Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat dari Lalita
Masih dengan kening berkerut, Erick menerima amplop yang diserahkan oleh Bu Risnah. Matanya membeliak saat melihat keterangan dari mana salah satu amplop tersebut berasal. Kantor Pengadilan Agama.
Dengan agak kasar, Erick membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isinya. Matanya seketika membeliak saat membaca isinya yang ternyata adalah panggilan terhadap dirinya atas gugatan cerai yang Lalita ajukan. Bergegas Erick bangkit dan pergi menuju kamar Lalita.
"Lalita! Di mana kamu? Apa maksudnya ini?" teriak Erick di kamar tersebut dengan raut wajah penuh emosi.
Tentu saja tak ada sahutan dari dalam kamar tersebut karena Lalita benar-benar telah pergi. Bahkan, hanya dengan merasakan nuansa kosong dari kamar tersebut, sudah bisa dipastikan jika penghuninya sudah tak berada di sana lagi.
Seakan ingin benar-benar meyakinkan, Erick pun memeriksa kamar mandi dan membuka lemari pakaian yang ada di kamar tersebut. Sebagian besar baju-baju milik Lalita memang masih berada di tempatnya, tapi ada beberapa rak yang kosong, seperti halnya perasaan Erick saat ini yang juga mendadak terasa kosong.
"Jangan bercanda, Lita! Ini tidak lucu sama sekali," geram Erick sembari meremas surat panggilan dari Pengadilan Agama yang ada di tangannya.
Lagi-lagi tak ada yang menanggapi. Lalita memang telah pergi, sehingga tak peduli Erick mau bicara apa, perempuan itu tentu tak akan memberikan tanggapannya.
Erick pun segera mengeluarkan ponselnya, lalu menghubungi istrinya itu. Tapi usahanya gagal karena Lalita tak mengaktifkan ponselnya. Lelaki itu mengguyar rambutnya dengan gusar. Entahlah, padahal berpisah dari Lalita adalah impiannya sejak dulu, tak peduli jika itu akan membuatnya kehilangan segalanya. Tapi sekarang, kenapa dirinya malah begitu risau begini?
"Bu Risnah!" Kali ini Erick berseru memanggil asisten rumah tangganya sembari keluar dari kamar yang sebelumnya ditempati oleh Lalita.
"Iya, Tuan." Bu Risnah pun mendatangi Erick dengan tergopoh-gopoh.
"Ibu tidak melihat Lalita pergi?" tanya Erick.
"Tidak, Tuan." Bu Risnah menggeleng. "Tadi saya memang sempat melihat Nyonya pergi ke halaman depan, tapi habis itu kembali masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu, saya memasak di dapur, jadi tidak melihat lagi Nyonya keluar."
Embusan napas kasar terdengar dari mulut Erick. Lelaki itu bahkan mencengkram rambutnya sendiri sembari memejamkan matanya sejenak karena terlalu syok dan terkejut.
Sesaat kemudian, Erick kembali membuka matanya lagi dan terpikirkan akan sesuatu. Mungkinkah saat ini Lalita pulang ke rumah orang tuanya? Jika mengingat selama ini Lalita selalu pergi ke sana setiap kali sedang merajuk, tidak menutup kemungkinan saat ini dia juga melakukan hal yang sama.
Segera Erick mengambil kunci mobil dan bergegas pergi, meninggalkan sarapan yang bahkan belum sempat dia sentuh. Dia mengemudi menuju ke rumah mertuanya dengan perasaan yang tak menentu. Anehnya, dibandingkan dengan khawatir menghadapi kemarahan Arfan, Erick justru lebih merisaukan gugatan cerai yang Lalita layangkan padanya. Setelah selama dua tahun ini menjadi istri yang cenderung posesif, kenapa sekarang dia malah nekat ingin bercerai? Mungkinkah istrinya itu benar-benar mendengarkan pembicaraannya dengan Larisa malam itu?
Erick mencengkram kemudi sembari menambah kecepatan mobilnya. Tidak tahu apa yang sebenarnya membuat hatinya begitu gundah. Yang jelas, dia ingin bertemu dulu dengan Lalita dan berbicara baik-baik dengan istrinya itu. Ah, kalau diingat-ingat, selama ini dia memang tidak pernah mengajak Lalita bicara dengan benar. Hanya Lalita saja yang selalu bicara sembari menatapnya dengan segenap hati, sedangkan dia sendiri selalu enggan untuk menatap wajah istrinya itu.
