, Emilia spontan melihat ke arah perut Emelda yang memang terlihat lebih besar. Ia menggeleng tidak percaya. Jadi sekarang Emelda hamil? Lalu siapa ayah dari anak yang di kandungnya? Bukankah dia adalah tunangan Adam? Apa itu anaknya dengan Adam atau dengan pria lain? Dan bagaimana dengan kabar kematiannya? Bagaimana ini semua bisa terjadi?
nana naannananaa