Binar di wajah cantik Adhisty pudar ketika ia mendapati bahwa suaminya yang baru beberapa jam yang lalu sah menjadi suaminya ternyata memiliki istri lain selain dirinya.
Yang lebih menyakitkan lagi, pernikahan tersebut di lakukan hanya karena untuk menjadikannya sebagai ibu pengganti yang akan mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn, suaminya, dan juga madunya Salwa, karena Salwa tidak bisa mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn.
Dalam kurun waktu satu tahun, Adhisty harus bisa mmeberikan keturunan untuk Zayn. Dan saat itu ia harus merelakan anaknya dan pergi dari hidup Zayn sesuai dengan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh ayah Adhisty tanpa sepengetahuan Adhisty.
Adhisty merasa terjebak, ia bahkan rela memutuskan kekasihnya hanya demi menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan pria pilihan mereka. Karena menurutnya pria pilihan orang tuanya pasti yang terbaik.
Tapi, nyatanya? Ia hanya di jadikan alat sebagai ibu pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Hampir satu minggu Zayn berada di kuar kota. Selama sepekan ini, ia benar-benar di sibukkn oleh pekerjaan. Apalagi, Aldo sang asistent sekaligus sekretaris itu tidak ikut dalam perjalanan bisnisnya kali ini. Sehingga Zayn harus menghandle semuanya sendiri.
Zayn hampir tak ada waktu untuk sekedar memeriksa ponselnya. Karena memng keadaan di kantor cabang luar kota tersebut benar-benar urgent yang membuatnya harus turun tangan langsung untuk mengatasinya.
Saat kembali ke apartemen pada malam hari, Zayn sudah sangat merasa lelah dan tanpa sadar ia ketiduran hingga lupa untuk menghubungi para istrinya. Hanya waktu itu ia tak sengaja membaca story Adhisty saat ia ingin menghubungi rekan kerjanya. Barulah ia ingat jika sedang meninggalkan istri yang sedang hamil dan mungkin sedang mengidam menginginkan makanan yang ia buat story. Jadilah Zayn meminta Aldo untuk membelinya, meskipun jauh tempatnya.
Sambil menunggu untuk ketemu klien, Zayn sempatkan untuk membalas chat dari Adhisty. Namun, setelah itu ia kembali sangat sibuk. Sengaja tak menyentuh ponselnya karena takut akan mengganggu kinerjanya di sana.
Hingga hari ini tiba. Hari dimana Zayn sudah berjanji akan menemani Adhisty untuk memeriksakan kandungannya.
Sejak pagi sekali, Adhisty sudah tak sabar menunggu kedatangan Zayn.
"Non Dhisty kayaknya senang sekali dari pagi tadi, bibi lihat sudah raoi dandan cantik. Apa tuan muda mau ke sini?" tebak bi Asih.
Adhisty hanya tersenyum, "Saya mau periksa kehamilan, bi. Ini tinggal nunggu mas Zayn datang. Dia sudah janji buat nemenin kali ini," ujarnya kemudia.
"Oh, pantas. Bibi lihat aura-aura gimana gitu, mau bertemu toh!" goda bi Asih, "Sabar, non. Baru jam berapa ini, di buat santai saja. Sarapan dulu, bibi sudah masak," lanjutnya.
Adhisty nyengir kuda, apa kentara sekalinjika dia sudah antusias menunggu kedatangan pria yang beberapa hari ini tak ada kabarnya sama sekali tersebut. Terakhir ia berkirim pesan setelah Aldo mengirim makanan waktu itu.
Tiba-tiba, Adhisty jadi ragu. Apakah Zayn benar-benar akan datang untuk menemaninya periksa. Pasalnya, Zayn sama sekali tak mengabarkan akan datang atau tidak. Pria itu sudah kembali atai belum saja, ia tak tahu.
Untuk menghubungi Zayn duluan, rasanya Adhisty tak berani. Ia pun memilih untuk sarapan terlebih dahulu bersama bi Asih. Mau menunggu Zayn juga iya kalau datang pagi ini, kalau tidak? Yang ada kasihan bayi dalam perutnya yang harus ikut menahan lapar demi sesuatu yang bekum jelas.
......