Ya, Erick memang selalu menatap ke arah lain setiap dia mesti mengatakan sesuatu pada Lalita. Dia selalu merasa tak nyaman jika harus bersitatap dengan perempuan yang notabene-nya adalah istrinya sendiri.
Tak terasa, Erick pun akhirnya sampai di kediaman Arfan. Kedatangannya langsung disambut oleh seorang pelayan yang langsung mengantarnya ke ruang makan, tempat di mana saat ini Riani dan Larisa menyantap sarapan. Tak ada sosok Arfan karena lelaki paruh baya itu sedang berada di luar kota untuk urusan bisnis.
"Erick?" Larisa dan Riani bergumam hampir bersamaan saat melihat kedatangan Erick. Mereka berdua terlihat menatap ke arah lelaki itu dengan ekspresi terkejut sekaligus heran. Pasalnya, tak pernah sebelumnya Erick datang pagi-pagi begini, apalagi tanpa Lalita.
"Selamat pagi. Maaf mengganggu sarapan Mama dan Kak Risa," ujar Erick dengan sedikit canggung. Memanggil Larisa dengan sebutan kakak adalah hal yang harus dia lakukan di hadapan orang lain semenjak menikah dengan Lalita.
"Mari duduk, Rick. Sarapan dulu." Riani bangkit dan mempersilakan Erick untuk bergabung.
Mau tak mau, Erick pun duduk di salah satu kursi.
"Di mana Lita? Kok sendirian saja?" tanya Riani sembari menyajikan secangkir teh serta sepotong roti panggang kepada Erick.
Erick sedikit menaikkan pandangannya ke arah ibu mertuanya itu. Jelas sekali jika saat ini Lalita tidak sedang berada di sini.
"Lita ada di rumah. Tadi saya ada urusan di dekat sini, jadi sekalian mampir." Erick akhirnya memberikan alibi.
Riani tersenyum menanggapi, sedangkan Larisa justru menatap tajam ke arah Erick. Gadis itu sangat tahu, pasti terjadi sesuatu antara Erick dan Lalita.
"Papa tidak ada, Ma?" tanya Erick pada Riani sembari menghindari tatapan Larisa. Dia berusaha mencari alasan seolah hendak bertemu dengan Arfan.
"Papa sedang ke luar kota. Sepertinya dua hari lagi baru pulang," sahut Riani.
"Oh, maaf, saya lupa," ujar Erick sembari meraih cangkir teh yang dihidangkan oleh Riani dan meneguk isinya. Lagi-lagi Erick membuang wajahnya ke arah lain karena tak ingin Larisa melihat raut wajahnya.
Karena tak mendapati Lalita di sana, Erick pun akhirnya langsung berpamitan. Dia mesti mencari tahu keberadaan Lalita sebelum Arfan mengetahui perihal gugatan cerai yang istrinya itu layangkan. Sesampainya di rumah, Bu Risnah menyambut dengan wajah khawatir.
"Lita belum pulang juga?" tanya Erick, berharap istrinya itu pulang saat dia pergi tadi.
Bu Risnah menjawab dengan gelengan, membuat perasaaan kecewa entah bagaimana menyusup di hati Erick. Lelaki itu pun langsung masuk ke dalam kamar yang sebelumnya ditempati Lalita.
Mata Erick langsung tertuju pada satu amplop yang sebelumnya belum dia buka. Segera diraihnya amplop tersebut dan dibukanya dengan sedikit kasar. Selembar kertas dengan tulisan tangan Lalita langsung dia lihat. Seketika dada Erick bergemuruh hebat saat membaca isi di dalamnya.
Dear, Erick.
Maaf, aku pergi tanpa berpamitan padamu. Tidak perlu mencariku karena saat ini aku sedang ingin sendirian. Tidak perlu merasa khawatir juga. Aku tidak akan membuat masalah yang akan merepotkanmu.
Sebelumnya, aku pernah bilang padamu kalau aku akan memberikan sesuatu yang paling kamu inginkan sebagai kado anniversary kita. Hari ini, aku menepati janjiku. Mulai sekarang, kamu tidak perlu merasa tersiksa lagi karena harus menjalani hidup bersamaku. Maafkan aku karena selama ini tidak bisa memahami perasaanmu. Maafkan aku karena telah menjadi penghalang antara dirimu dan perempuan yang kamu cintai.
Berbahagialah, Erick. Jangan hidup menderita seperti hari-hari kemarin. Aku berjanji, tidak akan mengusikmu dan Kak Risa lagi. Aku juga berjanji, kali ini Papa akan merestui kalian.
Lalita.
Bersambung ....
Mak othor kereeen /Good//Good//Good//Good//Good/