Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 28
Pagi ini aku baru saja terjaga dari mimpi semalam, seperti biasa, aku tidak langsung bangun dari pembaringan, mencabut gawai dan memainkannya sampai jam mepet. Belum lama menikmati kebiasaan, pintu kamar diketuk oleh mba Hana.
"Non, ada yang nyariin." katanya suara dari luar tanpa bertanya apakah aku masih tidur atau sudah bangun. Ahh, menyebalkan, siapa yang pagi-pagi begini sudah sok penting mencari keberadaanku.
Saat ke bawah, aku melihat Lia menggandeng Denada di sofa, kaget. Ini adalah kali pertama Denada menginjakkan kakinya di rumah orang tuaku, apakah Lia yang membawanya, tapi mau apa? Jadwal masuk kampus juga masih agak siang.
"Ada apa sih, ganggu orang istirahat aja!" ucapku jutek sambil menatap sinis pada Lia.
"Ini bukan waktunya kita bercanda, ada hal serius yang mau disampaikan Denada." sahut Lia ringan.
"Ya, kan ada wa." timpalku lagi tidak kau tahu.
"De, Raisa kabur dari rumah sakit." potong Denada mendekat. Ia mungkin sebetulnya sudah muak dengan obrolan kami sehingga menyela.
"Hah, maksudnya?" aku ikut kaget.
"Tadi mama Raisa telepon, pagi banget. Tanya ke aku apa Raisa ke rumah? Ya, mana mungkin, kita baru kenal di kampus, dia mana tahu rumahku. Meski terlihat akrab, aku belum pernah mengenal ke rumah."
"Terus apa kata mama-nya?" kataku lagi mulai cemas.
"Raisa hilang, tidak ada di tempat tidur. Tadi malam giliran papa-nya yang jaga, sedangkan mama Raisa pulang dulu untuk mengambil bekal. Tapi namanya orang tidur, papa Raisa kecolongan gitu." jelas Denada begitu detail tanpa terkecuali.
"Entah apa yang ada di kepala anak itu?!" sambung Lia. Aku dan Denada serentak menoleh.
"Ya sudah, aku mandi dulu kalau begitu." Lia dan Denada mengangguk sambil kembali duduk di sofa berwarna abu-abu tua.
Siapa kira-kira yang membawa Raisa pergi, kenapa dan ada apa, mengapa semua terasa semakin rumit.
"Mungkin tidak, kalau Raisa kabur dengan Dewa?" celetuk Lia tiba-tiba. Sekarang kami sedang di satu mobil yang sama, dengan menggunakan mobil Denada. Aku diizinkan ibu untuk tidak bersama pak Syarif sementara waktu.
"Kalau memang Dewa, untuk apa? Dia mau bertanggung jawab, lantas kenapa harus ada drama kabur." sahutku sekenanya, yang duduk di samping Denada yang mengendalikan setir.
"Ya, kan Dewa punya latar keluarga yang terdengar baik, pasti mereka tidak mau reputasi keluarganya hancur lebur, jadi mungkin Dewa dilarang, itu sebabnya dia nekat."
"Iya benar. Cukup masuk akal, ditambah kemrin, kan kabarnya Dewa juga hilang dari rumah. Apa mungkin mereka lari untuk hidup bersama?" kataku lagi memberi pendapat.
"Aaaah, so sweet-nya." Lia mulai kembali drama. "Ets, jangan muak, jangan." sambungnya sambil melihat ekspresiku dari kaca di depan. Kamu kemudian cekikikan menikmati perjalanan menuju rumah sakit yang tadi diberi tahu oleh mama Raisa pada Denada.
Denada parkir, rumah sakit besar dan elite di kawasan sini. Tidak ayah banyak sekali pasien betah mondar mandir ke sini karena memang fasilitas dan pelayanannya mumpuni bak hotel bintang lima, mereka sepertinya sampai tidak ingin sembuh. Kami berjalan gontai menuju tempat maka dan papa Raisa masih berada. Denada yang memang lebih dulu akrab dengan orang tua Raisa, langsung mendatangi mereka yang masih sesenggukan di ruang tunggu, sedang kamar sudah kosong tanpa penghuni.
Melihat kedatangan kami, mama Raisa langsung bangkit dan memeluk Denada erat. Aku dan Lia hanya terpaku tidak tahu harus berbuat apa.