Di rumah utama, Zayn sedang sarapan dengan Salwa. Ia memag sudah sampai rumah dini hari tadi dan langsung tidur. Sengaja tak mengabari Adhisty, karena jam segitu pasti wanita itu sedang pulas-pulasnya. Sama seperti Salwa yang terkejut karena pagi ini tahu-tahu Zayn sudah terlihat di meja makan.
"Abang sampai jam berapa? Kok nggak bangunin aku?" tanya Salwa.
"Jam setengah tiga mungkin, abang lihat kamu pulas sekali tidurany, nggak tega buat bangunin," jawab Zayn.
"Terus, kenapa abang tidur di ruang kerja?" selidik Salwa curiga.
"Oh itu, abang mengecek email yang masuk sebentar eh malah ketiduran," jelas Zayn.
"Abang nggak lagi menghindar kan dari aku?"
Zayn menatap istri pertamanya tersebut, "Apa penjelasan abang terdengar sebagai alibi?" tanyanya.
"Maaf, Aku hanya takut saja kalau abang benar-benar menghindariku karena bosan dengan istrimu yang cacat ini," sahut Salwa sendu. Dalam hati itu bersyukur karena saat Zayn pulang, ia sudah berada di rumah semalam.
"Sudah berapa kali abang katakan, wa? Abang akan selalu ada buat kamu, abang akan terima apapun kondisi kamu saat ini. Apa kamu pernah dengar abang mengeluh?" tanya Zayn.
Salwa menggelengkan kepalanya.
"Masih pagi, wa. Jangan membuat mood abang buruk dengan pikiran-pikiran negatifmu itu. Abang tahu, abnag udah buat kamu jadi kayak gini, untuk itu abang akan bertanggung jawab atas masa depanmu sampai akhir," ucap Zayn.
Kali ini Salwa menatap tajam suaminya," Hanya sebatas tanggung jawab, bang? Abang udah nggak Cinta sama aku?" tanya Salwa. Dalam hati ia mukai was-was jika benar Zayn sudah tak mencintainya lagi. Itu artinya ia bisa saja kehilangan atm berjalannya ini suatu saat nanti.
Zayn menghelas napasnya dalam," Jangan berpikir yang tidak-tidak, Wa,... " ucapnya lembut.
"Sudah bisa mulai makan? Atau masih ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Zayn lembut.
"Iya, makan, bang," sahut Salwa. Ini yang tidak ia sukai dari Zayn, kadang , terlalu kaku menurutnya. Jarang sekali bisa bersikap manis dan romantis. Tidak seperti Bima.
......
"Abang nggak ke kantor kan hari ini?" tanya Salwa begitu melihat suaminya masuk ke kamar.
"Tidak, hari ini abang di rumah. Kenapa?" tanya Zayn.
"Nggak apa-apa. Aku hanya kangen aja sama abang," ucap Salwa memberi kode.
"Abang lelah, Salwa," ucap Zayn.
Salwa langsung kesal, "Lelah, atau memang sudah tak bernafsu denganku, bang? Padahal sudah lama kita tidak melakukannya, apa abang nggak kangen sama aku?" tanyanya kecewa.
"Bukan begitu, sayang. Kenapa kamu jadi sensi begini sih?" tanya Zayn.
"Entahlah, aku hanya merasa abang berubah," ucap Salwa.
"Itu hanya perasaanmu, saja,"
"Kalau begitu, buktiin dong bang kalau ini hanya perasaanku saja," tantang Salwa. Ia mulai melepas kancing baju yang ia kenakan untuk memancing Zayn.
"Wa...." Zayn sebenarnya benar-benar lelah. Tapi, ia juga tak ingin berdebat dengan Salwa.
"Sudahlah, kalau abnag memang tidak mau!"
"Siapa bilang abang tidak mau?" Zayn menghampiri Salwa yang sedang duduk di atas ranjang.
Salwa tersenyum, siapa yang bisa menolak pesonanya, tidak terkecuali Zayn, yang pasti sudah kecanduan dengannya, pikirnya.
.......
Adhisty mulai kehilangan kesabarannya menunggu Zayn. Pasalnya, ia janji dengan dokter jam sembilan, dan ini sudah lewat dari itu dan Zayn belum nongol juga batang hidungnya.
"Telepon saja, non. Mungkin tuan muda lupa. Tidak ada salahnya menghubungi dan mengingatkan kalau benar beliau lupa," bi Asih memberi saran karena tak tega melihat Adhisty sejak tadi mondar mandir terus sambil sesekali melihat ke luar lalu menatap layar ponselnya.