"Kenapa Raisa pergi, Tante?" tanya Denada pelan. Akhirnya kami diminta duduk untuk menceritakan bagaimana dari awal Raisa bisa pergi.
"Raisa sejak kapan sadar?" tanya Lia memotong.
"Sebetulnya setelah kalian pergi menjenguk kemarin itu."
"Tante, berarti Tante tau kenapa Raisa ingin bunuh diri?" aku mencoba memberanikan diri. Membuat suasana hening sejenak, mama Raisa menatap pada Denada.
"Tante, Lia adalah anak pak Riyan, pemilik PT. She Tearch, selain memiliki banyak bidang pekerjaan, salah satunya adalah pabrik percetakan buku dan ada kantor redaksinya juga. Papa Lia ini orang terkaya ketiga di kota ini, kabarnya. Mungkin kalau Tante mau sedikit cerita, Lia bisa membantu menyebarkan berita tentang hilangnya Raisa. Dan ini, ini Devani. Ayahnya sekarang ini juga punya bisnis penjualan secara online dan offline, bergerak dibidang jasa dan penjualan bahan juga. Pensiunan pekerja kapal pesiar. Di rumahnya, ayah Devani ini bekerja sama dengan seorang IT yang juga sempat bekerja sama dengan keluarga Lia. Barangkali jejak digital yang dihapus di ponsel Raisa bisa di-back up." Denada memberi tahu pada orang tua Raisa penuh hati-hati takut salah dalam menyampaikan. Setelah mendengar dengan seksama, wajah orang tua Raisa terlihat lega. Akhirnya kami membuat perjanjian untuk kembali bertemu, karena katanya terlalu privasi jika diutarakan di rumah sakit.
"Kapan kalian pulang kuliah?" tanya mama Raisa.
"Sore Tante, sekitar jam 3 atau 4." sela Lia langsung menjawab.
"Jam 4 kita ketemu di Japanese resto Jakarta selatan itu, ya."
"Baik, Tante." mereka berlalu dari pandangan kami, kesedihan itu memuncak, papa Raisa sampai tidak bisa berkata apa-apa. Dibalik kacamata lebar yang digunakan, matanya terlihat sangat bengkak. Sepertinya beberapa hari ini mereka memang sering menangis meratapi nasib putri keduanya itu. Yang kutahu, Raisa punya seorang kakak yang saat ini mengembangkan bisnis keluarga mereka di luar negri.
Terakhir bercengkrama dalam obrolan dengan Raisa, ia memang terlihat berbeda, wajahnya layu tidak bersemangat, aku menanyai apakah dia sedang tidak enak badan, tapi jawabannya dia tidak apa-apa. Aku ingat betul ia seperti sedang sakit dan banyak beban pikiran yang mengisi kepalanya, tidak lama dewa datang. Katanya Dewa adalah kekasih semasa jaman kelas dua SMA hingga kuliah, meski berbeda fakultas mereka memang berjanjian untuk masuk di universitas yang sama. Sebagai perempuan pada umumnya, aku tahu Raisa sangat mencintai Dewa, gerak-geriknya bisa ditebak, tapi sebaliknya, Dewa terkesan biasa saja, Dewa seperti hanya ingin memanfaatkan kepolosan pasangannya, aku ingin mengatakan tapi takut Raisa tersinggung, karena dipikir-pikir kami baru menjalani semester pertama di tahun ini, jelas artinya kami tidak terlalu akrab dari segi sebuah pertemanan. Aku juga dengan gamblang perna bercerita pada Lia perihal yang kurasa saat melihat mereka berdua sedang bersama. Lia sepemikiran,
"Tapi ya sudah lah, dari pada nanti mereka salah paham sama kita, lambat laun juga Raisa pasti sadar bahwa Dewa bukan orang yang baik untuknya." Lia menuturkan dengan bijak.
"Bukan hanya Dewa, seharusnya Raisa tidak pacaran dengan siapa pun, dia harus fokus pada pendidikan."
"Iya, ndoro kanjeng putri Diningrat. Tapi namanya orang bucin? Kayak kamu dulu, loh." Lia menyinggung membuatku tersipu dan memukul lengannya membuat ia tertawa lepas, geli melihat pipiku memerah.