Bi Asih benar, tak ada salahnya menelepon Zayn, mungkin pria itu lupa. Ia pun masuk ke kamarnya untuk menghubungi Zayn.
Beberapa kali mencoba tak diangkat. Ia mulai merasa kesal sekaligus cemas. Pasalnya Zayn tak ada kabar. Ia khawatir jika ayah dari bayi yang ia kandung itu kenapa-kenapa. Mau mengubungi Salwa, Adhisty terlalu malas, ia masih kecewa dengan madunya itu atas insiden yang membuatnya hampir keguguran waktu itu. Lagian, wanita itu pasti akan marah jika ia menelepon hanya untuk menanyakan suaminya.
Adhisty mencoba peruntungannya sekali lagi dengan menghubungi Zayn. Ia belum. Lega jika belum mendengar kabar pria itu.
Sementara di tempat lain, oria yang sedang ia cemaskan itu tengah berada di atas istri pertamanya, demi memebuhi kewajibannya sebagai suami. Memberi nafkah batin.
Ponselnya yang berdering, sempat mengganggu aktivitasnya, namun Salwa tak membiarkan ia berhenti di atas tubuhnya. Namun, takut ada hal yang penting, akhirnya Zayn menyambar ponselnya yang terletak di atas nakas tersebut.
Keningnya berkerut melihat siapa yang sejak tadi meneleponnya. Ia hendak menyingkir dari atas Salwa namun wanita itu mencegah, "Angkat saja tanpa harus menyudahinya, bang. Kita baru mulai," ucap Salwa.
Zayn hanya menurutinya saja karena tak ingin ribut dengan Salwa.
"Halo, num?" ucapnya. Terpaksa berhenti sejenak dengan aktivitasnya meski dengan posisi masih sama di atas Salwa.
Adhisty merasa sedikit lega karena akhirnya ia bisa mendengar suara Zayn. Itu artinya pria itu baik-baik saja.
"Mas, sudah pulang dari luar kota?" tanya Adhisty. Sengaja ingin tahu apakah pria itu ingat akan janjinya.
"Sudah, dini hari tadi saya sampai. Ada apa?" tanya Zayn. Ia melirik Salwa, ingin bertanya apa wanita itu merindukannya, tapi pasti akan menimbulkan huru hara.
Adhisty menghela napasnya, pria itu malah bertanya kenapa. Harusnya ia yang tanya kenapa belum juga datang, bukankah sudah berjanji.
"Mas lupa ya kalau hari ini..." belum Adhisty menuntaskan ucapannya. Ia mendengar suara Salwa bicara.
"Matiin saja dulu, bang kalau tidak penting. Palingan Adhisty kehabisan susu, nanri biar aku bekikan nanti. Kita baru mulai, belum sampai kilmaks. Nggak enak banget rasanya keganggu gini,"
Adhisty tak sebodoh itu untuk bisa mengartikan kalimat yang diucapkan Salwa hingga ia bisa menarik sebuh kesimpulan jika Zayn tengah bersenang-senang dengan Salwa.
Adhisty Menggigit bibirnya guna menahan rasa sesak di dadanya. Tanpa terasa air matanya jatuh. Ia sejak tadi menunggu pria itu, tak tahunya yang di tunggu malah sama sekali tidak ingat.
"Wa, hentikan!" peringat Zayn ketika Salwa sengaja bergerak.
"Katanya kangen, bang?" Salwa sengaja berkata dengan nada sensual.
Zayn tak menggubris, "Halo, Num? Tadi mau bicara apa?" tanya Zayn. Ia was-was kalau Adhisty mendengar dan bisa menyimpulkan apa yang sedang terjadi.
Tak ada jawaban dari Adhisty, wanita itu sedng berusaha mengintrol emosinya, ia mengusap air matanya lalu kembali menghela napas, "Tidak apa-apa, mas. Maaf aku sudah mengganggu kesenangan kalian," ucapnya kemudian dan langsung memutus panggilan.
"Halo, Num?" Zayn mendengus saat tahu Adhisty mematikan telepon sepihak.
"Sudahlah bang, kalau penting nanti juga telepon lagi. Kita lanjut," ucap Salwa.
"Si al! Kenapa bisa lupa?" batin Zayn. Ia baru ingat kalau hari ini seharusnya Mengantar Adhisty ke dokter.
...----------------...